Tantangan-di-Balik-Rendahnya-Cakupan-Imunisasi-Tinjauan-dari-Aspek-Sosial-Budaya-Keyakinan-dan-Arus-Informasi.png

Imunisasi merupakan intervensi kesehatan masyarakat yang terbukti paling efektif dalam menurunkan angka kesakitan, kecacatan, dan kematian akibat penyakit menular. Namun, capaian imunisasi dasar lengkap di Indonesia masih mengalami fluktuasi dan belum mencapai target nasional, terutama di wilayah dengan karakteristik sosial dan budaya yang kuat. Menurut Kementerian Kesehatan (2023), salah satu penyebab utama rendahnya cakupan imunisasi bukan terletak pada ketersediaan vaksin atau tenaga kesehatan, tetapi pada rendahnya penerimaan masyarakat terhadap imunisasi itu sendiri.
Fenomena penolakan atau keraguan terhadap imunisasi (vaccine hesitancy) menjadi tantangan serius bagi program imunisasi nasional. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor sosial, budaya, keyakinan keagamaan, serta meningkatnya arus informasi yang tidak valid di media sosial. Artikel ini berupaya membahas secara mendalam pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap rendahnya cakupan imunisasi di Indonesia.

 

Faktor Sosial: Pengaruh Lingkungan dan Kepercayaan Komunitas

Dalam masyarakat, keputusan seorang ibu untuk membawa anaknya imunisasi sering kali tidak diambil secara individu, tetapi dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya.
Ada pandangan bahwa imunisasi bukan prioritas dibanding kebutuhan ekonomi harian. Di keluarga dengan tingkat pendidikan rendah, imunisasi dianggap tidak terlalu penting selama anak terlihat sehat.
Selain itu, opini tokoh masyarakat dan kelompok sosial tertentu memiliki peran besar. Jika tokoh yang dihormati tidak mendukung imunisasi, maka masyarakat cenderung mengikuti pandangan tersebut tanpa mempertimbangkan bukti ilmiah.

 

Faktor Budaya dan Keyakinan: Antara Tradisi dan Persepsi Religius

Budaya dan keyakinan juga turut menentukan keberhasilan program imunisasi. Di beberapa wilayah, masih ada anggapan bahwa penyakit merupakan “takdir Tuhan” yang tidak perlu dicegah dengan vaksinasi.
Sebagian masyarakat juga berpegang pada pengobatan tradisional atau jampi-jampi sebagai cara pencegahan penyakit.

Selain itu, isu kehalalan vaksin sering menjadi alasan penolakan imunisasi. Meskipun Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa bahwa imunisasi diperbolehkan bahkan dianjurkan demi menjaga kesehatan dan keselamatan jiwa, tidak semua masyarakat mendapatkan informasi ini secara utuh.

 

Arus Hoaks dan Misinformasi: Tantangan Era Digital

Kemajuan teknologi informasi memberi dua sisi mata uang bagi dunia kesehatan. Di satu sisi, informasi dapat menyebar dengan cepat dan membantu edukasi masyarakat. Namun di sisi lain, hoaks dan misinformasi tentang imunisasi juga menyebar luas melalui media sosial.
Isu seperti “vaksin menyebabkan autisme”, “vaksin berisi chip”, atau “vaksin hanya bisnis farmasi” telah menciptakan ketakutan dan kebingungan di masyarakat.
Sayangnya, masyarakat lebih mudah percaya pada informasi emosional yang sering dikemas dengan narasi menakutkan, dibandingkan dengan data ilmiah yang disampaikan secara formal oleh tenaga kesehatan.

 

Peran Tenaga Kesehatan dan Lintas Sektor

Menjawab tantangan tersebut, tenaga kesehatan tidak cukup hanya memberikan layanan imunisasi, tetapi juga harus menjadi educator dan influencer di tengah masyarakat.
Pendekatan sosial-budaya perlu diperkuat, misalnya dengan melibatkan tokoh agama, kader, dan tokoh adat dalam kampanye imunisasi.
Selain itu, kolaborasi dengan sektor pendidikan, media, dan organisasi keagamaan sangat penting untuk memastikan pesan imunisasi tersampaikan secara benar dan berulang kepada masyarakat.

 

Kesimpulan

Rendahnya cakupan imunisasi bukan hanya masalah pelayanan kesehatan, tetapi juga masalah sosial dan komunikasi publik. Kunci keberhasilannya terletak pada kemampuan pemerintah dan tenaga kesehatan membangun kepercayaan, menyesuaikan pendekatan dengan nilai-nilai budaya setempat, serta melawan hoaks dengan strategi komunikasi yang empatik dan berkelanjutan. Imunisasi bukan hanya perlindungan individu, tetapi juga bentuk tanggung jawab sosial untuk melindungi generasi masa depan dari ancaman penyakit berbahaya.

 

Sumber : AyoSehat


Gak-Perlu-Takut-Yuk-Deteksi-Dini-Kanker-Serviks.png

Kanker serviks adalah sel-sel kanker yang tumbuh pada leher rahim, sehingga dikenal juga sebagai kanker leher rahim. Kanker ini biasanya baru menunjukkan gejala ketika sudah memasuki stadium lanjut. Oleh karenanya, penting bagi para perempuan untuk melakukan deteksi kanker serviks sejak dini.

Kanker serviks merupakan penyakit kanker keempat terbanyak di kalangan perempuan seluruh dunia. Di Indonesia, selain kanker payudara, kanker serviks merupakan jenis kanker kedua yang paling ditakuti dan banyak terjadi pada perempuan.

