artikel-2.png

Obat antivirus atau antiviral adalah obat yang digunakan untuk mengobati penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus. Obat ini tersedia dalam bentuk pil, tablet, sirup, dan cairan intravena (infus). Beberapa jenis obat antivirus adalah sebagai berikut:

Herpes kulit obat

Tiga jenis virus herpes dapat menyebabkan infeksi kulit: varicella zoster, yang menyebabkan cacar air dan herpes zoster, herpes simpleks tipe I, yang menyebabkan herpes oral, dan herpes simpleks tipe II, yang menyebabkan herpes genital. Obat antivirus herpes seperti acyclovir, valacyclovir, dan famciclovir dapat mencegah infeksi virus herpes kulit dengan mengikat polymerase DNA.

Obat influenza

Infeksi virus yang menyerang sistem pernapasan disebut flu. Obat virus untuk flu meredakan gejala lebih cepat dan mencegah komplikasi pada pasien yang berisiko karena menghambat bagian DNA virus seperti neuraminidase. Beberapa jenis antivirus digunakan untuk mengobati flu, termasuk oseltamivir, zanamivir, dan amantadine.

Obat HPV

Infeksi HPV, juga dikenal sebagai human papillomavirus, adalah salah satu penyakit menular seksual yang dapat menyebabkan gangguan pada permukaan kulit, kanker serviks, dan masalah kelamin. Infeksi virus ini dapat diobati dengan obat antiviral seperti ribarivin, yang juga dapat mengobati infeksi virus di saluran pernapasan.

Obat Hepatitis

Hepatitis adalah infeksi virus yang menyerang hati. Ada tiga jenis virus hepatitis: hepatitis A, hepatitis B, dan hepatitis C. Obat antiviral yang menghambat produksi virus hepatitis dan hepatitis adalah interferon, yang terdiri dari 

  • nukleosida atau nukleotida analog.
  • inhibitor protease
  • inhibisi polimerase.

Obat HIV/AIDS

Infeksi virus HIV dapat menyerang sistem kekebalan tubuh dan menyebabkan penurunan kadar sel darah putih, meningkatkan kemungkinan penyakit infeksi. Dengan mengonsumsi obat virus seperti Antiretroviral (ARV), seperti Zidovudin, Efavirenz, dan lainnya, pasien HIV/AIDS dapat menjalani hidup secara normal. Salah satu efek samping yang paling umum adalah diare ringan yang berlangsung selama satu hingga empat hari. Efek samping lainnya termasuk neutropenia, urtikaria menyeluruh (biduran atau gatal), muntah, nyeri perut, kembung, dan mual.
Sumber: Kemenkes

artikel-2025-01-20T101212.092.png

Luka bakar adalah salah satu masalah kesehatan yang berbahaya yang dapat mengenai siapa saja dan di mana saja. Tidak sedikit masyarakat yang masih salah menggunakan pasta gigi sebagai penanganan pertama saat terjadi luka bakar. Sangat penting untuk memberikan perawatan pertama yang cepat dan tepat untuk orang-orang di rumah tangga yang tidak terbiasa dengan penanganan luka bakar. Kemungkinan pembengkakan dan lamanya pemulihan dapat dikurangi dengan penanganan yang tepat dan cepat.

 

Apa Definisi Luka Bakar?

Luka bakar adalah luka pada kulit atau jaringan tubuh yang disebabkan oleh panas, listrik, gesekan, atau kontak dengan bahan kimia. Karena itu, luka bakar adalah luka terbuka dan memerlukan perawatan yang cepat, tepat, dan tepat agar tidak merusak sel kulit, yang dapat menyebabkan infeksi atau iritasi, memperparah luka dan mempersulit penyembuhannya.

 

Bagaimana Jika Luka Bakar Tidak Diobati dengan Tepat?

Penanganan yang buruk dapat menyebabkan kerusakan jaringan dan kecacatan fisik seperti bekas luka pada kulit.

 

Apa Efek Samping yang Mungkin Terjadi Ketika Anda Menggunakan Pasta Gigi untuk Mengobati Luka Bakar?

Pasta gigi mengandung bahan kimia abrasif seperti kalsium karbonat, potassium karbonat, dan zat pemutih, yang dapat menutup pori-pori kulit dan memperburuk luka bakar. Ini juga dapat menyebabkan iritasi, memperluas luka, dan menyebabkan infeksi, yang pada gilirannya dapat menyebabkan kulit melepuh.

 

Bagaimana Cara Menangani Luka Bakar Pertama yang Baik dan Tepat?

Untuk mengurangi rasa sakit, tindakan pertama setelah insiden adalah mengoleskan air bersih (bukan air es) ke luka bakar selama sekitar dua puluh menit. Setelah itu, gunakan salep oles khusus luka bakar dengan hati-hati. Setelah luka bakar, menggunakan air mengalir dapat membantu mengurangi penyebaran luka. Segera hubungi 119 untuk bantuan terdekat dan atau IGD RS Dr Sardjito di (0274) 5059999 untuk ambulance dan informasi tambahan jika Anda membutuhkan perawatan.

 

Sumber: Kemenkes


artikel-2025-01-18T125724.110.png

Flu singapore, juga dikenal sebagai penyakit kaki, tangan, dan mulut (HFMD), adalah infeksi akut yang disebabkan oleh virus dari genus enterovirus. Penyakit HFMD sangat menular, dengan gejala benjolan atau luka kecil di mulut, kaki, dan tangan. Virus HFMD dapat menyebar melalui kontak kulit, udara pernafasan, cairan dari tinja atau blister, dan makan dan minum bersama. Air liur atau ludah yang terlempar ke udara saat batuk, cairan atau droplet dari hidung dan tenggorokan yang keluar saat bersin Faktor cuaca dan iklim juga memengaruhi penyebaran virus HFMD; musim panas adalah musim yang paling umum, dan sanitasi yang buruk, status ekonomi yang rendah, dan kondisi tempat tinggal yang padat sangat berkontribusi pada penyebaran infeksi.

HFMD adalah penyakit umum yang menyerang anak-anak dari 2 minggu hingga 5 tahun (kadang-kadang hingga 10 tahun). Meskipun ada kasus pada orang dewasa, orang dewasa biasanya tidak terinfeksi virus. Bayi dan anak lebih rentan terinfeksi HFMD daripada orang dewasa, tetapi gejalanya biasanya ringan.

Hampir setiap kasus HFMD menyebabkan luka nyeri di lidah dan mulut. Sederhananya, situasinya mirip dengan sariawan. Luka kecil di mulut ini dapat bergabung, menyebabkan lidah membengkak. Nyeri di mulut menyulitkan penderita untuk makan dan minum. Dehidrasi dapat terjadi jika asupan makan penderita terganggu, termasuk asupan cairan.

