Saat-Bencana-Terjadi-Cara-Menjaga-Tidur-Anak-Tetap-Berkualitas.png

Bencana alam maupun situasi darurat sering kali membawa dampak besar bagi bayi dan balita. Perubahan lingkungan yang drastis, kehilangan rutinitas, serta paparan stres dapat mempengaruhi kondisi emosional dan fisik anak.

Pada banyak anak, hal ini tampak dalam bentuk stres, regresi perilaku (misalnya kembali rewel atau sulit ditinggal), serta perubahan pola tidur seperti sulit tidur, sering terbangun, atau mimpi buruk. Padahal, tidur merupakan kebutuhan dasar yang sangat penting bagi tumbuh kembang dan pemulihan fisik serta mental anak.

Mengapa Gangguan Tidur Anak Pascabencana Bisa Terjadi?

Gangguan tidur pada anak pascabencana umumnya terjadi karena kombinasi beberapa faktor berikut:

  • Faktor emosional: Anak dapat merasakan ketakutan, kehilangan, atau kebingungan akibat perubahan yang terjadi. Ingatan traumatis, separation anxiety, dan rasa tidak aman membuat anak lebih waspada sehingga sulit untuk rileks dan tertidur.
  • Faktor lingkungan: Lingkungan pengungsian atau tempat tinggal sementara sering kali bising, padat, dengan penerangan yang kurang memadai. Suhu yang terlalu panas atau dingin serta keterbatasan kebersihan juga dapat mengganggu kenyamanan tidur anak.
  • Faktor fisik: Kelelahan, kurang asupan makan dan minum, kondisi tubuh yang tidak fit, hingga gangguan seperti gigitan serangga dapat membuat anak sulit tidur nyenyak.
  • Faktor sosial: Anak sangat peka terhadap emosi orang dewasa di sekitarnya. Melihat orang tua atau pengasuh yang stres, cemas, serta terpapar berita atau pembicaraan traumatis dapat meningkatkan kecemasan anak dan berdampak pada kualitas tidurnya.

Mengapa Tidur Penting dalam Fase Darurat?

Di masa darurat, tidur memiliki peran yang sangat krusial. Tidur membantu pemulihan fisik setelah kelelahan dan stres berkepanjangan, mendukung regulasi emosi anak, serta menjaga daya tahan tubuh agar tetap optimal.

Selain itu, tidur yang cukup membantu anak memiliki kemampuan coping yang lebih baik dalam menghadapi situasi sulit, sehingga ia lebih tenang, responsif, dan mampu beradaptasi dengan perubahan yang terjadi.

Langkah-Langkah Menjaga Kualitas Tidur Anak Pascabencana

1. Membentuk Rasa Aman

Kehadiran orang tua atau pengasuh yang responsif menjadi kunci utama. Dengarkan perasaan anak, validasi emosinya, dan yakinkan bahwa ia berada dalam kondisi aman. Kontak fisik seperti memeluk atau menemani anak juga membantu menenangkan. Saat anak merasa aman, kadar hormon stres akan menurun, sehingga tubuh lebih rileks dan anak lebih mudah untuk tidur.

2. Menciptakan Zona Tidur Sederhana yang Konsisten

Meski berada dalam keterbatasan, usahakan anak tidur di tempat yang sama setiap malam, termasuk saat harus bermalam di posko atau rumah sementara. Gunakan alas tidur yang sama secara konsisten, seperti selimut, jaket, atau tikar, agar anak memiliki rasa familiar

Kemudian jika memungkinkan, buat ‘batas’ ruang tidur menggunakan tas, selimut, atau bantal untuk memberi ilusi ruang pribadi. Parents juga bisa memasang kain atau selimut untuk menutup ‘ruang tidur’ anak ini agar tidak terlalu banyak cahaya yang masuk dan menghalangi lalu-lalang.

3. Tetap Menerapkan Bedtime Routines

Rutinitas sebelum tidur seperti membersihkan badan, berganti pakaian, berdoa, atau membacakan cerita singkat membantu memberi sinyal pada tubuh anak bahwa waktu tidur telah tiba, meskipun kondisinya sedang tidak ideal. Lakukan hal-hal ini secara konsisten setiap harinya.

4. Mengoptimalkan Kondisi Fisik

Atur kondisi fisik anak dengan fokus pada hal-hal yang paling mungkin diperbaiki dalam situasi darurat. Misalnya, memastikan anak tidak kedinginan atau kepanasan dengan menyesuaikan pakaian, tanpa perlu mengenakan lapisan berlebihan untuk mencegah overheat.

Jika mandi tidak memungkinkan, bersihkan tubuh anak menggunakan tisu atau kain basah, terutama pada area wajah, leher, ketiak, dan kaki agar tubuh terasa lebih nyaman.

Selain itu, hindari memberikan makan berat atau minuman manis setidaknya satu jam sebelum waktu tidur untuk membantu tubuh anak lebih siap beristirahat.

5.  Menjaga Aktivitas Fisik dan Jadwal tidur

Ajak anak bergerak dan bermain ringan di siang hari agar energinya tersalurkan. Penelitian menunjukkan bahwa anak yang aktif di siang hari cenderung memiliki tidur malam yang lebih nyenyak karena kebutuhan geraknya terpenuhi dengan baik.

Aktivitas sederhana seperti berjalan kecil di area yang aman sudah cukup membantu. Selain aktivitas fisik, beri ruang bagi anak untuk mengekspresikan emosinya melalui menggambar, bermain peran, atau bercerita.

Selain itu, tetap usahakan jam tidur dan bangun yang konsisten untuk membantu menjaga ritme biologis anak.

6. Mengelola Stress untuk Orang Tua

Meski masih bayi atau balita, anak peka terhadap stres orang tuanya. Perubahan nada suara, ekspresi, dan sikap orang tua dapat membuat anak ikut merasa cemas, rewel, dan sulit tidur.

Oleh karena itu sebaiknya sebelum mendampingi anak, orang tua perlu menenangkan diri terlebih dahulu, misalnya dengan menarik napas dalam dan berbicara dengan lebih lembut. Respons yang tenang dan konsisten membantu anak merasa aman dan lebih mudah menenangkan diri.

Untuk anak yang sudah lebih besar, sebaiknya batasi paparan anak terhadap berita atau percakapan yang bernuansa traumatis. Usahakan diskusi mengenai kondisi darurat dilakukan jauh dari anak agar ia tidak menyerap kecemasan tambahan.