Penyebab Kanker Serviks

Infeksi kanker serviks dimulai ketika sel-sel tidak normal tumbuh di leher rahim. Penyebab utamanya adalah infeksi virus HPV atau Human Papilloma Virus. Jika tidak ditangani dengan baik, lambat laun sel-sel tidak normal ini akan berkembang semakin tidak terkendali, sehingga membentuk tumor ganas yang menjadi penyebab kanker serviks.

Selain itu, ada berbagai faktor risiko lainnya yang membuat perempuan rentan terkena kanker serviks, yaitu

  • Faktor keturunan atau riwayat keluarga dengan kanker serviks

  • Sistem kekebalan tubuh yang lemah

  • Kebiasaan merokok

  • Pola makan tidak sehat, seperti kurangnya konsumsi buah dan sayuran

  • Obesitas atau berat badan berlebih

  • Riwayat infeksi penyakit seksual menular

  • Mulai melakukan hubungan seksual pada usia yang sangat muda.

  • Terlalu sering hamil atau hamil dan melahirkan di usia sangat muda

Gejala Kanker Serviks

Kanker serviks atau leher rahim bisa disembuhkan jika terdeteksi sejak tahap awal. Sayangnya, banyak perempuan tidak paham atau takut melakukan pemeriksaan dan skrining kanker serviks.

Padahal, penting bagi perempuan untuk mengenali gejala kanker serviks pada stadium awal, agar dapat melakukan deteksi kanker serviks sejak dini. Kenali gejala-gejala awal kanker serviks berikut ini.

  1. Pendarahan pada Vagina

    Jangan abaikan pendarahan yang terjadi pada vagina saat sedang tidak menstruasi, berhubungan intim, atau sudah menopause. Walau demikian, pendarahan bisa juga terjadi saat menstruasi, yang menyebabkan darah keluar lebih banyak dari biasanya.

  1. Keputihan yang Berbeda dari Biasanya

    Keputihan yang biasa terjadi berupa cairan berwarna bening atau putih, tidak berbau, dan tidak menyebabkan gatal atau nyeri pada vagina. Waspadalah jika keputihan yang keluar berwarna atau bercampur darah, berbau tidak sedap, dan menyebabkan gatal.

  1. Nyeri yang Tidak Mereda

    Nyeri pada panggul saat berhubungan intim bisa jadi merupakan gejala awal kanker serviks. Periksakan diri segera untuk memastikannya.

  1. Tubuh Mudah Lelah

    Pendarahan yang tidak normal pada vagina menyebabkan tubuh kekurangan sel darah merah, sehingga mudah lelah meskipun sudah cukup beristirahat.

  1. Sering Buang Air Kecil

    Sel-sel kanker yang tumbuh di leher rahim bisa menyebar ke kandung kemih, sehingga menyebabkan penderita sering buang air kecil.

 

Kanker yang sudah memasuki stadium lanjut dan menyebar ke organ tubuh lainnya bisa menimbulkan berbagai keluhan berikut ini.

  1. Nafsu Makan Hilang

    Hilangnya nafsu makan lambat laun akan menyebabkan berat badan menurun.

  1. Darah pada Urin dan BAB

    Darah ditemukan pada urin atau keluar saat buang air besar.

  1. Perut Membesar

    Sel kanker yang membesar dan berkembang bisa memicu benjolan pada perut, yang membuat perut terlihat membesar.

  1. Gangguan Fisik

    Keluhan lainnya berupa mual dan muntah, kejang atau diare.

 

Cara Deteksi Kanker Serviks

Segera periksakan diri jika mengalami gejala-gejala seperti di atas. Pemeriksaan kanker serviks bisa dilakukan dengan berbagai cara, antara lain:

  • Pemeriksaan Pap Smear

    Deteksi kanker serviks dengan cara mengambil sampel sel dari leher rahim di ujung vagina untuk mengetahui ada tidaknya tanda-tanda kanker tahap awal.

  • Tes HPV

    Tujuannya untuk mendeteksi ada tidaknya virus HPV (Human Papillomavirus) pada leher rahim. Analisa bisa dilakukan dengan menggunakan sampel yang sama dengan tes Pap atau mengambil sampel kedua.

  • Biopsi

    Jika pada deteksi awal kanker serviks ditemukan tanda-tanda mencurigakan, dokter bisa melanjutkan pengambilan sampel kecil jaringan untuk diperiksa lebih lanjut di laboratorium.

  • Skrining dengan IVA

    Pemeriksaan IVA (Inspeksi Visual dengan Asam Asetat) merupakan pemeriksaan dengan cara mengoleskan langsung asam asetat atau cuka dapur encer pada leher rahim. Bercak putih akan terlihat setelah 1 menit jika ada sel-sel kanker pada leher rahim.

Pencegahan Kanker Serviks

Walaupun kanker serviks merupakan masalah kesehatan yang serius, penyakit ini bisa dicegah dengan melakukan vaksinasi HPV dan menghindari faktor-faktor risikonya.

Vaksinasi HPV adalah vaksin yang diberikan kepada perempuan mulai usia 9-26 tahun untuk mengurangi resiko terinfeksi virus HPV, penyebab utama kanker serviks. Vaksin ini akan lebih efektif jika diberikan sebelum mulai berhubungan seksual untuk pertama kalinya

Adapun faktor-faktor risiko yang harus dihindari agar terhindar dari kanker serviks antara lain:

  1. Perilaku Seksual Berisiko

    Hindari berhubungan seksual pada usia terlalu muda, yaitu di bawah 20 tahun dan berganti-ganti pasangan. Virus HPV bisa ditularkan melalui hubungan seksual yang tidak aman.