Orang tua yang anaknya menderita HFMD dapat melakukan hal-hal berikut untuk mencegah dehidrasi:

  • Makan cairan yang cukup
  • Beri makan buah yang banyak air
  • Pastikan anak mendapatkan jumlah tidur yang cukup

Apabila dehidrasi sedang hingga berat tidak dapat diatasi melalui mulut, hidrasi melalui intavena di rumah sakit juga dapat dilakukan jika diperlukan.

Selain itu, upaya yang dilakukan untuk mencegah penularan HFMD termasuk:

  • Untuk menjaga kebersihan tangan, cuci tangan dengan air dan sabun atau cairan aseptik seperti alkohol dan cairan pembersih tangan.
  • Menggunakan sarung tangan juga untuk mencegah penderita terpapar darah, cairan tubuh lainnya, dan kulit. Namun, Anda harus mencuci tangan Anda setelah membuangnya.
  • Selama batuk dan bersin, tutup mulut dan hidung Anda dengan tisu, lalu buang tisu yang tersisa. Diharapkan untuk menggunakan masker dan menjaga jarak dengan penderita.
  • Menjaga kebersihan lingkungan karena virus dapat bertahan lama di lingkungan.

 

Sumber: Kemenkes


artikel-2025-01-18T095715.000.png

Telinga manusia adalah organ pendengaran yang berfungsi untuk menangkap dan mengubah bunyi dari energi mekanis menjadi energi elektris. Kemudian energi ini diteruskan ke otak untuk disadari dan dipahami.

Serumen, juga dikenal sebagai lilin telinga, adalah sekret normal dari kelenjar seruminous, yang berfungsi untuk melindungi, membersihkan, dan melumasi kulit liang telinga. Ada kemungkinan bahwa membersihkan telinga akan mengganggu proses pembersihan lami yang terjadi di dalam liang telinga.

Berbagai macam benda yang digunakan untuk membersihkan kotoran di telinga, seperti cotton bud, bulu, lilin telinga, dan lainnya, dapat mendorong serumen lebih dekat ke membran timpani dan gendang telinga. Selain itu, beberapa penelitian menemukan bahwa tidak menjaga kebersihan telinga dapat meningkatkan risiko infeksi telinga, telinga berdenging, gangguan pendengaran, atau bahkan tuli mendadak. Ini adalah penjelasannya:

Infeksi telinga

Infeksi telinga adalah infeksi yang disebabkan oleh bakteri, virus, atau jamur dan dapat terjadi di saluran telinga luar (otitis eksterna), telinga tengah (otitis media), atau telinga dalam. Sakit di telinga, telinga berair, dan gangguan pendengaran adalah beberapa gejala yang dapat disebabkan oleh infeksi telinga. Infeksi telinga adalah masalah medis yang umum terjadi pada berbagai kelompok usia, terutama pada anak-anak. Infeksi telinga dapat menyebabkan ketidaknyamanan yang sangat besar dan memerlukan perawatan medis, meskipun seringkali tidak serius.

Gejala infeksi telinga dapat berbeda-beda tergantung pada jenisnya, tetapi beberapa gejala umum termasuk nyeri telinga yang tajam atau terus-menerus, demam, masalah pendengarana atau rasa penuh di telinga, keluarnya cairan atau nanah dari telinga, gatal atau kemerahan di sekitar telinga, dan masalah keseimbangan. Untuk menghindari infeksi telinga, berikut adalah beberapa tindakan yang dapat diambil:

  • Jaga telinga bersih
  • Hindari kelembaban yang berlebihan
  • Lakukan vaksinasi
  • Awasi infeksi saluran pernapasan
  • Jangan merokok

 

Telinga berdenging

Suara berdenging, mendesis, berkicau, bersiul, atau bunyi lainnya yang terjadi di telinga disebut telinga berdenging, juga dikenal sebagai tinnitus. Tinnitus parah dapat menyebabkan masalah tidur atau berkonsentrasi.

Apabila tidak segera diobati, kondisi ini dapat menyebabkan depresi. Tidak ada cara untuk mencegah telinga berdenging karena itu adalah gejala gangguan kesehatan tertentu. Tetapi Anda dapat mengurangi risiko dengan beberapa cara, seperti:

  • Berhati-hatilah untuk menggunakan pelindung telinga ketika terkena paparan suara keras.
  • Hindari mendengarkan musik terlalu keras dalam jangka waktu yang lama.
  • Menjaga kesehatan jantung Anda dengan berolahraga dan makan makanan yang sehat.
  • Hindari atau jangan terlalu banyak mengonsumsi alkohol, kafein, dan nikotin.

 

Gangguan pendengaran

Segala jenis gangguan yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk mendengar dengan jelas atau bahkan tidak dapat mendengar sama sekali disebut gangguan pendengaran. Suara bising yang lama dan gangguan pada sistem saraf pendengaran dapat menyebabkan gangguan pendengaran. Beberapa gangguan pendengaran memang tidak dapat dicegah, seperti perubahan atau kerusakan struktur telinga karena usia atau cacat bawaan. Namun, ada beberapa tindakan yang dapat diambil untuk menghindari gangguan pendengaran:

  • Hindari terpapar suara keras secara terus menerus.
  • Jaga kebersihan telinga Anda untuk mencegah infeksi.
  • Hindari aktivitas yang berpotensi menyebabkan cedera atau trauma pada telinga Anda, seperti mengalami tekanan kuat saat terbang dalam pesawat atau diving.

 

Tuli mendadak

Gangguan pendengaran yang dikenal sebagai tuli mendadak atau kehilangan pendengaran sensorineural (SSHL) disebabkan oleh kerusakan pada sel rambut telinga bagian dalam atau jalur saraf yang menghubungkan telinga bagian dalam ke otak. Laman web WHO menyatakan bahwa orang yang mengalami gangguan pendengaran jika mereka memiliki ambang pendengaran 20 dB pada kedua telinga mereka tidak dapat mendengar dengan baik. Namun, kebanyakan orang tuli mengalami gangguan pendengaran yang lebih parah sangat sedikit atau tidak bisa mendengar sama sekali. Faktoryang dapat menyebabkan seseorang tuli: genetika, infeksi rubella, berat badan lahir yang rendah, infeksi telinga saat masa anak-anak, meningitis dan infeksi lainnya. Metode-metode berikut dapat digunakan untuk membantu mengatasi telinga tuli:

  • Mengangkat kotoran di telinga
  • Implant koklea
  • Alat bantu dengar

Untuk mencegah munculnya berbagai penyakit telinga, kita harus tetap menjaga kebersihan dan kesehatan telinga kita dengan berbagai cara berikut:

Hentikan kebiasaan mengorek telinga

Adanya sedikit kotoran di dalam liang telinga sebenarnya merupakan hal yang normal karena melindungi liang telinga dari debu dan kotoran. Namun, penumpukan kotoran dapat menyebabkan rasa gatal dan tersumbat, jadi banyak orang menggunakan cotton bud, penjepit kertas, atau bahkan jepit rambut untuk membersihkan kotoran, yang dapat melukai telinga dan membuat kotoran masuk lebih dalam. Untuk mendapatkan pemeriksaan dan pembersihan telinga yang aman, lebih baik pergi ke dokter THT.