Kesimpulan

Kesimpulannya, tidur merupakan bagian penting dari proses pemulihan anak pascabencana. Fokus utama adalah membangun rasa aman, mempertahankan rutinitas sederhana, dan menciptakan lingkungan yang stabil bagi anak.

Keterbatasan kondisi bukanlah penghalang utama. Dengan konsistensi dan kehadiran penuh dari orang dewasa, kualitas tidur anak tetap dapat dijaga demi kesehatan dan kesejahteraannya.

 

Sumber : AyoSehat


Kencur-untuk-Atasi-Dampak-Polusi.png

Healthies, kualitas udara di sekitar kita beberapa bulan belakangan mengandung polusi yang cukup tinggi. Kandungan Polusi udara yang tinggi dapat meningkatkan kadar radikal bebas yang ada didalam tubuh. Hal tersebut menyebabkan sel-sel tubuh mengalami degenerasi, proses metabolisme terganggu dan respon imun menurun sehingga memicu munculnya berbagai penyakit seperti batuk, demam, flu, atau lainnya.

 

Healthies dapat melakukan beberapa protokol pencegahan polusi udara untuk melindungi diri sendiri dan keluarga dari dampak buruk polusi udara.

Selain melakukan protokol pencegahan polusi udara tersebut, Healthies juga dapat menambahkan asupan minuman herbal untuk meningkatkan daya tahan tubuh.Kandungan antioksidan pada rempah seperti jahe, kencur, dan sereh dapat membantu meningkatkan daya tahan tubuh dan mencegah kerusakan sel akibat radikal bebas.

Healthies bisa coba membuat wedang Sinden, sebagai salah satu minuman sehat yang dapat mengurangi dan mencegah dampak buruk polusi yang tinggi. Wedang ini mudah dibuat, bahannya mudah ditemukan, Ayo Bikin!

Bahan:

  • Kencur kurang lebih 10 gram (1 jempol)

  • Jahe kurang lebih 20 gram (1 telunjuk)

  • Sereh 1 batang

  • Air 250 ml

  • Madu secukupnya

  • Air perasan jeruk secukupnya

 

Cara Membuat:

  1. Cuci bersih semua bahan, kemudian tiriskan

  2. Rajang tipis kencur, jahe, dan sereh

  3. Masukan bahan yang sudah dirajang kedalam gelas

  4. Seduh dengan air mendidih

  5. Tutup gelas dan diamkan selama 10 menit

  6. Sajikan hangat dengan tambahan madu dan air perasan jeruk

 

Fun Fact

Kenapa disebut wedang Sinden? jadi jaman dahulu para sinden secara teratur rajin mengunyah rimpang kencur untuk menjernihkan suara. Selain itu Kencur juga dikonsumsi secara turun temurun untuk meredakan gangguan saluran nafas atas, batuk berdahak, suara serak, dan sesak nafas.

Nah, Healthies, gimana udah siap mencoba? Siapa tahu, setelah kalian rutin mengkonsumsi Wedang Sinden, suara Healthies bisa sebening kak Yura Yunita !

Sumber : AyoSehat


Gawat-Darurat-Resusitasi-dan-DNR-Di-Antara-Detik-Kritis-Etika-Profesi-dan-Kepastian-Hukum.png

Di ruang gawat darurat, waktu tidak pernah netral. Setiap detik adalah keputusan, dan setiap keputusan berpotensi menjadi hidup, kematian, atau perkara etik dan hukum. Di sinilah resusitasi—sebagai simbol tertinggi upaya penyelamatan—bertemu dengan batasannya sendiri, yakni Do Not Resuscitate (DNR).

1. Gawat Darurat sebagai Imperatif Moral dan Hukum

Dalam sistem hukum kesehatan Indonesia pasca UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan dan PP Nomor 28 Tahun 2024Gawat Darurat tidak lagi dipahami sekadar kondisi klinis, tetapi sebagai keadaan hukum khusus.

Gawat darurat didefinisikan sebagai kondisi pasien yang membutuhkan tindakan medis dan/atau psikologis segera untuk:

  • penyelamatan nyawa; dan
  • pencegahan kedisabilitasan.

Konsekuensinya tegas:

  • Rumah sakit wajib melayani, tanpa melihat status administrasi atau finansial;
  • Dilarang menolak pasien, meminta uang muka, atau menunda tindakan karena urusan administratif;
  • Tenaga medis dan tenaga kesehatan wajib memberikan pertolongan pertama.

Kegagalan memenuhi kewajiban ini bukan sekadar pelanggaran etik, tetapi tindak pidana (Pasal 438 UU Kesehatan), dengan ancaman penjara hingga 10 tahun jika berakibat kematian atau kecacatan.

Dengan demikian, pelayanan gawat darurat adalah perintah hukum (legal mandate) sekaligus imperatif etik.

2. Resusitasi: Antara Kewajiban Menolong dan Larangan Menyakiti

Resusitasi (CPR) selama ini dipersepsikan sebagai kewajiban mutlak dalam kondisi henti napas atau henti jantung. Namun perkembangan etik kedokteran modern—dan kini diakui secara normatif—menunjukkan bahwa resusitasi tidak selalu identik dengan kebaikan.

Dalam kondisi tertentu, seperti:

  • penyakit terminal stadium akhir,
  • kegagalan multi organ,
  • kerusakan otak permanen,
  • fase akhir penyakit degeneratif,

resusitasi dapat:

  • tidak memberikan manfaat klinis bermakna,
  • memperpanjang penderitaan,
  • melanggar martabat pasien.

Di sinilah prinsip Beneficence dan Non-Maleficence diuji:

Apakah tindakan ini benar-benar menolong, atau justru menyakiti?

Secara etik, resusitasi bukan kewajiban absolut, melainkan kewajiban kontekstual yang harus mempertimbangkan:

  • prognosis,
  • proporsionalitas tindakan,
  • nilai dan kehendak pasien.

3. DNR: Dari Tabu Klinis Menjadi Keputusan Etik yang Sah

Do Not Resuscitate (DNR) bukanlah tindakan pasif membiarkan pasien meninggal, dan bukan pula euthanasia. DNR adalah keputusan klinis–etik untuk tidak melakukan tindakan resusitasi tertentu (CPR, defibrilasi, intubasi darurat) apabila terjadi henti jantung atau napas.