  2. Kebiasaan Merokok

    Merokok dan terpapar asap rokok bisa menurunkan sistem kekebalan tubuh, sehingga membuat perempuan rentan terhadap infeksi virus HPV.

  3. Pola Hidup Tidak Sehat

    Pola makan sehat dan rutin berolahraga secara teratur bisa meningkatkan kekebalan tubuh dan mengurangi risiko terinfeksi virus HPV. Selain itu, kelola stress dengan baik serta beristirahat cukup.

  4. Kurangnya Kebersihan Vagina

    Jaga kebersihan vagina setiap saat. Basuh dengan air setelah buang air besar dan kecil, lalu keringkan segera setelah dibersihkan. Gunakan pakaian dalam berbahan nyaman dan tidak ketat.

Selan hal-hal di atas, lanjutkan pemeriksaan Pap Smear secara rutin untuk deteksi kanker serviks sejak dini, terutama bagi wanita yang sudah menikah.

Pengobatan Kanker Serviks

Kanker serviks bisa diobati. Berikut adalah pengobatan yang biasa dilakukan pada penderita kanker serviks.

  1. Radioterapi

    Metode ini menggunakan sinar X untuk menghancurkan sel-sel kanker. Bisa dilakukan sebelum dan sesudah operasi, atau bersamaan dengan kemoterapi.

  2. Kemoterapi

    Menggunakan obat-obatan untuk menghancurkan sel-sel kanker, terutama pada penderita stadium lanjut atau ketika sel-sel kanker sudah menyebar ke organ tubuh lainnya.

  3. Operasi

    Melakukan pembedahan untuk mengangkat jaringan yang terinfeksi, biasanya dilakukan pada penderita yang masih belum stadium lanjut. Pilihan operasinya pun tergantung pada ukuran kanker, stadium dan keinginan penderita untuk hamil di masa akan datang.

Walaupun kanker serviks adalah penyakit yang bisa dicegah dan diobati, kanker ini bisa menimbulkan berbagai komplikasi. Oleh karenanya, tetap waspada dan jangan takut untuk melakukan deteksi kanker serviks sejak dini.

Sumber : AyoSehat


Orang-Muda-Bebas-dari-Risiko-Penyakit-Jantung-Apa-Benar.png

Penyakit kardiovaskular sering diidentikkan dengan orang berusia lanjut yang sudah kurang produktif. Tapi, tahukah Anda kalau penyakit kardiovaskular sebetulnya sangat sering menyerang kelompok usia produktif?

Menurut Riset Kesehatan Dasar tahun 2018, angka pengidap penyakit ini semakin meningkat dari tahun ke tahun. Bisa dikatakan, 15 dari 1000 orang di Indonesia menderita penyakit jantung.

Penyebab Penyakit Jantung

Pola hidup tidak sehat menjadi faktor utama dari penyebabnya, seperti makan sembarangan, kurang tidur, mengkonsumsi alkohol atau rokok, serta kurang berolahraga. Bukankah ini sering dilakukan para usia muda produktif karena pengaruh gaya hidup, pekerjaan, atau pergaulan?

Kadang, pengidap penyakit kardiovaskular sulit menyadari mereka sebetulnya sudah memiliki tanda-tandanya karena enggan memeriksakan kesehatan. Alangkah sayang jika ketahuan saat terlanjur parah, karena akan semakin sulit diobati.

Manfaatkan Sarana Kesehatan Berikut untuk Deteksi Dini

Padahal, proses pemeriksaan Penyakit Tidak Menular ini tidak sulit. Pemerintah telah mempermudah akses masyarakat agar orang yang berisiko terkena penyakit ini bisa segera memeriksakan kondisinya, bahkan bagi mereka yang tinggal di daerah.

Banyak sarana layanan kesehatan yang bisa digunakan untuk periksa dini penyakit pencetus atau faktor risiko yang menyebabkan penyakit kardiovaskular, seperti hipertensi, kolesterol, gula darah. Di antaranya:

1. Fasilitas kesehatan tingkat pertama, seperti Puskesmas atau klinik kesehatan terdekat. Pastikan dahulu tempat yang Anda kunjungi dilengkapi dengan fasilitas pemeriksaan yang dibutuhkan.

2. Rumah Sakit. Sebagai sarana kesehatan paling besar dibandingkan yang lain di atas, apabila hendak memeriksakan diri ke rumah sakit, jangan lupa juga lakukan persiapan untuk menunggu antrian.

Tips Agar Nyaman Selama Pemeriksaan Kesehatan

Melakukan pemeriksaan kesehatan mungkin terdengar seperti kegiatan yang memakan waktu. Karena itu, ada baiknya Anda menyiapkan hal-hal berikut agar pemeriksaan kesehatan berjalan lebih nyaman:

1. Lengkapi persyaratan. Bila Anda menggunakan BPJS, biasanya akan ada pendataan yang harus dilakukan sebelum pemeriksaan. Pastikan Anda sudah memfotokopi surat-surat penting seperti KTP atau surat rujuk bila ada.

2. Cari tahu apakah tempat tersebut dilengkapi dengan pendaftaran online. Anda bisa mencoba melakukan pencarian singkat di internet untuk mengetahuinya dan melakukan pendaftaran langsung di sana.

3. Bawa camilan dan minum atau hiburan. Menanti giliran tentu bukan proses yang menyenangkan. Untuk itu, lakukan persiapan kecil seperti menggunakan pakaian yang nyaman, menggunakan tas yang cukup menampung barang bawaan, hingga membawa benda penangkal bosan seperti buku, atau gadget. Tapi, tetap pantau nomor antrian yang sedang berjalan agar tidak terlewat, ya!