  • Jauhkan telinga dari suara yang terlalu keras
  • Jangan menggunakan earphone atau headphone selama satu jam secara terus menerus.
  • Beri waktu sekitar lima menit untuk beristirahat sebelum mendengarkan musik kembali.
  • Jaga volume suaranya.
  • Hindari mendengarkan musik yang keras dalam jangka waktu lama.
  • Jika Anda bekerja di lingkungan yang bising, seperti pabrik atau konstruksi bangunan, Anda disarankan untuk menggunakan sumbat telinga atau earplug.

Hindari penggunaan ear candle

Dokter mengatakan bahwa lilin telinga tidak terbukti efektif untuk membersihkan telinga dan berpotensi berbahaya karena dapat menyebabkan kerusakan seperti terbakar atau saluran telinga tersumbat. Akibatnya, mereka tidak menyarankan penggunaan lilin telinga.

Menjaga telinga agar tetap kering

Jika telinga sering basah atau terlalu lembap, bakteri dan jamur dapat tumbuh dan menyebabkan iritasi dan infeksi. Ada beberapa hal yang dapat Anda lakukan saat berenang:

  • Untuk mencegah air masuk ke telinga, gunakan penyumbat telinga.
  • Miringkan kepala jika telinga terendam air.
  • Kengeringkan telinga dengan handuk yang bersih dan kering setelah berenang atau mandi.
  • Melakukan pemeriksaan telinga secara rutin

Pemeriksaan telinga yang rutin dilakukan oleh dokter THT juga penting untuk menjaga kesehatan telinga dan mengidentifikasi gangguan. Dokter akan memeriksa fungsi pendengaran dan kondisi telinga Anda melalui pemeriksaan fisik dan tes pendengaran.

Jika Anda menghargai pendengaran Anda, jagalah kesehatan telinga Anda secara teratur dengan menggunakan metode yang disebutkan di atas. Anda dapat melihat dokter THT setiap 3-5 tahun jika Anda tidak memiliki keluhan pada telinga atau pendengaran.

Namun, jika Anda mengalami keluhan seperti nyeri di telinga, keluar cairan atau darah dari telinga, atau pendengaran menjadi terganggu dengan cepat, Anda harus segera pergi ke dokter THT untuk mendapatkan pengobatan.

 

Kesimpulan

Untuk mencegah infeksi, gangguan pendengaran, dan penyakit serius lainnya seperti tuli mendadak, sangat penting untuk menjaga telinga tetap bersih dan sehat. Tidak perlu melakukan tindakan agresif untuk membersihkan telinga karena ada proses pembersihan alami yang terjadi di dalamnya. Penggunaan alat seperti cotton bud atau lilin telinga dapat menyebabkan kerusakan pada telinga.

 

Sumber: Kemenkes


artikel-2025-01-17T111816.106.png

Memiliki anak yang terlahir sempurna dan mampu berkembang secara optimal adalah kebahagiaan terbesar bagi orang tua. Menurut Amalia et al. (2019), usia keemasan adalah waktu ketika anak-anak sangat cepat berkembang dan berkembang. Perkembangan fisik, kognitif, motorik, psikososial, dan bahasa menjadi sangat penting saat ini.

Perkembangan bahasa anak usia dini didefinisikan sebagai salah satu aspek perkembangan bahasa anak usia dini yang muncul sebagai ekspresi pemikiran anak yang ditandai dengan peningkatan kemampuan dan kreativitas anak dengan tujuan agar anak dapat berkomunikasi dengan bahasa yang dapat dipahami oleh orang lain. Orang tua mengharapkan anak-anak mampu menyebutkan kata-kata dan dapat berkomunikasi dua arah dengan bahasa yang dapat dipahami oleh orang lain (Amalia & Satiti, 2020).

Kemampuan bahasa anak bervariasi dan sangat bergantung pada stimulasi yang mereka terima. Aktivitas mendengar, melihat, dan meniru gerakan dan ucapan orang tua dapat membantu perkembangan bahasa anak. Seorang anak harus menguasai bahasa, yaitu kode konvensional yang digunakan untuk menyampaikan ide, ucapan, dan gerakan yang kompleks dalam kata-kata yang diucapkan, agar mereka dapat berkomunikasi secara efektif. Bahasa mengandung sinyal dalam kata dan kalimat yang memiliki makna dan dapat diterima di masyarakat (Feldman 2019).

Namun, orang tua tidak mengharapkan bahwa semua anak memiliki kemampuan berbahasa yang baik. Saat ini, banyak anak-anak di sekitar kita mengalami keterlambatan bicara. Sebuah artikel menyatakan bahwa 20 persen anak Indonesia mengalami penundaan bicara, yang berarti 1 juta dari 5 juta anak mengalami penundaan bicara (Evandio, 2022). Hal ini sejalan dengan informasi yang dikumpulkan oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) yang menunjukkan bahwa antara 5 dan 8 persen anak prasekolah mengalami gangguan keterlambatan bicara. Terutama, 21% anak di Jakarta mengalaminya. Lebih dari 750.000 anak di Amerika Serikat antara usia 3 dan 5 tahun mengalami keterlambatan bicara, yang membutuhkan perawatan khusus. 16 persen anak mengalami keterlambatan dalam tahap awal pembelajaran bahasa, dan setengah dari anak-anak tersebut mengalami kesulitan menjalankan tugas perkembangan berikutnya di masa depan (Feldman, 2019).

Kemampuan kognitif anak-anak usia 1-3 tahun dipengaruhi oleh keterlambatan bicara. Anak-anak ini mengalami kesulitan belajar di kelas, terutama dalam hal membaca, menulis, menyusun kalimat lengkap, dan menyelesaikan tugas secara mandiri (Kurnia dkk., 2019). 40 hingga 60 persen anak-anak masih mengalami keterlambatan bicara dan bahasa yang tidak diatasi, dan mereka lebih rentan mengalami masalah sosial, emosional, perilaku, dan kognitif di masa dewasa.