Secara etik, DNR berdiri di atas empat pilar:

  1. Autonomy
    Pasien berhak menentukan apakah ia menghendaki atau menolak resusitasi setelah mendapat penjelasan memadai.
  2. Beneficence & Non-Maleficence\

Tidak memaksakan tindakan invasif yang sia-sia dan menyakitkan.

  1. Justice
    Penggunaan sumber daya secara rasional dan proporsional.
  2. Dignity
    Menjaga martabat kematian yang manusiawi.

Secara hukum Indonesia (hingga 2025), DNR tidak dilarang, sepanjang:

  • didasarkan pada indikasi klinis yang jelas,
  • melalui komunikasi dan persetujuan yang sah,
  • didokumentasikan dengan baik,
  • tidak bertentangan dengan larangan euthanasia aktif.

Persetujuan Tindakan dan Pengecualian dalam Gawat Darurat

Prinsip umum hukum kesehatan menyatakan bahwa setiap tindakan medis memerlukan persetujuan pasien (informed consent). Namun dalam kondisi gawat darurat, hukum memberikan pengecualian penting:

Jika:

  • pasien tidak cakap memberikan persetujuan,
  • tidak ada wakil yang dapat dimintai persetujuan,
  • tindakan harus segera dilakukan,

maka:

  • persetujuan tidak diperlukan, dan
  • tenaga medis wajib bertindak berdasarkan kepentingan terbaik pasien.

Ketentuan ini melindungi tenaga medis dari kriminalisasi atas tindakan penyelamatan nyawa yang dilakukan dengan itikad baik.

Sebaliknya, DNR yang sah justru menjadi dasar hukum untuk tidak melakukan resusitasi, sehingga tindakan “tidak melakukan CPR” bukan kelalaian, melainkan kepatuhan terhadap keputusan etik dan klinis.

Aspek Disiplin Profesi: Garis Tipis antara Etik dan Sanksi

Dengan berlakunya PMK Nomor 3 Tahun 2025, spektrum pelanggaran disiplin profesi ditegaskan, antara lain:

  • praktik tidak kompeten,
  • tidak memberikan penjelasan yang jujur dan memadai,
  • mengabaikan tanggung jawab profesi,
  • menolak tindakan tanpa alasan yang sah,
  • tidak membuat rekam medis.

Dalam konteks gawat darurat dan DNR:

  • tidak melakukan resusitasi tanpa dasar klinis atau tanpa dokumentasi → berisiko pelanggaran disiplin;
  • melakukan resusitasi yang tidak indikatif dan melanggar kehendak pasien → berpotensi pelanggaran etik dan disiplin;
  • tidak mendokumentasikan keputusan DNR → membuka risiko sengketa etik, disiplin, dan hukum.

Dengan demikian, rekam medis, informed consent, dan keputusan tim klinis menjadi benteng utama perlindungan tenaga medis.

Penutup: Menjaga Nyawa, Menjaga Martabat, Menjaga Profesi

Di ruang gawat darurat, tenaga medis tidak hanya berhadapan dengan pasien, tetapi juga dengan:

  • nilai kehidupan,
  • batas intervensi,
  • tanggung jawab hukum,
  • dan martabat profesi.

Resusitasi adalah simbol harapan, tetapi DNR adalah simbol kebijaksanaan klinis dan kematangan etik. Keduanya bukan lawan, melainkan bagian dari spektrum pelayanan yang berorientasi pada kepentingan terbaik pasien.

Tantangan pelayanan gawat darurat di era 2025 bukan lagi sekadar apakah bisa menyelamatkan, tetapi:

apakah tindakan itu bermakna, etis, sah secara hukum, dan menghormati kemanusiaan pasien.

 

Sumber : Dr Galih Endradita M


Apa-yang-Perlu-Disiapkan-oleh-Spesialis-Forensik-Medikolegal-dalam-Unit-Pencegahan-dan-Penanganan-Permasalahan-Hukum-Rumah-Sakit.png

Perubahan paradigma pelindungan hukum tenaga medis dan tenaga kesehatan dalam Permenkes Nomor 13 Tahun 2025menempatkan rumah sakit sebagai aktor aktif dalam pencegahan, mitigasi, dan penanganan permasalahan hukum. Regulasi ini secara eksplisit mengamanatkan pembentukan unit yang berfungsi dalam pencegahan dan penanganan permasalahan hukum di tingkat Fasilitas Pelayanan Kesehatan.

Dalam konteks ini, Spesialis Forensik dan Medikolegal (Sp.FM) perlu direposisi dari peran tradisional yang bersifat reaktif (post-mortem, saksi ahli di pengadilan) menjadi aktor kunci internal rumah sakit yang bekerja secara preventif, korektif, dan protektif.

Agar reposisi ini efektif dan legitimate secara regulatif, terdapat sejumlah kesiapan strategis yang perlu dibangun oleh seorang Spesialis Forensik Medikolegal.

1. Kesiapan Paradigma: Dari “Ahli Kasus” Menjadi “Penjaga Sistem”

Spesialis Forensik Medikolegal perlu memposisikan diri bukan semata sebagai ahli pembuktian, tetapi sebagai penjaga sistem keselamatan hukum rumah sakit. Ini berarti:

  • Berpikir dalam kerangka risk-based approach, bukan hanya kasus per kasus.
  • Memandang setiap pelayanan medis sebagai potensi risiko hukum yang dapat dicegah sejak awal.
  • Mengintegrasikan sudut pandang medis, etik, hukum, dan tata kelola klinis dalam satu kesatuan analisis.

Paradigma ini sejalan dengan mandat Permenkes 13/2025 yang menekankan pencegahan melalui standar, kredensial, pengaduan, mitigasi risiko, dan pelindungan tanggung gugat profesi.

2. Kesiapan Kompetensi Klinis–Hukum Terintegrasi

Untuk berfungsi optimal di Unit Pencegahan dan Penanganan Permasalahan Hukum, Spesialis Forensik Medikolegal perlu memastikan penguasaan kompetensi berikut:

a. Kompetensi Medikolegal Klinis

  • Analisis hubungan kausal tindakan medis–komplikasi–cedera–kematian.
  • Pemisahan expected complication versus kelalaian medis.
  • Penilaian kesesuaian praktik dengan SOP, clinical pathway, dan standar profesi.

b. Kompetensi Hukum Kesehatan

  • Pemahaman UU Kesehatan (UU 17/2023), Permenkes 13/2025, Permenkes 24/2022, dan regulasi turunan.
  • Pemahaman hukum pidana, perdata, dan administrasi dalam konteks medis.
  • Prinsip pembuktian, pertanggungjawaban profesional, dan tanggung gugat rumah sakit.

c. Kompetensi Etik dan Disiplin Profesi

  • Analisis dilema etik klinis.
  • Mekanisme etik dan disiplin profesi (KKI, MKDKI, Majelis Disiplin Profesi).
  • Penilaian moral hazard dan defensive medicine.