Selain memeriksakan kesehatan, tentu penyakit kardiovaskular tidak bisa dicegah tanpa usaha langsung. Selalu jaga kondisi kita agar terhindar dari penyakit tidak menular dengan melakukan gaya hidup CERDIK. Apa itu? Cari tahu di sini.

 Dengan menjalankan CERDIK secara rutin, kita bisa telah berusaha menjauhkan diri dari penyakit tidak menular dan hidup dengan sehat!

Sumber : AyoSehat


Orang-Tua-Waspada-Penyakit-Jantung-Bawaan-pada-Anak.png

Apa itu penyakit jantung bawaan? Penyakit Jantung Bawaan atau sering dikenal dengan  istilah PJB merupakan sebuah kondisi ketika seseorang memiliki kelainan struktur jantung atau sirkulasi di jantung akibat kegagalan proses pembentukan organ saat berada di dalam kandungan.

Di dunia, setiap 1 dari 100 bayi lahir dengan PJB. Di Indonesia, negara dengan angka fertilitas (kesuburan) tinggi, terdapat kurang lebih 5 juta bayi lahir setiap tahun dengan 50.000 bayi lahir dengan PJB dan 12.500 dengan PJB berat. Hal tersebut menjadikan Indonesia memiliki beban kesehatan tinggi terhadap kelainan ini (PJB).

Penyebab Penyakit Jantung Bawaan

Bagaimana PJB bisa terjadi? Sampai saat ini, penyebab terjadinya PJB masih belum jelas, tetapi ada beberapa faktor risiko yang berperan, meliputi kebiasaan merokok baik secara aktif maupun pasif, konsumsi alkohol, ibu dengan diabetes mellitus/penyakit gula saat hamil, infeksi TORCH, kelainan jantung bawaan di keluarga, faktor genetik lain.

Gejala Penyakit Jantung Bawaan

PJB dapat menimbulkan gejala seperti:

  1. Mudah lelah

  2. Sesak napas

  3. Dada berdebar-debar

  4. Mudah pingsan

  5. Batuk dan pilek cenderung tidak sembuh-sembuh

  6. Tumbuh kembang terhambat

  7. BB sulit meningkat atau cenderung menurun

  8. Sering demam tidak diketahui penyebabnya

  9. Pernah terdiagnosis TBC saat anak atau sakit flek

 

Selain itu, tanda khas pada PJB yang dapat ditemukan antara lain adalah biru di bibir, lidah, jari tangan, atau kaki (sianosis).

Oleh karena itu, apabila anak Anda menunjukkan tanda atau gejala seperti di atas, segera periksa ke dokter atau fasilitas kesehatan terdekat. Apabila tidak ditangani dengan baik dan segera, maka akan menimbulkan kondisi seperti gagal jantung kanan, gangguan irama jantung, angka harapan hidup berkurang, dan peningkatan risiko terjadinya stroke di masa depan.

Cara Mencegah Penyakit Jantung Bawaan

Pencegahan dapat dilakukan menghindari faktor risiko, yakni dengan tidak merokok, tidak konsumsi alkohol, menjaga kesehatan tubuh. Bagi yang sudah terdiagnosis, wajib rutin kontrol sesuai jadwal, konsumsi obat sesuai anjuran, aktivitas disesuaikan dengan kebutuhan, konsumsi makanan bergizi seimbang (tidak ada pantangan khusus makanan tertentu yang dapat memperparah PJB).

Sumber : AyoSehat


adhd-pada-anak.png

Apa itu ADHD? Pertanyaan ini mungkin akan muncul di tengah masyarakat yang masih asing terhadap isu kesehatan mental.

ADHD adalah singkatan dari Attention Deficit Hyperactivity Disorder. Masalah kesehatan ini merupakan kondisi yang membuat anak mengalami gangguan psikiatrik yang ditunjukkan dengan gangguan memfokuskan perhatian secara berlebihan dan hiperaktivitas.

Ada 3 karakteristik utama ADHD pada anak yang biasa ditemukan (Stahl, 2009), yaitu:

  1. Inatensi

    1. Kesulitan mempertahankan fokus

    2. Gagal fokus pada hal detail

    3. Terlihat tidak mendengarkan

    4. Kesulitan mengikuti instruksi

    5. Kesulitan mengorganisasi

    6. Sering kehilangan barang dll

  2. Hiperaktif

    1. Gelisah

    2. Tidak bisa duduk diam

    3. Tidak bisa antri

    4. Lari atau memanjat tak terkendali

    5. Bergerak tanpa kendali

    6. Banyak bicara

  3. Impulsif

    1. Kesulitan menunggu giliran

    2. Menjawab impulsif tanpa menunggu selesai

    3. Memotong pembicaraan orang lain

Seorang anak ADHD biasanya menunjukkan 1 atau lebih dari kategori perilaku diatas. Gejala ADHD yang tampak pada seorang anak, biasanya akan muncul sebelum usia 7 atau 12 tahun.

Namun para orang tua tidak perlu takut, karena dengan terapi pengobatan maupun terapi non pengobatan, ADHD akan membantu anak dalam mengatasi masalah yang dialaminya.

Terapi Anak dengan Gangguan ADHD

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa terdapat banyak pilihan terapi yang bisa dilakukan untuk mengendalikan ADHD pada anak, diantaranya adalah

  1. Terapi farmakologi (Terapi Pengobatan) dengan menggunakan obat stimulan methylphenidate dan amphetamine sulphate dan obat non stimulan seperti atomoxetine.