Ini pasti menjadi “warning” bagi kita selaku orang tua karena, tanpa kita sadari, kemajuan teknologi memberikan dampak yang signifikan terhadap perubahan pola asuh orang tua jaman sekarang dibandingkan dengan orang tua jaman dulu. Sudah sangat jarang kita melihat waktu makan bersama di mana semua anggota keluarga berbicara atau bercerita satu sama lain. Sebaliknya, situasi yang dianggap normal saat ini adalah kumpul keluarga di mana semua anggota keluarga sibuk masing-masing. Papa berbicara dengan temannya, mama browsing, dan anak-anak sibuk bermain game atau menonton TV pintar tanpa berbicara satu sama lain. Anak-anak tidak dilatih untuk mengkomunikasikan keinginan atau perasaan mereka dan hanya menerima stimulasi satu arah.

Orang tua tidak memberikan stimulasi yang cukup kepada anak-anak, sehingga anak-anak lebih sering diberi perangkat elektronik tanpa pengawasan agar tidak mengganggu pekerjaan mereka. Faktor lain adalah bahwa orang tua menganggap keterlambatan bicara anak sebagai sesuatu yang wajar. Hal ini diperburuk oleh ketidaksadaran orang tua tentang pentingnya mengajarkan anak mereka menyebutkan kata dengan artikulasi yang jelas.

Ketika anak-anak berbicara dalam bahasa bayi, seperti “susu” menjadi “cu-cu”, orang tua membiarkan dan menganggapnya lucu. Orang tua bahkan ikut-ikutan menggunakan bahasa bayi, tidak berusaha meralat atau meluruskan apa yang mereka katakan. Selain itu, ibu yang jarang berbicara dengan anaknya secara dua arah, bahkan ketika anak meminta sesuatu, seperti menunjukkan mainan, memberikannya tanpa meminta anak menyebutkan nama mainan agar anak tidak menangis.

Berdasarkan teori pendidikan sosial Bandura, perkembangan bahasa anak adalah hasil belajar dari observasi dan imitasi. Bandura mengatakan bahwa perilaku manusia dapat dipelajari dengan observasi dan model. Dimulai dengan mengamati orang lain, seseorang dapat mengembangkan ide tentang bagaimana perilaku baru dilakukan, yang kemudian dapat digunakan sebagai panutan atau panduan untuk melakukan hal yang sama. Orang tua dalam hal ini akan berfungsi sebagai contoh yang sangat baik untuk perkembangan bahasa anak, baik dari segi kosa kata, ucapan, maupun pemahaman mereka. Pada usia dua tahun, kosakata anak meningkat pesat, meningkat dari 300 kata hingga lebih dari 2100 kata pada usia lima tahun. Selain itu, kejelasan, struktur kalimat, dan tata bahasa menjadi lebih baik, dan beberapa anak-anak di prasekolah dapat belajar dua bahasa atau bilingual secara bersamaan (Kurnia dkk., 2019).

Menurut penelitian lain, ada dua faktor risiko yang terkait dengan keterlambatan bicara dan bahasa. Faktor medis termasuk asfiksia lahir, kejang, dan kelainan orofaringeal. Faktor keluarga dan lingkungan termasuk pendidikan orang tua yang rendah, stimulasi yang tidak memadai, riwayat keluarga yang memiliki keterlambatan bicara juga, dan lingkungan yang multibahasa.

Orang tua dapat mencegah keterlambatan bicara anak mereka dengan mengajak mereka berbicara (baby talk) dengan kata-kata sederhana dan ekspresi yang tepat, membaca banyak buku bersama mereka, selalu melibatkan mereka dalam diskusi atau dialog yang dapat menjelaskan tentang perilaku atau perasaan yang dirasakan oleh anak mereka, membatasi waktu menonton TV, dan menciptakan interaksi sosial yang aktif dengan anak mereka, termasuk aktif mengiringi mereka saat mereka berbicara. Kita juga harus mengajarkan anak berkomunikasi dengan baik, mengucapkan kata-kata dengan jelas, selalu melibatkan mereka untuk berbicara, membatasi penggunaan perangkat elektronik, dan memperbanyak waktu untuk bermain bersama mereka.

 

Sumber: Kemenkes


artikel-2025-01-16T110811.967.png

HIV/AIDS, atau Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immunodeficiency Syndrome, telah menjadi masalah darurat di seluruh dunia dan merupakan salah satu penyakit menular yang paling mematikan. Penyakit ini masih menjadi perhatian yang serius sampai saat ini. HIV dapat merusak sistem kekebalan tubuh secara bertahap tanpa pengobatan, menyebabkan AIDS.

Obat antiretroviral (ARV) dapat digunakan seumur hidup untuk mengobati HIV, yang merupakan penyakit yang berlangsung dalam waktu yang lama. Obat utama yang dikenal sebagai antiretroviral (ARV) terbukti efektif dalam mencegah virus HIV berkembang dalam tubuh.

ARV bekerja dengan mengurangi jumlah virus HIV yang ada dalam darah, sehingga sistem kekebalan tubuh (CD4) tetap kuat. Sebelum memulai pengobatan, faktor yang sangat penting untuk dipertimbangkan adalah ketahanan pasien dalam mengonsumsi obat ARV.

Kepatuhan terapi ARV

Pasien yang mematuhi penggunaan obat mereka dengan benar atau hampir seluruh dosis mereka menunjukkan hasil terbaik dari terapi virologi HIV. Kepatuhan adalah faktor yang paling penting dalam menentukan keberhasilan terapi. Terapi ARV untuk HIV berlangsung seumur hidup, sehingga diperlukan tingkat kepatuhan yang tinggi (lebih dari 95%) dalam mengonsumsi obat. Kepatuhan dalam pengobatan sangat penting untuk mengurangi replikasi virus, memperbaiki kondisi klinis dan imunologis, mengurangi resistansi terhadap ARV, dan menurunkan risiko transmisi HIV. Kepatuhan berarti mengonsumsi obat sesuai dosis yang dianjurkan, tidak pernah lupa, tepat waktu, dan konsisten. Kepatuhan terhadap ARV sangat penting untuk mengurangi jumlah virus HIV yang ada dalam tubuh. Tujuannya adalah untuk menjaga sistem kekebalan tubuh tetap kuat dengan mengurangi jumlah virus yang stabil dan berkelanjutan. Akibatnya, orang yang terinfeksi HIV dapat menikmati kualitas hidup yang lebih baik.