3. Kesiapan Struktural dan Organisasional

Reposisi Spesialis Forensik Medikolegal harus didukung oleh kejelasan struktur dan peran dalam organisasi rumah sakit, antara lain:

  • Penempatan formal sebagai bagian inti Unit Pencegahan dan Penanganan Permasalahan Hukum.
  • Keterhubungan langsung dengan:
    • Direktur/Direksi Rumah Sakit
    • Komite Etik dan Hukum
    • Komite Medik
    • Komite Mutu dan Keselamatan Pasien (PMKP)
    • Tim Manajemen Risiko / ERM
  • Kewenangan untuk memberikan rekomendasi strategis, bukan sekadar pendapat teknis.

Tanpa legitimasi struktural, peran forensik berisiko tereduksi menjadi konsultasi informal yang tidak mengikat.

4. Kesiapan Sistem dan Instrumen Kerja

Seorang Spesialis Forensik Medikolegal perlu menyiapkan dan menguasai berbagai instrumen kerja internal, antara lain:

  • Instrumen deteksi dini risiko hukum klinis (early legal warning).
  • Format kajian medikolegal internal (pre-litigation review).
  • Template analisis insiden klinis bermuatan hukum.
  • Format telaah rekam medis untuk kepentingan hukum.
  • Mekanisme eskalasi risiko dari level unit ke direksi.

Instrumen ini memungkinkan rumah sakit menangani potensi perkara sebelum berubah menjadi sengketa terbuka.

5. Kesiapan Peran dalam Pencegahan Sengketa dan Mediasi Internal

Permenkes 13/2025 menekankan alternatif penyelesaian sengketa melalui negosiasi, konsiliasi, dan mediasi. Dalam konteks ini, Spesialis Forensik Medikolegal perlu siap:

  • Melakukan kajian hukum komprehensif atas pengaduan pasien.
  • Memberikan pendapat objektif untuk menjaga keseimbangan kepentingan pasien dan tenaga medis.
  • Mendampingi rumah sakit dalam proses mediasi berbasis fakta medis dan standar profesi.
  • Mencegah eskalasi perkara ke ranah pidana atau perdata melalui pendekatan ilmiah dan etik.

Peran ini menjadikan dokter forensik sebagai buffer zone antara pelayanan klinis dan sistem hukum eksternal.

6. Kesiapan Dokumentasi dan Pembuktian Internal

Dokumentasi adalah fondasi pelindungan hukum. Oleh karena itu, Spesialis Forensik Medikolegal perlu memastikan kesiapan dalam:

  • Audit kualitas rekam medis.
  • Evaluasi keabsahan informed consent.
  • Penilaian kepatuhan SOP dan kebijakan internal.
  • Penyusunan laporan medikolegal internal yang litigation-ready.

Dokumentasi yang baik bukan untuk “mencari kesalahan”, tetapi untuk melindungi tenaga medis yang bekerja sesuai standar.

7. Kesiapan Psikososial dan Etika Profesional

Terakhir, peran ini menuntut kedewasaan etik dan independensi moral, karena Spesialis Forensik Medikolegal akan berada di posisi sensitif:

  • Di antara kepentingan pasien dan institusi.
  • Di antara solidaritas profesi dan kebenaran ilmiah.
  • Di antara tekanan manajerial dan integritas keilmuan.

Kesiapan ini memastikan bahwa fungsi unit tidak berubah menjadi alat pembenaran, melainkan instrumen keadilan dan keselamatan sistemik.

Reposisi Spesialis Forensik Medikolegal dalam Unit Pencegahan dan Penanganan Permasalahan Hukum bukan sekadar penambahan jabatan, tetapi transformasi peran strategis. Dengan kesiapan paradigma, kompetensi, struktur, sistem, dan integritas, dokter forensik menjadi:

  • Penjaga mutu dan keselamatan hukum pelayanan medis,
  • Pelindung tenaga medis dari tuntutan yang tidak berdasar,
  • Penopang kredibilitas rumah sakit di hadapan publik dan sistem peradilan.

Dalam kerangka Permenkes Nomor 13 Tahun 2025, Spesialis Forensik Medikolegal bukan lagi aktor terakhir setelah masalah terjadi, tetapi garda depan pencegahan masalah hukum di rumah sakit.

 

Sumber : Dr Galih Endradita M


Pelindungan-Hukum-bagi-Tenaga-Medis-dan-Tenaga-Kesehatan-Permenkes-13-tahun-2025-Pasal-244–265.png

Pelindungan hukum bagi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan merupakan salah satu pilar penting dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang bermutu, aman, dan berkeadilan. Bagian Kelima mengatur secara rinci mengenai hak pelindungan hukumpencegahan permasalahan hukum, serta penanganan ketika Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan menghadapi masalah hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 244 sampai dengan Pasal 265.

1. Prinsip Umum Pelindungan Hukum

(Pasal 244–246)

Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan berhak mendapatkan pelindungan hukum selama menjalankan praktik sesuai standar profesi, standar pelayanan profesi, standar prosedur operasional, etika profesi, dan kebutuhan kesehatan pasien (Pasal 244 ayat (1)).

Pelindungan hukum ini bertujuan untuk:

  • memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan;
  • menjamin tenaga kesehatan dapat bekerja tanpa paksaan dan ancaman dari pihak lain; dan
  • menjamin tenaga kesehatan bekerja sesuai kewenangan dan kompetensi keprofesiannya (Pasal 244 ayat (2)).

Pelindungan hukum diberikan oleh:

  • Pemerintah Pusat,
  • Pemerintah Daerah, dan
  • pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Pasal 245 ayat (1)),

dengan koordinasi oleh:

  • Direktur Jenderal di tingkat Pemerintah Pusat,
  • dinas kesehatan di tingkat Pemerintah Daerah, dan
  • unit khusus atau fungsi hukum di Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Pasal 245 ayat (2), (4), dan (5)).

Ruang lingkup pelindungan hukum meliputi:

  • pelindungan dalam rangka pencegahan agar Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan tidak melakukan pelanggaran; dan
  • pelindungan bagi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang sudah menghadapi permasalahan hukum (Pasal 246).