  2. Terapi non farmakologi (Terapi non pengobatan) dengan neurofeedback, yaitu terapi kognitif dan perilaku untuk melatih fungsi otak.

Dalam menghadapi kondisi ADHD pada anak, dukungan dan kasih sayang orang tua merupakan hal yang sangat dibutuhkan oleh sang anak.

Sehingga menjaga hubungan emosional yang baik diharapkan dapat memberi pengaruh positif terhadap perbaikan kondisi pada anak. Berikut beberapa tips yang dapat dilakukan dalam menangani anak dengan ADHD di rumah:

  1. Memberikan instruksi yang jelas: Berikan instruksi yang sederhana, langsung, dan spesifik. Jika perlu, gunakan panduan visual atau daftar tugas yang jelas untuk membantu anak memahami dan mengingat tugas yang harus dilakukan.

  2. Mengatur waktu untuk berolahraga dan kegiatan fisik

  3. Makanan sehat dan pola tidur yang teratur

  4. Dukungan dan komunikasi

  5. Pujian dan penghargaan untuk memperkuat motivasi dan meningkatkan kepercayaan diri mereka.

  6. Menggunakan strategi belajar yang efektif: Visual, Auditory, Kinestetik

Penanganan dini pada anak dengan ADHD yang diawali dengan rutin melakukan pemeriksaan merupakan langkah bijaksana yang bisa dilakukan oleh para orangtua, sehingga proses penanganan dapat dilakukan secara cepat dan tepat dari petugas kesehatan.

Sumber : AyoSehat


Mengenal-Gejala-Anemia-pada-Remaja.png

Anemia adalah suatu kondisi dimana tubuh seseorang mengalami penurunan atau jumlah sel darah merah yang ada di dalam tubuh berada di bawah batas normal.

Hal tersebut dapat terjadi dikarenakan kurangnya hemoglobin di dalam tubuh, sehingga mempengaruhi jumlah produksi sel darah merah.

Anemia juga merupakan salah satu masalah kesehatan yang banyak ditemukan pada golongan remaja. Hal ini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah kekurangan nutrisi hingga pendarahan akibat menstruasi.

Gejala Anemia pada Remaja

Secara umum, sebagian orang tidak memperlihatkan gejala atau tanda. Namun demikian, terdapat beberapa gejala anemia yang dapat dialami oleh remaja seperti berikut, diantaranya adalah:

  1. Terlihat sangat lelah

  2. Mengalami perubahan suasana hati

  3. Kulit yang terlihat lebih pucat

  4. Sering mengalami pusing

  5. Mengalami jaundice (kulit dan mata menjadi kuning)

  6. Detak jantung berdebar lebih cepat dari biasanya.

  7. Mengalami sesak nafas, sindrom kaki gelisah hingga kaki dan tangan bengkak apabila mengalami anemia berat.

Dengan mengetahui beberapa gejala anemia pada remaja diatas, diharapkan para orangtua bisa meningkatkan kewaspadaan dan melakukan pencegahan dengan memenuhi asupan gizi dan nutrisi pada anak setiap harinya.

Selain itu, juga diharapkan anak bisa mengkonsumsi Tablet Tambah Darah (TTD) secara berkala.

Tetap terapkan perilaku hidup bersih dan sehat, serta bersegera dalam melakukan pemeriksan ke fasilitas kesehatan terdekat apabila mengalami gejala anemia, agar bisa segera mendapatkan penanganan secara cepat dan tepat dari petugas kesehatan.

Sumber : AyoSehat


Jerawat-Bisa-Terjadi-Pada-Bayi-dan-Anak.png

Bukan hanya pada remaja dan dewasa, jerawat juga bisa terjadi sejak bayi baru lahir dan di masa anak-anak. Masalah jerawat pada bayi dan anak juga terbilang cukup sering terjadi dan tidak lagi menjadi sesuatu yang langka. Setidaknya ada 20 persen bayi baru lahir yang mengalami jerawat. Masalah jerawat pada bayi dan anak harus dibedakan dari permasalahan kulit lainnya yang juga sering terjadi di masa awal kehidupan mereka. Jerawat pada anak-anak juga umumnya lebih membutuhkan terapi yang lebih kuat dibandingkan jerawat pada bayi baru lahir.

Pentingnya perawatan jerawat pada bayi baru lahir terletak pada perbedaannya dengan penyakit infeksi atau masalah kulit lainnya, dan kemungkinan terjadinya jerawat yang parah di masa remaja kelak.

Jerawat neonatal berkembang ketika bayi baru lahir hingga bayi berusia sekitar dua minggu, tetapi dapat terjadi kapan saja dalam enam minggu pertama kehidupan. Sedangkan jerawat infantile akan terjadi setelah bayi berusia enam minggu. Meskipun biasanya akan hilang setelah bayi berusia enam bulan hingga satu tahun, beberapa anak memiliki jerawat lebih lama, bahkan hingga usia remaja.

 

Jerawat pada bayi baru lahir biasanya muncul dalam bentuk komedo pada dahi, hidung, dan pipi. Beberapa juga ada yang berupa komedo terbuka, peradangan papula, dan pustula juga mungkin saja terjadi. Masalah jerawat neonatal dan infantile ini juga lebih sering terjadi pada bayi laki-laki.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan munculnya jerawat pada bayi baru lahir, termasuk peningkatan sekresi sebum, stimulasi kelenjar minyak yang distimulasi oleh hormon androgen ibu, dan bertambahnya malassezia atau spesies jamur yang alami ditemukan pada permukaan kulit. Peningkatan sekresi minyak di masa neonatal terjadi akibat adanya peningkatan aktivitas kelenjar minyak. Setelah berusia enam bulan, minyak akan menurun seiring dengan berkurangnya hormon Ibu.