Infeksi Oportunistik (IO) pada ODHA

Infeksi oportunistik (IO) memanfaatkan kelemahan sistem kekebalan tubuh manusia. Grafik di atas menunjukkan bahwa tuberkulosis paru (TB paru) adalah penyakit penyerta yang diderita oleh 62% orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Salah satu infeksi yang paling umum pada penderita HIV/AIDS adalah tuberkulosis (TB). Infeksi HIV merusak sistem kekebalan tubuh, membuat tubuh rentan terhadap infeksi oportunistik, termasuk tuberkulosis. Kematian akibat infeksi TB pada penderita HIV lebih tinggi, dan tuberkulosis adalah penyebab kematian utama (30-50%) pada pasien HIV/AIDS. Selain menyulitkan diagnosis tuberkulosis, HIV juga meningkatkan angka kejadian tuberkulosis.

Infeksi Oportunistik (IO) dengan Kepatuhan Terapi ARV pada ODHA

Faktor infeksi oportunistik yang membuat pasien merasa semakin buruk berpengaruh besar pada tingkat kepatuhan pasien terhadap pengobatan ARV. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa ART secara signifikan mengurangi insiden infeksi oportunistik, mendukung pemulihan, dan perbaikan infeksi tersebut, termasuk infeksi yang belum menerima terapi profilaksis atau spesifik.

Terapi antiretroviral tetap menjadi dasar pendekatan untuk mengurangi berbagai infeksi dan proses yang terkait dengan HIV. Namun, terapi antiretroviral tidak dapat menggantikan kebutuhan profilaksis antimikroba pada pasien dengan imunosupresi berat.

 

Kesimpulan

Pengelolaan komprehensif, termasuk pemberian profilaksis, sangat diperlukan untuk mengoptimalkan kesehatan pasien dengan HIV/AIDS. Penggunaan terapi ARV dengan kepatuhan tinggi sangat penting untuk mengurangi dampak infeksi oportunistik dan meningkatkan kualitas hidup ODHA.

 

Sumber: Kemenkes


artikel-2025-01-10T151014.005.png

Ditandai dengan munculnya bintik-bintik putih atau cokelat pada enamel gigi, fluorosis adalah kondisi yang memengaruhi kesehatan gigi yang disebabkan oleh paparan fluorida yang berlebihan selama masa perkembangan gigi permanen, yang biasanya terjadi pada anak-anak di bawah usia delapan tahun. Meskipun kondisi ini tidak menimbulkan bahaya kesehatan yang signifikan, dampaknya pada estetika gigi dapat berdampak pada rasa percaya diri seseorang. Artikel ini akan membahas gejala fluorosis, penyebabnya, cara mencegahnya, dan pengobatannya.

 

Gejala dari Fluorosis

Perubahan warna pada permukaan gigi adalah tanda fluorosis. Pada tahap awal kondisi, gigi mungkin memiliki bintik-bintik kecil putih yang hampir tidak terlihat. Pada tahap yang lebih parah, bintik-bintik tersebut dapat berubah menjadi bercak cokelat muda atau tua yang lebih mencolok dan menutupi sebagian besar gigi. Dalam kasus yang sangat parah, enamel gigi bahkan dapat mengalami kerusakan yang lebih serius, seperti cekungan atau lubang kecil.

Fluorosis dapat dibagi menjadi beberapa kategori berdasarkan tingkat keparahannya:

  • Fluorosis sangat ringan pada tahap ini: kurang dari 25% permukaan gigi tertutup oleh beberapa bintik putih kecil.
  • Hingga 50% permukaan gigi terdiri dari bintik putih, yang dikenal sebagai fluorosis ringan.
  • Fluorosis sedang didefinisikan sebagai bintik putih atau bercak cokelat yang menutupi lebih dari setengah permukaan gigi.
  • Fluorosis parah: Dengan munculnya cekungan atau lubang kecil di enamel, hampir seluruh permukaan gigi mengalami perubahan warna.

 

Faktor Penyebab Fluorosis

Terpapar fluorida berlebihan, terutama pada anak-anak, dapat menyebabkan fluorosis. Fluorida adalah mineral yang biasa ditemukan dalam air dan beberapa makanan, serta dalam produk kesehatan gigi seperti pasta gigi dan air minum yang ditambahkan fluorida. Meskipun fluorida membantu mencegah kerusakan gigi, paparan berlebihan dapat menyebabkan fluorosis.

Beberapa sumber utama eksponensi terhadap fluorida adalah:

  • Air minum berfluorida: Di banyak tempat, fluorida ditambahkan ke dalam air minum untuk mencegah kerusakan gigi. Namun, paparan fluorida yang berlebihan dapat menyebabkan fluorosis.
  • Pasta gigi berfluorida: Orang tua harus memastikan bahwa anak-anak mereka tidak menelan pasta gigi saat mereka menggosok gigi karena dapat menyebabkan paparan fluorida yang berlebihan.
  • Suplemen fluorida: Jika anak-anak sudah mendapatkan cukup fluorida dari air minum dan pasta gigi, suplemen fluorida dapat meningkatkan risiko fluorosis.

 

Diagnosis Fluorosis

Pemeriksaan gigi rutin oleh dokter gigi biasanya memungkinkan diagnosis fluorosis. Dokter akan memeriksa perubahan warna pada gigi dan menentukan tingkat keparahan penyakit berdasarkan pola bercak atau bintik yang terlihat. Orang tua harus mengawasi kesehatan gigi anak-anak mereka secara teratur, terutama jika mereka tinggal di daerah di mana air minum mereka mengandung banyak fluorida.

Mencegah Fluorosis

Salah satu cara untuk mencegah fluorosis adalah dengan mengontrol jumlah fluorida yang dikonsumsi oleh anak-anak selama masa perkembangan gigi mereka. Beberapa cara untuk menghindari hal ini termasuk:

  • Menggunakan pasta gigi dengan benar: Orang tua harus memantau anak-anak mereka saat mereka menggosok gigi untuk memastikan mereka menggunakan jumlah pasta gigi yang tepat (seukuran biji jagung) dan tidak menelan pasta gigi saat menggosok gigi.
  • Memantau kadar fluorida dalam air minum di rumah: Orang tua dapat mempertimbangkan untuk menggunakan air botolan rendah fluorida atau memasang sistem penyaringan air untuk mengurangi jumlah fluorida yang terpapar pada anak-anak jika air minum di rumah mengandung banyak fluorida.
  • Menghindari mengonsumsi suplemen fluorida yang tidak diperlukan: Untuk menghindari paparan yang berlebihan, suplemen fluorida harus diberikan hanya atas rekomendasi dokter gigi atau dokter anak.

 

Mengatasi Fluorosis

Karena bintik-bintik putih pada gigi seringkali tidak terlihat dengan jelas, fluorosis ringan biasanya tidak memerlukan pengobatan khusus. Namun, dalam kasus yang lebih parah, di mana perubahan warna gigi cukup mencolok, perawatan kosmetik dapat dilakukan untuk memperbaiki penampilan gigi.