2. Pelindungan Hukum dalam Rangka Pencegahan

(Pasal 247–252)

2.1. Peran Pemerintah Pusat

Pemerintah Pusat melakukan pelindungan hukum secara preventif melalui (Pasal 247 ayat (1)):

  • penetapan kebijakan pelindungan hukum;
  • penetapan standar profesi, standar kompetensi, dan standar pelayanan;
  • penerbitan SIP dalam kondisi tertentu;
  • penyediaan dan pengelolaan kanal pengaduan;
  • pembinaan dan pengawasan pelaksanaan pelindungan hukum.

Kebijakan kanal pengaduan ditetapkan oleh Menteri (Pasal 247 ayat (2)).

2.2. Peran Konsil

Konsil berperan dalam pelindungan preventif melalui:

  • penerbitan STR Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan; dan
  • dukungan peningkatan mutu praktik dan kompetensi teknis keprofesian (Pasal 248).

2.3. Peran Pemerintah Daerah

Pemerintah Daerah menjalankan pelindungan hukum preventif dengan (Pasal 249):

  • melaksanakan kebijakan pelindungan hukum yang ditetapkan Pemerintah Pusat;
  • menerbitkan SIP bagi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan;
  • melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penerapan standar profesi, kompetensi, dan pelayanan di fasilitas pelayanan kesehatan di wilayahnya.

2.4. Peran Pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan

Pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan wajib melakukan serangkaian tindakan pelindungan hukum preventif, antara lain (Pasal 250 ayat (1)):

  1. Menetapkan dan mensosialisasikan dokumen kunci, seperti:
    • pedoman pelayanan, SPO, panduan praktik klinik, dan/atau clinical pathway;
    • jenis pelayanan yang dapat dilimpahkan kewenangannya antar Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan;
    • pedoman perilaku pegawai, termasuk Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan.
  2. Melakukan evaluasi kompetensi melalui proses kredensial, menerbitkan surat penugasan klinis, dan rincian kewenangan klinis.
  3. Memastikan tenaga memiliki dasar legal dan bekerja aman, antara lain:
    • memiliki STR dan SIP;
    • praktik sesuai kewenangan klinis;
    • memperoleh persetujuan tindakan (informed consent), kecuali dalam kondisi gawat darurat;
    • bekerja dalam lingkungan yang aman secara fisik, mental, moral, dan sosial budaya.
  4. Menyediakan kanal pengaduan bagi pasien/keluarga dan menangani keluhan secara tepat.
  5. Menyediakan kanal pengaduan internal terkait perlakuan yang tidak sesuai dengan harkat dan martabat manusia, termasuk kekerasan, pelecehan, dan perundungan, serta menindaklanjutinya (Pasal 250 ayat (1) huruf e–f).
  6. Memfasilitasi pelindungan tanggung gugat profesi secara proporsional bagi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang berisiko menghadapi tuntutan hukum (Pasal 250 ayat (1) huruf g–ayat (3)).

Pimpinan fasilitas dapat membentuk unit khusus yang menangani pencegahan dan penanganan permasalahan hukum (Pasal 250 ayat (4)).

2.5. Hak Menghentikan Pelayanan karena Perlakuan Tidak Layak

Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dapat menghentikan pelayanan apabila mendapatkan perlakuan yang merendahkan harkat dan martabat, termasuk kekerasan, pelecehan, dan perundungan (Pasal 251 ayat (1)).
Dalam kondisi ini, mereka wajib mendapat pelindungan hukum dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Pemerintah Daerah, dan Pemerintah Pusat (Pasal 251 ayat (2)).

Penghentian pelayanan tidak berlaku bila tindakan tersebut diperlukan untuk penyelamatan nyawa atau pencegahan kedisabilitasan dalam keadaan gawat darurat dan/atau bencana (Pasal 251 ayat (3)–(4)).

2.6. Mitigasi Potensi Permasalahan Hukum

Pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan juga wajib melakukan mitigasi potensi permasalahan hukum yang mungkin dihadapi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan (Pasal 252 ayat (1)), antara lain melalui:

  • penanganan keluhan pasien/keluarga dengan cepat dan tepat;
  • pendekatan kekeluargaan;
  • pembinaan bagi tenaga yang melakukan pelanggaran etika dan disiplin (Pasal 252 ayat (2)).

Penanganan keluhan dilakukan dengan cara:

  • aktif mendengarkan keluhan; dan
  • mencari solusi dan memberikan jawaban kepada pasien/keluarga (Pasal 252 ayat (3)).

3. Pelindungan Hukum bagi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang Menghadapi Permasalahan Hukum

(Pasal 253–265)

3.1. Bentuk Pelindungan Hukum

Bagi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang menghadapi permasalahan hukum, pelindungan diberikan melalui (Pasal 253):

  • penyelesaian perselisihan;
  • penegakan etika profesi;
  • penegakan disiplin keilmuan/profesi; dan
  • penegakan hukum.

3.2. Penyelesaian Perselisihan dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Penyelesaian perselisihan dapat dilakukan melalui pengadilan atau di luar pengadilan sesuai peraturan perundang-undangan, dengan diutamakan alternatif penyelesaian sengketa (ADR) berupa negosiasi, konsiliasi, dan mediasi (Pasal 254 ayat (1)–(3)).
Proses ADR dapat dilakukan secara berjenjang: di tingkat Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Pemerintah Daerah, dan Pemerintah Pusat (Pasal 254 ayat (4)).

  • Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan, pimpinan membentuk tim yang terdiri dari unit hukum internal dan penasehat ahli/mediator (Pasal 255 ayat (1)). Tim ini menerima pengaduan, melakukan kajian hukum, dan menyelenggarakan negosiasi, konsiliasi, atau mediasi. Hasilnya dituangkan dalam akta perdamaian (Pasal 255 ayat (3)–(4)).
  • Di Pemerintah Daerah, dibentuk tim yang terdiri dari dinas kesehatan, Tenaga Medis/Tenaga Kesehatan, serta penasehat ahli/mediator (Pasal 256 ayat (1)). Mekanismenya serupa, dengan akta perdamaian sebagai output (Pasal 256 ayat (3)–(4)).
  • Di Pemerintah Pusat, tim terdiri dari Kementerian Kesehatan, Konsil, dan penasehat ahli/mediator (Pasal 257 ayat (1)), dengan mekanisme pengaduan dan mediasi yang sama (Pasal 257 ayat (3)–(4)).