Baik androgen di masa kehamilan dan masa neonatal sama-sama terlibat dalam stimulasi kelenjar minyak yang menyebabkan terjadinya jerawat pada bayi baru lahir. Kelenjar adrenal neonatal memproduksi dehidroepiandrosterone yang cukup tinggi, yang menstimulasi kelenjar minyak hingga usia satu tahun. Setelah berusia satu tahun tingkat dehidroepiandrosterone akan menurun.

Hormon androgen memberikan stimulasi tambahan pada kelenjar minyak, itulah mengapa jerawat neonatal lebih sering terjadi pada bayi laki-laki. Jerawat neonatal bisa saja terjadi akibat respon peradangan terhadap spesies Malassezia.

Perawatan jerawat pada bayi

Jerawat neonatal umumnya tidak memerlukan perawatan yang serius. Menurut American Academy of Dermatology, jerawat bayi cenderung akan hilang dengan sendirinya dalam beberapa minggu hingga beberapa bulan. Namun mereka menyarankan agar orangtua hanya menggunakan produk perawatan kulit bayi yang direkomendasikan oleh dokter. Perlakukan kulit bayi dengan lembut, bersihkan dengan menggunakan air yang hangat, dan hindari produk perawatan kulit yang berminyak.

Orangtua juga sebaiknya memotong kuku bayi secara berkala agar bayi tidak melukai jerawatnya saat menggaruk. Gunakan juga pakaian atau sarung bantal alas tidur yang lembut agar tidak terjadi gesekan pada kulit bayi.

Dokter kulit bisa saja merekomendasikan obat topikal  (krim) untuk mengatasi jerawat neonatal dan infantil. Untuk jerawat yang lebih parah bisa saja dokter meresepkan obat minum (misalnya antibiotik). Namun untuk ini, bayi perlu diperiksa dengan teliti terlebih dahulu oleh dokter spesialis kuli

 

Sumber : Perdoski


Kemenkes-Tegaskan-Keamanan-Pangan-sebagai-Kunci-Keberhasilan-Program-Makan-Bergizi-Gratis.png

Kementerian Kesehatan RI menegaskan bahwa keamanan pangan menjadi faktor krusial dalam pelaksanaan Program Makan Bergizi Gratis (MBG). Hal ini ditegaskan melalui Surat Edaran Nomor HK.02.02/A/4954/2025 yang mengatur aspek keamanan pangan, kesiapsiagaan, serta respons cepat terhadap potensi keracunan pangan massal (KLB).

Program MBG menyasar anak sekolah, ibu hamil, ibu menyusui, balita, dan lansia sebagai kelompok rentan. Program strategis nasional ini diharapkan mampu meningkatkan kualitas gizi dan menekan angka stunting. Namun, keberhasilan program hanya dapat tercapai apabila standar keamanan pangan diterapkan secara ketat di setiap tahap penyelenggaraan.

“Pencegahan keracunan pangan adalah tanggung jawab bersama. Keamanan pangan dalam Program Makan Bergizi Gratis bukan hanya soal mutu makanan, tetapi juga soal menjaga nyawa dan keberlangsungan program pemerintah,” tegas Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan, Kunta Wibawa Dasa Nugraha.

Melalui surat edaran tersebut, Kemenkes meminta Dinas Kesehatan provinsi maupun kabupaten/kota berperan aktif dalam menjamin keamanan pangan. Upaya ini mencakup pemenuhan Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS) pada setiap Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG), pelaksanaan inspeksi kesehatan lingkungan secara rutin, serta pelatihan keamanan pangan bagi penjamah makanan dan tenaga gizi melalui platform Learning Management System (LMS) Kemenkes.

Selain itu, pemenuhan standar gizi diperkuat melalui pembinaan penyusunan menu sesuai pedoman, pelatihan sistem manajemen penyelenggaraan makanan, edukasi gizi, serta pemantauan status gizi peserta program di sekolah dan posyandu.

Dalam kondisi darurat seperti munculnya gejala keracunan pangan massal, masyarakat diimbau segera menghubungi call center 119 atau fasilitas kesehatan terdekat. Tim Gerak Cepat (TGC) akan ditugaskan melakukan investigasi epidemiologi dan uji sampel makanan di laboratorium terakreditasi, sementara seluruh laporan KLB harus segera disampaikan ke Public Health Emergency Operation Center (PHEOC) melalui nomor 0877-7759-1097.

Dinas Kesehatan provinsi juga diharapkan menjalankan peran penting dalam membina, mengawasi, dan mengevaluasi seluruh pelaksanaan kebijakan ini di tingkat kabupaten/kota.

“Kami ingin memastikan makanan dalam program ini tidak hanya bergizi, tetapi juga aman. Dinas kesehatan daerah adalah garda terdepan dalam menjamin hal tersebut,” tambah Kunta.

Kementerian Kesehatan menekankan bahwa keamanan pangan dan respons cepat terhadap KLB merupakan syarat utama keberhasilan Program MBG. Pelaksanaan surat edaran ini diminta berjalan penuh tanggung jawab sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Sumber : Kemenkes


Digital-Health-Janji-dan-Jurang.png

Di tengah derasnya arus teknologi, dunia kesehatan tak luput dari transformasi digital. Kini, kita mengenal digital health: sebuah payung besar yang menaungi telemedicine, aplikasi kesehatan mobile, rekam medis elektronik, wearable device, hingga kecerdasan artifisial. Tujuannya mulia: mempermudah akses, meningkatkan kualitas, dan membuat layanan kesehatan lebih personal.