  • Pemutih gigi: Pemutih gigi memutihkan enamel gigi dan membantu menyamarkan noda akibat fluorosis ringan.
  • Bonding gigi: Dokter gigi mungkin menyarankan prosedur bonding gigi untuk menutupi noda gigi dengan resin komposit yang memiliki warna yang mirip dengan gigi asli dalam kasus fluorosis sedang.
  • Veneer atau mahkota gigi: Dokter gigi dapat merekomendasikan pemasangan veneer atau mahkota gigi untuk menutupi kerusakan enamel yang lebih luas pada kasus fluorosis yang lebih parah.

 

Kesimpulan

Paparan fluorida yang berlebihan selama perkembangan gigi menyebabkan kondisi yang disebut fluorosis. Meskipun tidak berbahaya dari segi medis, perubahan warna yang disebabkannya dapat memengaruhi penampilan gigi dan rasa percaya diri seseorang. Mengurangi paparan fluorida, terutama pada anak-anak, dapat dicegah dengan memantau penggunaan pasta gigi yang tepat, menjaga tingkat fluorida dalam air minum, dan menghindari suplemen fluorida yang tidak diperlukan. Perawatan kosmetik seperti pemutihan gigi, bonding, atau veneer dapat membantu mengatasi efek estetika yang ditimbulkan jika fluorosis terjadi.

 

Sumber: Kemenkes


artikel-2025-01-09T165055.914.png

Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah kondisi patologis yang disebabkan oleh HIV, yang menyebabkan berbagai infeksi yang dimulai pada tahap yang tidak menunjukkan gejala. Terlepas dari fakta bahwa HIV/AIDS (ODHA) telah menjadi masalah kesehatan global, stigma terhadap mereka masih ada di masyarakat. Hal ini disebabkan oleh kepercayaan bahwa HIV/AIDS sering dikaitkan dengan tindakan atau kebiasaan yang dianggap tidak sehat atau bertentangan dengan norma sosial yang berlaku. Memberikan label negatif terhadap individu atau kelompok dengan tujuan memisahkan mereka dari masyarakat dan menciptakan pandangan negatif dikenal sebagai Stigma.

buruk Stigma biasanya disebabkan oleh keyakinan bahwa ODHA adalah musuh, pembawa penyakit, atau orang yang memalukan yang melanggar norma agama atau sosial. Stigma terhadap ODHA dapat dipengaruhi oleh banyak hal, seperti keyakinan bahwa HIV/AIDS adalah penyakit yang mematikan, bahwa mereka adalah hasil dari perilaku menyimpang, kotor, tidak bertanggung jawab, atau bahkan sengaja menyebarkan penyakit mereka kepada orang lain. Selain itu, stigma disebabkan oleh pengetahuan yang tidak akurat tentang bagaimana HIV/AIDS menyebar. Ketidaktahuan atau kesalahpahaman masyarakat tentang HIV/AIDS membuat stigma semakin kuat. Semakin rendah tingkat pengetahuan seseorang tentang HIV/AIDS, semakin besar kemungkinan mereka memberikan stigma terhadap ODHA. Sebaliknya, masyarakat yang memiliki pengetahuan yang lebih baik tentang HIV/AIDS cenderung memiliki stigma yang lebih rendah terhadap ODHA. Persepsi yang tidak positif muncul di masyarakat.

Banyak ODHA takut akan stigma dan memilih untuk menyembunyikan identitas mereka dan bahkan menghindari pengobatan. Stigma memiliki konsekuensi yang sangat merugikan, seperti pengucilan sosial, pemecatan dari pekerjaan, dan kekerasan fisik atau psikologis. Stigma juga menyebabkan penderitaan emosional, psikologis, spiritual, dan sosial yang mendalam, yang tidak hanya berdampak pada ODHA tetapi juga pada keluarga mereka. Stigma bahkan dapat menghalangi akses ODHA ke layanan kesehatan, dukungan sosial, pendidikan, dan bahkan mengurangi rasa aman mereka dalam hidup.

Mitos dan Fakta Seputar HIV/AIDS yang Harus Dipahami

Mitos : HIV dan AIDS adalah Penyakit yang Sama

Banyak orang terus berpikir bahwa HIV dan AIDS adalah penyakit yang sama, meskipun sebenarnya keduanya berbeda. Salah satu virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh adalah HIV (Human Immunodeficiency Virus). Sementara itu, AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) adalah komplikasi yang muncul jika HIV tidak ditangani dengan benar. Penurunan daya tahan tubuh yang signifikan, yang dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan yang lebih parah, adalah tanda AIDS.

Mitos : HIV/AIDS Dapat Menular Lewat Berjabat Tangan atau Bersin.

HIV tidak dapat menular melalui percikan cairan tubuh saat seseorang bersin, keringat, menggunakan kolam renang, toilet umum, atau berbagi alat makan, gigitan nyamuk, maupun luka terbuka. Virus ini hanya dapat menyebar melalui pertukaran cairan tubuh tertentu, seperti darah, air mani, cairan vagina, dan ASI. Dengan demikian, Anda tidak perlu khawatir untuk bersentuhan kulit, berjabat tangan, berpelukan, berbagi peralatan makan dan minum, atau berada di lingkungan yang sama dengan penderita HIV/AIDS.

Mitos : Seks Oral Tidak Menyebarkan Virus HIV

Banyak orang berpikir bahwa HIV tidak bisa menular melalui seks oral karena pertukaran cairan tubuh selama hubungan seks anal atau vaginal. Meskipun benar bahwa risiko penularan melalui seks oral lebih rendah dibandingkan dengan seks anal atau vaginal, risiko penularan HIV tetap ada, terutama jika ada kondisi seperti sariawan di mulut atau luka di alat kelamin. Tidak hanya pasangan homoseksual, Pekerja Seks Komersial (PSK), dan pengguna narkoba suntik yang berisiko tinggi tertular HIV, tetapi pasangan heteroseksual juga berisiko tinggi, terutama jika mereka bergonta-ganti pasangan tanpa menggunakan pelindung.

Mitos : Penderita HIV Pasti Mengalami AIDS

Ketahuilah bahwa tidak semua orang yang terinfeksi HIV akan mengembangkan AIDS. Meskipun hingga saat ini belum ada obat yang dapat menghilangkan virus HIV secara total, penderita HIV dapat menggunakan obat antiretroviral untuk menghambat perkembangannya. Jika penderita HIV menjalani pengobatan secara teratur, kemungkinan besar kadar virus dalam tubuhnya akan turun hingga tidak terdeteksi. Kondisi ini dapat membantu mencegah perkembangan AIDS atau komplikasi HIV lainnya.

Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) seringkali tidak menunjukkan tanda-tanda atau perubahan fisik yang mencolok, dan gejala awal mereka bisa mirip dengan penyakit lain, seperti kelelahan atau demam. Ini adalah salah satu mitos yang sering beredar di masyarakat bahwa penderita HIV/AIDS dapat dikenali melalui penampilan fisik mereka.

Mitos : Penderita HIV Tidak Bisa Memiliki Keturunan

Penderita HIV tetap memiliki kemungkinan untuk memiliki anak dengan menjalani pengobatan secara teratur dan menjaga kadar virus HIV dalam tubuh tetap rendah. Pria dengan load virus yang rendah memiliki risiko penularan virus yang lebih kecil kepada pasangan dan anak mereka. Begitu juga dengan wanita yang terinfeksi HIV, mengonsumsi obat antiretroviral secara teratur dapat mengurangi risiko penularan virus dari ibu kepada janin yang dikandungnya.

Mitos: Tidak Perlu Menggunakan Kondom jika Kedua Pasangan Positif HIV Hal ini penting untuk mencegah penyebaran virus HIV yang berbeda atau yang sudah tidak dapat diobati dengan pengobatan antiretroviral. Ini adalah beberapa mitos dan fakta tentang HIV/AIDS yang penting untuk dipahami oleh setiap orang. Dengan memahami perbedaan antara fakta dan mitos, Anda tidak akan merasa khawatir untuk hidup berdampingan dengan orang yang menderita HIV/AIDS.

 

Sumber: Kemenkes


artikel-2025-01-09T164145.737.png

Pola makan sangat penting untuk sistem kekebalan tubuh pasien HIV/AIDS karena mereka membutuhkan jumlah makronutrien dan mikronutrien yang cukup. Diet yang kurang variatif dapat berdampak buruk pada kesehatan, kesejahteraan, dan perkembangan seseorang, terutama dengan mengurangi kemampuan fisik, sosial, kognitif, reproduksi, dan imunologi.

Keanekaragaman makanan bersama dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya pada orang yang terinfeksi HIV akan sangat berpengaruh pada kualitas perawatan gizi dan konseling yang diberikan oleh tenaga medis, yang akan membantu pasien memperbaiki kualitas hidup mereka dan meningkatkan kapasitas fisik dan sosial mereka.

Karena orang dengan HIV/AIDS juga harus menghadapi infeksi oportunistik, efek buruk gizi pada mereka menjadi semakin penting. Dengan nutrisi yang baik, penyakit dapat berkembang lebih lambat. Intervensi gizi dapat memaksimalkan manfaat dari obat antiretroviral dan meningkatkan kepatuhan terhadap pengobatan.

 

Pola Makan Pasien HIV/AIDS

  • Kondisi gizi seseorang dapat dipengaruhi oleh kebiasaan makan mereka yang dikenal sebagai pola makan. Tubuh dapat mencapai status gizi yang ideal dengan mengonsumsi makanan yang tepat, baik dari segi jumlah, kualitas, maupun jenisnya, untuk memenuhi kebutuhan berbagai zat gizinya.
  • Selain itu, sangat umum untuk menambahkan garam ke makanan yang dimasak. Akibatnya, tidak hanya obesitas yang meningkat, tetapi juga risiko diabetes tipe 2, karies, dan penyakit jantung. Remaja yang tinggal di panti asuhan mengonsumsi daging dan kacang yang lebih sedikit dan buah yang lebih banyak daripada remaja yang tinggal bersama keluarga mereka, sehingga faktor tempat tinggal juga berpengaruh.
  • Prinsip pola makan sehat menyarankan orang dewasa untuk mengonsumsi dua gelas besar susu setiap hari atau minuman susu fermentasi sebagai penggantinya. Selain itu, ada bukti bahwa penderita HIV memiliki risiko lebih tinggi terhadap masalah tulang, seperti osteopenia, dengan risiko 22%–77%.
  • Mengonsumsi makanan bergizi yang sehat tidak hanya mempengaruhi kesehatan mereka, tetapi juga kualitas hidup mereka. Ini dapat membantu mengurangi risiko kekurangan gizi yang signifikan dan kekurangan mineral dan vitamin karena sifat imunostimulasinya.
  • Pola makan seseorang yang menderita HIV/AIDS memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kesehatan mereka. Pola makan yang tidak memenuhi kebutuhan tubuh akibat infeksi HIV dapat menyebabkan kekurangan gizi jangka panjang, sementara stadium AIDS akan mengurangi daya tahan tubuh secara signifikan terhadap infeksi lain.
  • Pola makan yang kurang bervariasi juga dapat berdampak buruk pada kesehatan, kesejahteraan, dan perkembangan seseorang, terutama dengan mengurangi kemampuan fisik, sosial, kognitif, reproduksi, dan sistem imun. Pola makan sangat penting untuk sistem kekebalan tubuh penderita HIV/AIDS karena kecukupan makronutrien dan mikronutrien sangat penting untuk menjaga fungsi tubuh yang normal.

 

Kesimpulan

Untuk mendukung sistem kekebalan tubuh remaja dan dewasa yang menderita HIV/AIDS, sangat penting untuk mematuhi pola makan yang sehat dan kaya nutrisi. Kecukupan makronutrien dan mikronutrien membantu memperlambat perkembangan penyakit, meningkatkan efektivitas obat antiretroviral, dan meningkatkan kualitas hidup secara keseluruhan.

Diet yang tidak sehat dan tidak bervariasi dapat memperburuk kondisi kesehatan, menurunkan daya tahan tubuh, dan meningkatkan risiko kekurangan gizi dan komplikasi kesehatan lainnya. Memenuhi kebutuhan nutrisi pasien HIV/AIDS dapat dicapai dengan mengonsumsi makanan kaya nutrisi seperti susu, daging, kacang-kacangan, buah-buahan, dan sayur-sayuran.

Selain itu, kesehatan fisik, sosial, dan kognitif pasien dibantu oleh pola makan yang seimbang. Untuk mempertahankan kesehatan jangka panjang dan meningkatkan kapasitas fisik, sosial, dan daya tahan tubuh, orang harus makan makanan yang sehat dan mendapatkan konseling gizi yang baik dari profesional medis.