Jika di tingkat internal Fasilitas Pelayanan Kesehatan tidak tercapai penyelesaian, kasus dapat difasilitasi oleh Pemerintah Daerah, dan bila perlu oleh Pemerintah Pusat (Pasal 255 ayat (5), Pasal 256 ayat (5), Pasal 257).

3.3. Penegakan Etika dan Disiplin Profesi

Penegakan etika profesi dilakukan melalui penegakan kode etik profesi, melibatkan Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan organisasi profesi sesuai peraturan perundang-undangan (Pasal 258 ayat (1)).

Penegakan disiplin keilmuan/profesi dilaksanakan melalui (Pasal 258 ayat (2)):

  • putusan Majelis Disiplin Profesi atas pengaduan pasien/keluarga; dan/atau
  • rekomendasi Majelis Disiplin Profesi.

Pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan wajib:

  • memberikan data lengkap ketika Majelis Disiplin Profesi melakukan verifikasi;
  • memfasilitasi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan selama proses persidangan di Majelis Disiplin Profesi (Pasal 259 ayat (1)).

Jika terbukti terjadi pelanggaran disiplin profesi, pimpinan fasilitas berkoordinasi dengan Konsil dan Pemerintah Daerah untuk melakukan pembinaan (Pasal 259 ayat (2)).

3.4. Penegakan Hukum dan Bantuan Hukum

Dalam konteks penegakan hukum, pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan wajib memberikan bantuan hukum kepada Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang menghadapi sengketa, dalam bentuk (Pasal 260 ayat (1)):

  • konsultasi hukum; dan/atau
  • pendampingan dalam penyelesaian sengketa.

Bantuan hukum dapat diberikan oleh pihak internal maupun eksternal, dan pimpinan wajib mengalokasikan anggaran untuk pendanaan proses hukum serta ganti rugi (Pasal 260 ayat (2)–(3)). Bantuan eksternal dapat melibatkan asosiasi Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan/atau manfaat pelindungan tanggung gugat profesi (Pasal 260 ayat (4)).

Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat juga berperan dalam fasilitasi dan advokasi permasalahan hukum tenaga kesehatan (Pasal 261–263), termasuk kemungkinan pemberian bantuan hukum kepada tenaga yang menjalankan praktik mandiri (Pasal 262).

3.5. Peran Majelis Disiplin Profesi sebelum Proses Pidana/Perdata

Dalam hal Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan menghadapi permasalahan hukum pidana atau perdata, terlebih dahulu harus dimintakan rekomendasi kepada Majelis Disiplin Profesi (Pasal 264).

Jika Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik tanpa rekomendasi tersebut, yang bersangkutan berhak melakukan upaya hukum sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 265).

Pengaturan pelindungan hukum dalam Pasal 244–265 menunjukkan bahwa negara tidak hanya menuntut profesionalisme Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan, tetapi juga memberikan perlindungan menyeluruh mulai dari pencegahan, penanganan keluhan, penyelesaian sengketa, penegakan etika dan disiplin profesi, hingga pendampingan dalam proses hukum. Dengan demikian, terbangun keseimbangan antara tanggung jawab profesionalkeselamatan pasien, dan hak pelindungan hukum tenaga kesehatan.

. Tabel Pelindungan Hukum dalam Rangka Pencegahan

Aktor Bentuk Pelindungan / Peran Utama Dasar Pasal
Pemerintah Pusat – Menetapkan kebijakan pelindungan hukum tenaga kesehatan
– Menetapkan standar profesi, kompetensi, dan pelayanan
– Menerbitkan SIP dalam kondisi tertentu
– Menyediakan & mengelola kanal pengaduan nasional
– Melakukan pembinaan & pengawasan pelindungan hukum
Pasal 244 ayat (2), Pasal 245 ayat (1)–(3), Pasal 247 ayat (1)–(2)
Konsil – Menerbitkan STR Tenaga Medis & Tenaga Kesehatan
– Mendukung peningkatan mutu praktik & kompetensi teknis keprofesian
Pasal 245 ayat (3), Pasal 248
Pemerintah Daerah – Melaksanakan kebijakan pelindungan hukum dari Pemerintah Pusat
– Menerbitkan SIP Tenaga Medis & Tenaga Kesehatan
– Melakukan pembinaan & pengawasan standar profesi, kompetensi, dan pelayanan di Fasyankes wilayahnya
Pasal 245 ayat (1), (4), Pasal 249
Pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan – Menetapkan & sosialisasi pedoman pelayanan, SPO, panduan praktik klinik, clinical pathway
– Menetapkan jenis pelayanan yang dapat dilimpahkan kewenangan
– Menetapkan pedoman perilaku pegawai
– Melakukan kredensial & menerbitkan surat penugasan klinis + rincian kewenangan klinis
– Memastikan tenaga punya STR & SIP, praktik sesuai kewenangan, informed consent, dan bekerja di lingkungan aman
– Menyediakan kanal pengaduan pasien & menanganinya
– Menyediakan kanal pengaduan internal (kekerasan, pelecehan, perundungan) & mitigasi risiko
– Memfasilitasi pelindungan tanggung gugat profesi (penuh bila hanya praktik di satu Fasyankes)
– Dapat membentuk unit khusus pencegahan & penanganan masalah hukum
Pasal 245 ayat (1), (5), Pasal 250 ayat (1)–(4)
Tenaga Medis & Tenaga Kesehatan – Berhak atas pelindungan hukum jika bekerja sesuai standar & etika
– Dapat menghentikan pelayanan bila mendapat perlakuan tidak sesuai harkat & martabat (kekerasan, pelecehan, perundungan), kecuali dalam kondisi gawat darurat/penyelamatan nyawa
– Berhak memperoleh pelindungan hukum ketika menghentikan pelayanan
Pasal 244 ayat (1), Pasal 251 ayat (1)–(4)

2. Tabel Pelindungan Hukum Saat Menghadapi Permasalahan Hukum

Aktor Bentuk Pelindungan / Tugas Dasar Pasal
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Alternatif penyelesaian sengketa (ADR):
– Membentuk tim (unit hukum + penasehat ahli/mediator)
– Menerima pengaduan pasien/keluarga
– Mengkaji & mengidentifikasi aspek hukum
– Melakukan negosiasi, konsiliasi, mediasi
– Menuangkan hasil dalam akta perdamaian
– Berkoordinasi dengan Pemda bila tidak selesai di internal