Bukti-bukti terkini, seperti yang dipetakan dalam sejumlah tinjauan sistematis, menunjukkan bahwa publikasi tentang digital health melonjak drastis sejak 2015, dengan puncaknya pada era pandemi COVID-19. Mayoritas riset difokuskan pada efektivitas intervensi, terutama yang berbasis aplikasi ponsel (mHealth), untuk mengubah perilaku kesehatan, mendukung kepatuhan pengobatan, dan meningkatkan asesmen klinis. Psikiatri menjadi bidang yang paling banyak diulas, mengingat sifat terapinya yang seringkali cocok dengan pendekatan digital.

Namun, di balik optimisme ini, tersembunyi jurang yang dalam. Peta bukti yang ada ternyata tidak merata. Sebagian besar ulasan masih berkutat pada apakah suatu intervensi digital bekerja, tetapi sangat sedikit yang membahas aspek efisiensi biaya, kesetaraan akses (equity), dan sejauh mana layanan ini benar-benar berpusat pada pasien. Kita seperti terjebak dalam euforia “bisa dilakukan”, tetapi lupa bertanya “bagaimana dampaknya bagi semua kalangan?” dan “berapa biaya sesungguhnya yang harus dikeluarkan?”

Tantangan ini bukan hanya soal angka dan statistik, melainkan menyentuh ranah yang lebih manusiawi. Sebuah sintesis bukti dari perspektif pasien mengungkap tiga pilar masalah utama: Literasi Digital, Fungsionalitas & Kegunaan, dan Kepercayaan.

Pilar pertama, Literasi Digital, adalah penghalang terbesar. Bukan hanya tentang bisa atau tidaknya mengoperasikan ponsel. Ini tentang kesenjangan generasi dalam hal kemauan dan kemampuan adaptasi. Ini tentang pasien lansia yang gagap teknologi. Ini tentang masyarakat di daerah terpencil yang bahkan tidak tahu bahwa layanan kesehatan digital itu ada. Ini juga tentang pasien dengan bahasa ibu bukan Inggris yang kesulitan memahami konten aplikasi. Ketidaktahuan ini melahirkan ketakutan, frustrasi, dan kecemasan akan salah diagnosis sendiri. Alih-alih memberdayakan, teknologi justru bisa meminggirkan mereka yang paling membutuhkan.
Pilar kedua, Fungsionalitas dan Kegunaan, berbicara tentang desain dan akses. Berapa banyak aplikasi kesehatan yang dirancang dengan antarmuka yang rumit? Berapa banyak yang membutuhkan input manual yang menyita waktu dan tenaga? Lupa kata sandi, proses login yang berbelit, dan koneksi internet yang tersendat adalah penghalang nyata yang membuat pengguna menyerah dan akhirnya meninggalkan aplikasi. Masalah akses pun nyata: tidak memiliki ponsel pintar, tidak mampu membeli paket data, atau tinggal di daerah dengan sinyal yang buruk adalah tembok pembatas yang mengubur potensi digital health sejak awal. Kekhawatiran akan stigma sosial karena memakai wearable device dan rasa tidak nyaman menjadi “terlalu terhubung” juga menjadi pertimbangan.
Pilar ketiga, dan mungkin yang paling krusial, adalah Kepercayaan. Bagaimana mungkin kita bisa menyerahkan data kesehatan kita—yang sangat sensitif—pada sebuah platform jika kita ragu dengan keamanannya? Kekhawatiran akan pelanggaran data, penyalahgunaan data untuk kepentingan komersial, atau pembagian data kepada pemerintah tanpa persetujuan yang jelas adalah momok yang nyata. Pasien merasa kehilangan kendali atas data mereka sendiri. Di sisi lain, ada ketakutan akan pudarnya hubungan manusiawi antara dokter dan pasien. Sentuhan, empati, dan komunikasi nonverbal yang hangat sulit tergantikan oleh layar datar. Kekhawatiran bahwa konsultasi virtual akan mereduksi perawatan menjadi transaksi teknis belaka adalah hal yang valid. Ketergantungan berlebihan pada teknologi juga memunculkan kekhawatiran baru: distorsi hubungan sosial dan potensi adiksi.

Tantangan ini diperparah oleh apa yang disebut “paradoks produktivitas”. Investasi besar-besaran dalam teknologi informasi tidak serta-merta menghasilkan peningkatan produktivitas atau kualitas layanan yang signifikan. Penyebabnya beragam, mulai dari manajemen TI yang tidak efisien, infrastruktur yang tidak mendukung, hingga kegagalan dalam mengintegrasikan teknologi ke dalam alur kerja klinis yang sudah ada.

Lalu, ke mana kita harus melangkah?