 

Sumber: Kemenkes


artikel-1.png

Mereka yang terinfeksi HIV/AIDS menghadapi berbagai masalah yang signifikan, termasuk masalah fisik, sosial, finansial, dan emosional. Penurunan daya tahan tubuh secara bertahap menyebabkan masalah fisik, yang membuat orang dengan HIV/AIDS (ODHA) lebih rentan terhadap berbagai penyakit, terutama infeksi dan penyakit ganas seperti TBC, Pneumonia, Herpes Simpleks, Diare Kronis, Hepatitis, dan infeksi/kelainan neurologi yang dikenal sebagai infeksi oportunistik. Rumah sakit seringkali hanya memberikan perawatan pada bagian fisik pasien HIV/AIDS. Namun, stigmatisasi penyakit ini menyebabkan mereka menghadapi tantangan sosial selain masalah fisik.

Stigma ini muncul karena HIV/AIDS sering dikaitkan dengan perilaku yang dianggap tidak etis, seperti seks bebas, penyalahgunaan narkoba, dan hubungan sesama jenis (homoseksual), yang menyebabkan pasien dianggap layak dihukum karena perilaku tersebut. Untuk membantu pasien HIV-AIDS meningkatkan kemampuan dan kualitas hidup mereka, teori self care disarankan. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kondisi kesehatan pasien secara keseluruhan. Penanganan yang tidak tepat terhadap pasien HIV/AIDS dapat menyebabkan penurunan fungsi tubuh mereka, gangguan interaksi sosial karena stigma negatif, depresi, dan rasa putus asa.

 

Model Perawatan Diri untuk Surviver HIV/AIDS

Perawatan diri adalah serangkaian tindakan yang dilakukan secara sadar oleh seseorang untuk mempertahankan hidup, mempertahankan kesehatan, mengembangkan diri, dan meningkatkan kesejahteraan mereka. Sementara itu, pendekatan spiritual, seperti berdoa atau berzikir, dan mencoba mengurangi stres adalah kunci dalam manajemen koping penyintas. Kesehatan fisik dan mental penyintas HIV/AIDS dapat ditingkatkan melalui perawatan diri yang tepat.

  • Mengonsumsi makanan yang bergizi dan seimbang adalah salah satu cara penyintas HIV/AIDS merawat diri di rumah singgah. Makanan yang mengandung keseimbangan makronutrisi dan mikronutrisi dapat meningkatkan daya tahan tubuh. mikronutrisi seperti vitamin dan mineral.
  • Salah satu bentuk perawatan diri yang dilakukan oleh para penyintas HIV/AIDS adalah ketahanan dalam mengonsumsi obat. Mengonsumsi obat ARV secara teratur dapat menurunkan jumlah virus HIV dalam tubuh, dan penurunan jumlah virus tersebut dalam jangka panjang dapat membantu memperbaiki dan menjaga sistem kekebalan tubuh agar tetap berfungsi dengan baik.
  • Salah satu langkah yang diambil oleh penyintas HIV/AIDS di rumah singgah untuk tetap menjalani aktivitas dan kehidupan dengan baik meskipun memiliki status ODHA adalah istirahat yang cukup dan tidur yang cukup. Terbukti bahwa tidur yang cukup membantu tubuh tetap sehat dan bekerja dengan baik. Tidur yang cukup juga membantu sistem kekebalan tubuh, karena tidur yang cukup membantu pelepasan sitokin dan protein multifaset, yang membantu sistem kekebalan tubuh menanggapi antigen dengan lebih cepat.

 

Model Kebutuhan Perawatan Diri Terapeutik (juga dikenal sebagai Kebutuhan Perawatan Diri Terapeutik) ada Survivor HIV

Untuk memenuhi semua kebutuhan perawatan individu dengan menggunakan metode tertentu dan mengontrol atau mengelola faktor-faktor yang diperlukan untuk memastikan kecukupan udara, air, dan makanan, kebutuhan perawatan diri terapeutik juga mencakup penerimaan pasien HIV oleh tenaga kesehatan.

  • Penurunan kondisi fisik yang disebabkan oleh penurunan daya tahan tubuh yang disebabkan oleh defisiensi imun merupakan bagian dari perawatan yang diperlukan bagi pasien HIV. Penurunan berat badan, diare, mual, muntah, ruam pada kulit, infeksi yang meluas, dan penurunan kesadaran yang dapat menyebabkan kematian adalah beberapa sindrom fisik yang dapat muncul. Untuk menghindari keluhan tersebut, gejala harus mendapat perawatan yang tepat dan pengendalian yang baik atas penggunaan obat antiretroviral (ARV).
  • Perawatan pasien HIV adalah komponen penting dalam menjaga kondisi mereka tetap baik dan memperpanjang harapan hidup mereka. Perawatan ini mencakup perawatan fisik, dukungan emosional dari tenaga medis, pemberian edukasi tentang perawatan, dan mendorong pasien HIV untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial.

 

Survivor HIV memiliki Model Sistem Dukungan (Self Care Agency)

Salah satu bagian dari layanan kesehatan adalah keperawatan, yang bertujuan untuk memberikan perawatan langsung kepada individu yang memerlukan perawatan karena masalah kesehatan atau kebutuhan perawatan yang bersifat alami. Keperawatan juga mencakup aspek sosial dan interaksi interpersonal dengan individu yang membutuhkan bantuan dalam perawatan terkait dengan kegagalan mereka untuk merawat diri sendiri.

  • Untuk mengatasi kekurangan perawatan diri pada pasien HIV, diperlukan agen perawatan diri, yaitu kemampuan kompleks individu untuk memahami dan memenuhi kebutuhan dirinya yang bertujuan untuk menjalankan fungsi dan perkembangan. Model dukungan bagi penyintas HIV mencakup dukungan dari teman atau sesama penderita HIV, keluarga, dan tenaga kesehatan yang memberikan perawatan.
  • Stigma yang ada dapat memperburuk keadaan pasien HIV dalam lingkungan sosial, sehingga sangat penting untuk mendapatkan dukungan dari teman sebaya, keluarga, dan orang-orang di sekitar pasien untuk menjaga kondisi mereka. Dukungan dari teman sebaya dan keluarga dapat meningkatkan kondisi emosional pasien dan meningkatkan rasa percaya diri mereka dalam melakukan aktivitas sehari-hari, yang pada gilirannya akan berdampak positif pada kualitas hidup pasien.
  • Stigma saat ini dapat memperburuk kondisi pasien HIV di lingkungan sosial, sehingga sangat penting untuk mendapatkan dukungan dari teman sebaya, keluarga, dan orang-orang di sekitar pasien untuk menjaga kesejahteraan mereka. Bantuan dari teman sebaya dan keluarga dapat meningkatkan kondisi emosional pasien dan meningkatkan rasa percaya diri mereka dalam menjalani kehidupan sehari-hari, yang pada akhirnya berdampak positif pada kualitas hidup pasien.

 

Sumber: Kemenkes


Copyright by Markbro 2025. All rights reserved.