Penegakan disiplin & etika:
– Memberikan data lengkap ke Majelis Disiplin Profesi
– Memfasilitasi tenaga selama proses persidangan
– Melakukan pembinaan setelah ada putusan pelanggaran disiplin

Penegakan hukum & bantuan hukum:
– Memberikan bantuan hukum (konsultasi & pendampingan)
– Menyediakan anggaran proses hukum & ganti rugi
– Dapat melibatkan asosiasi Fasyankes & polis tanggung gugat profesi

Pasal 255, Pasal 259, Pasal 260
Pemerintah Daerah – Membentuk tim ADR di tingkat daerah (dinkes, tenaga kesehatan, penasehat ahli/mediator)
– Menerima pengaduan dari tenaga kesehatan, pasien/keluarga, pimpinan Fasyankes
– Melakukan identifikasi & kajian hukum, negosiasi, konsiliasi, mediasi, dan menyusun akta perdamaian
– Berkoordinasi dengan Pemerintah Pusat bila sengketa belum terselesaikan
– Melakukan fasilitasi & advokasi masalah hukum tenaga kesehatan
– Dapat memberikan bantuan hukum atas permintaan Fasyankes atau tenaga yang praktik mandiri
Pasal 256, Pasal 261, Pasal 262
Pemerintah Pusat – Membentuk tim ADR nasional (Kemenkes, Konsil, penasehat ahli/mediator)
– Menerima pengaduan dari tenaga kesehatan, pasien/keluarga, Fasyankes, dan/atau Pemda
– Melakukan kajian hukum, negosiasi, konsiliasi, mediasi, dan menyusun akta perdamaian
– Melakukan fasilitasi & advokasi masalah hukum atas permintaan Pemda
– Dapat langsung turun tangan pada kasus berskala nasional/meresahkan masyarakat
Pasal 257, Pasal 263
Konsil – Terlibat dalam tim ADR di tingkat Pemerintah Pusat
– Terlibat dalam koordinasi penegakan disiplin profesi bersama Majelis Disiplin Profesi dan Fasyankes
Pasal 245 ayat (3), Pasal 257 ayat (1), Pasal 259 ayat (2)
Majelis Disiplin Profesi (MDP) – Menangani dugaan pelanggaran disiplin profesi
– Mengeluarkan putusan dan/atau rekomendasi disiplin
– Menjadi rujukan wajib sebelum perkara pidana/perdata berjalan (rekomendasi lebih dulu dimintakan)
Pasal 245 ayat (3), Pasal 258 ayat (2), Pasal 259 ayat (2), Pasal 264
Tenaga Medis & Tenaga Kesehatan – Dapat mengajukan pengaduan/permohonan pelindungan ke Fasyankes, Pemda, atau Pemerintah Pusat
– Berhak memperoleh bantuan hukum (pendampingan & konsultasi) dari Fasyankes/ Pemda/ Pemerintah Pusat
– Dapat melakukan upaya hukum jika ditetapkan sebagai tersangka tanpa rekomendasi MDP terlebih dahulu
Pasal 253–254, Pasal 260–263, Pasal 265

 

Sumber : Dr Galih Endradita M


Mari-Bercerita-Tentang-Sistem-Pertahanan-Tubuh-Kita.png

Ada dua orang berusia setara: sama-sama 70 tahun. Yang satu masih lincah, jarang sakit, jalan pagi tiap hari. Yang lain bolak-balik rumah sakit, gampang infeksi, gampang lelah. Umur di KTP mereka sama. Tapi umur sistem imun mereka jelas berbeda. Di sinilah cerita kita tentang pertahanan imun bermula.

Tubuh Kita Punya “Riwayat Imun”

Selama ini kita diajari melihat penyakit kronik secara hitam putih:
“Ini kanker”, “Ini diabetes”, “Ini autoimun”. Padahal di balik label itu, tubuh kita menyimpan “riwayat hidup imun” yang jauh lebih rumit.

Sejak lahir, sistem imun kita mencatat semuanya. Mulai dari: infeksi yang pernah singgah, vaksin yang pernah diberikan, stres berkepanjangan, polusi yang dihirup, makanan ultra-proses yang berulang kali masuk, kurang tidur bertahun-tahun.

Kumpulan pengalaman inilah yang, dalam bahasa ilmiah, sering disebut sebagai immunobiography, alias: biografi sistem imun kita sendiri. Dari “catatan harian” inilah risiko kanker, autoimun, infeksi berat, hingga kerapuhan di usia tua perlahan terbentuk. Karena itu, dua orang dengan umur sama bisa punya “usia imun” yang sangat berbeda.
Ada lansia yang imun-nya masih relatif “muda”, ada yang sistem pertahanannya sudah “pensiun dini”.

Inflammaging: Penuaan Bukan Sekadar Keriput

Para ilmuwan menyebut salah satu wajah penuaan ini sebagai inflammaging:
peradangan tingkat rendah, pelan, tapi terus menyala di latar belakang. Bukan demam tinggi. Bukan infeksi berat. Tapi api kecil yang tak pernah padam. Akibatnya? Organ lebih mudah rusak, pembuluh darah lebih cepat menua, otak lebih rentan, dan sistem imun makin kelelahan.

Masalahnya, inflammaging bukan satu pola yang sama untuk semua orang. Pada sebagian orang, yang rusak lebih dulu adalah sel T-nya. Pada yang lain, usus bocor pelan-pelan dan microbiome (kumpulan bakteri baik di usus) berantakan. Pada yang lain lagi, sumber masalah utama justru stres kronik dan kurang tidur. Inilah sebabnya pendekatan “satu penyakit, satu obat, untuk semua orang” makin tidak memadai.

Lingkungan Modern: Pelan-Pelan Menggerus Imun

Kita hidup di zaman dengan exposome (total paparan lingkungan sepanjang hidup) yang sangat berbeda dari generasi orangtua kita. Sebutlah mulai dari polusi udara di kota besar, mikroplastik yang kini ditemukan di darah, plasenta, hingga air minum, bahan kimia pengganggu hormon (endocrine disruptors) dalam plastik, kosmetik, pestisida, makanan ultra-proses tinggi gula, lemak trans, dan aditif, jam kerja panjang, gawai tak pernah lepas, dan tidur yang makin pendek.

Angka paparan bisa sama, tetapi dampaknya tidak sama. Gen detox, enzim antioksidan, mekanisme perbaikan DNA, hingga cara tubuh mengolah NAD⁺ (molekul penting untuk energi sel) berbeda-beda pada setiap orang.