Pertama, kita harus jujur mengakui bahwa bukti yang kita miliki saat ini masih timpang. Terlalu banyak fokus pada “apakah bekerja” dan terlalu sedikit pada “bagaimana menerapkannya secara adil dan berkelanjutan”. Riset dan ulasan di masa depan harus dengan sengaja mengeksplorasi celah-celah ini, khususnya mengenai efisiensi biaya dan pemerataan akses bagi kelompok rentan.
Kedua, desain digital health harus benar-benar berpusat pada manusia (human-centered design). Bukan hanya tentang kode dan algoritma, melainkan tentang memahami konteks kehidupan penggunanya. Aplikasi harus intuitif, mudah diakses oleh mereka dengan kemampuan teknologi terbatas, dan mendukung—bukan menggantikan—hubungan terapeutik antara penyedia layanan dan pasien.
Ketiga, membangun kepercayaan membutuhkan lebih dari sekadar kebijakan privasi yang panjang dan berbelit. Diperlukan kerangka etika yang kuat yang menempatkan hak asasi manusia sebagai fondasi. Transparansi mutlak tentang bagaimana data digunakan, persetujuan yang benar-benar informed, dan jaminan keamanan siber yang robust adalah harga mati. Sertifikasi dan “stempel” keamanan dari badan independen dapat membantu pasien memilih alat yang terpercaya.
Terakhir, kita tidak bisa mengabaikan konteks global. Sebagian besar bukti dan inovasi datang dari negara maju. Padahal, tantangan dan peluang digital health di negara berpenghasilan rendah dan menengah justru mungkin lebih besar. Di sinilah pentingnya investasi dalam infrastruktur digital, pelatihan literasi kesehatan digital, dan pengembangan solusi yang rendah biaya dan hemat daya, yang dapat berjalan dengan lancar di daerah dengan konektivitas terbatas.

Revolusi digital kesehatan bukanlah tentang menggantikan peran manusia dengan mesin. Ini tentang menciptakan ekosistem di mana teknologi berfungsi sebagai alat pemerkasa, yang memperluas jangkauan, mempertajam akurasi, dan memperdalam personalisasi perawatan, tanpa mengikis hakikat manusiawi dari proses penyembuhan itu sendiri. Masa depan digital health tidak ditentukan oleh kecanggihan algoritmanya semata, tetapi oleh sejauh mana kita mampu menjembatani jurang antara janji teknologi dan realitas kemanusiaan yang kompleks.

 

Sumber : AyoSehat


Wamenkes-Baru-Dilantik-Kemenkes-Perkuat-Percepatan-Eliminasi-TBC.png

Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto melantik dr. Benjamin Paulus Octavianus, Sp.P(K) sebagai Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes) yang baru di Istana Negara, Jakarta, Rabu (8/10). Kehadiran Benjamin yang memiliki latar belakang sebagai dokter spesialis paru diharapkan semakin memperkuat upaya percepatan transformasi kesehatan nasional, khususnya dalam eliminasi tuberkulosis (TBC).

Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin menyampaikan bahwa penunjukan Benjamin sejalan dengan perhatian khusus Presiden Prabowo terhadap TBC.

“Dokter Beni (Benjamin) sudah tahu ya adalah ahli spesialis paru dan salah satu atensinya Bapak Presiden mengenai percepatan eliminasi tuberkulosis,” ujar Menkes Budi.

Menkes menambahkan, Presiden Prabowo sejak lama memiliki komitmen untuk menghapus TBC dari Indonesia, mengingat penyakit ini masih menjadi salah satu penyebab kematian utama.

“Beliau itu passion-nya, hatinya dari dulu ingin kalau bisa kalau penyakit yang membunuh 125.000 setiap tahun itu bisa cepat kita hilangkan,” tutur Budi.

Upaya menurunkan kasus TBC juga merupakan salah satu Program Hasil Terbaik Cepat (PHTC) atau Quick Win Presiden Prabowo yang dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan. Program ini menjadi fokus untuk mempercepat eliminasi TBC di Indonesia, sekaligus meningkatkan akses layanan kesehatan yang merata bagi masyarakat.

Dalam wawancara usai pelantikan, Menkes Budi memperkenalkan Wamenkes baru dengan menekankan pentingnya memberi teladan hidup sehat.

“Tau gak syaratnya mau kerja di Kemenkes? Harus sehat. Nah saya mau memperkenalkan, tadi siang Presiden Prabowo baru melantik wakil menteri kesehatan baru namanya dokter Beni Oktavianus. Kenapa dokter Beni bisa masuk? Karena Pak Prabowo tahu beliau sekarang hidupnya lebih sehat jauh sebelum menjadi wamenkes,” kata Menkes.

Wamenkes Beni kemudian berbagi pengalamannya menjaga pola hidup sehat.

“Kira-kira 2 tahun lalu saya kaget, enggak sengaja cek gula darah, HBA1C saya 6,4 padahal tidak ada riwayat keluarga diabetes. Ternyata saya obesitas dengan berat badan 72 kilo. Sebagai dokter yang tiap hari menasihati orang, saya langsung memutuskan untuk diet dan olahraga teratur. Berat badan turun 11 kilo jadi 61 kg, stabil selama satu tahun. Dengan perubahan gaya hidup, prediabetes saya membaik, sekarang 5,9 dan saya akan berusaha capai 5,7,” jelasnya.

Menkes Budi menegaskan, contoh pribadi Wamenkes baru mencerminkan pentingnya promosi kesehatan.

“Kenapa di Kementerian Kesehatan harus sehat? Karena kita harus memberikan contoh kepada seluruh masyarakat Indonesia agar mereka juga hidup sehat.” ujarnya.

Dengan dilantiknya Benjamin, Kementerian Kesehatan kini memiliki dua Wakil Menteri Kesehatan. Menkes memastikan bahwa Wamenkes Dante Saksono Harbuwono tetap menjabat, sehingga keduanya akan bekerja bersama mendukung program prioritas kesehatan nasional.

Menkes berharap dengan dukungan dua wakil menteri, Kemenkes dapat semakin optimal dalam mewujudkan transformasi kesehatan, mempercepat akses layanan, serta menurunkan beban penyakit di Indonesia.

 

Sumber : Kemenkes


Copyright by Markbro 2025. All rights reserved.