Di satu orang, kombinasi faktor ini bisa mengganggu “sekolah” sel T di timus. Di orang lain, efek dominan muncul sebagai resistensi insulin, perlemakan hati, atau gangguan pembuluh darah.
Ada yang microbiome-nya cepat runtuh, ada yang relatif lebih tahan banting.

Karena itulah nasihat generik seperti “jangan stres, makan sehat, olahraga” tetap benar, tetapi sering terlalu dangkal jika tidak dihubungkan dengan profil tiap orang.

Tentara Lupa Dihitung: T-Cell dan NK Cell

Dalam “drama kesehatan” sehari-hari, kita lebih sering bicara soal gula darah, kolesterol, asam urat. Padahal ada dua kelompok “tentara” yang sering kita lupakan. Pertama, sel T – komandan cerdas yang bisa mengingat musuh. Kedua, sel NK (natural killer) – pasukan cepat yang memburu sel terinfeksi dan sel kanker sejak dini.

Seiring waktu, tentara-tentara ini bisa mengalami immunosenescence: menua, lelah, dan hilang ketajamannya. Tanda-tandanya bisa dilihat di laboratorium riset: rasio CD4/CD8 yang berubah, sel T muda yang berkurang, telomere yang memendek, hingga sel NK yang kehilangan daya serang.

Di sisi lain, tubuh kita punya satu “mata uang energi” penting bernama NAD⁺.
Molekul kecil ini membantu mitokondria (pembangkit energi dalam sel) bekerja, mendukung enzim perbaikan DNA, dan memengaruhi nasib sel imun: apakah menjadi agresif, tenang, atau lelah.

Seiring usia, obesitas, hipertensi, dan gaya hidup tidak sehat, cadangan NAD⁺ cenderung menurun. Bayangkan pasukan yang diminta terus berjaga, tapi jatah bahan bakar dan logistik makin dikurangi.

NMN: Antara Harapan dan Hype

Di titik inilah satu nama sering mencuat di media sosial dan brosur suplemen: NMN – nicotinamide mononucleotide. Sederhananya, NMN adalah prekursor NAD⁺, bahan baku yang dapat diolah sel menjadi NAD⁺ lagi.

Di penelitian hewan dan sel, suplementasi NMN terlihat menjanjikan. Mulai dari memperbaiki metabolisme dan obesitas, memperkuat fungsi pembuluh darah, melindungi usus dan mengubah microbiome ke arah lebih sehat, meningkatkan pertahanan antioksidan, bahkan dalam beberapa studi, mengasah kembali kemampuan membunuh sel NK.

Pada model penyakit neurodegeneratif (pikun pada hewan), NMN lewat jalur SIRT1–AMPK–PGC-1α dapat membantu mitokondria neuron dan menurunkan peradangan otak. Singkatnya, di atas kertas dan di laboratorium, NMN tampak seperti kandidat kuat untuk menjadi modulator “immuno-neuro-metabolic”: pengatur yang menyentuh sekaligus sistem imun, otak, dan metabolisme.

Namun, di dunia nyata manusia, ceritanya lebih rumit. Beberapa uji klinis awal pada manusia menunjukkan bahwa NMN itu relatif aman digunakan dalam jangka pendek, bisa menaikkan kadar NAD⁺ darah, serta memberi perbaikan ringan pada beberapa parameter metabolik dan rasa bugar.

Tetapi efeknya tidak dramatis dan tidak sama pada semua orang. Satu kajian sistematis menyimpulkan: bukti anti-aging kuat pada manusia masih terbatas, sampel kecil, metodenya beragam. Artinya, jika ada yang menjual NMN sebagai “pil awet muda yang pasti berhasil”, kita perlu sangat waspada.

Suplemen Bukan Surat Sakti

Status hukum NMN pun berlapis. Di beberapa negara, NMN sudah diizinkan sebagai suplemen.
Di wilayah lain, NMN dosis tinggi masih dipandang sebagai “novel food” yang memerlukan izin khusus. Satu hal penting: disetujui sebagai suplemen bukan berarti terbukti sebagai obat anti-aging jangka panjang.

Suplemen boleh beredar dengan standar bukti yang jauh lebih rendah daripada obat.
Di titik ini, beban berpotensi berpindah ke produsen, agar tidak berlebihan dalam klaim; klinik dan influencer, agar tidak memoles harapan palsu; kita semua, agar tidak mudah tergoda slogan instan.

Yang lebih krusial, NMN yang dijual bebas sering dipromosikan tanpa konteks:
tanpa pemeriksaan NAD⁺, tanpa melihat kondisi autoimun, tanpa memperhitungkan obat lain yang diminum. Padahal, dalam kerangka precision medicine, NMN seharusnya dipandang sebagai bagian dari protokol yang terukur dan diawasi, bukan sekadar “tambah saja suplemen”.

Klinik Imun Masa Depan: Dari Data, Bukan Tebak-tebakan

Mari berandai-andai sejenak. Andaikan suatu hari nanti Anda datang ke “Klinik Pertahanan Imun”. Alih-alih hanya cek kolesterol, gula, dan asam urat, Anda mendapat: gambaran kadar NAD⁺ dan metabolit terkait, profil microbiome usus, skor “usia imun” berdasarkan tanda epigenetik, fungsi sel T dan sel NK, data tidur, aktivitas, dan variabilitas detak jantung dari gawai yang Anda pakai, serta ringkasan gen yang berkaitan dengan metabolisme NAD⁺ dan peradangan.

Di belakang layar, model AI mengolah data ribuan pasien serupa dan memetakan Anda ke dalam “tipe imun-metabolik” tertentu, misalnya: “inflammaging akibat usus dan microbiome bocor”, “penuaan mitokondria dengan defisit NAD⁺”, “fenotipe stres simpatis kronik”, atau “risiko autoimun tinggi karena checkpoint imun tidak seimbang”.

Dari situ, rencana tindakan dibuat berlapis dan bertahap. Untuk sebagian orang, fokus utama membenahi tidur, ritme sirkadian, dan stres. Untuk yang lain, memperkuat barier usus dan microbiome adalah prioritas. Pada kelompok tertentu, barulah restorasi NAD⁺ terarah (dengan atau tanpa NMN) dan latihan untuk membangun mitokondria menjadi pilar penting. Di kelompok lain, fokus pada modulasi autoimun dan eliminasi sel tua (senolitik) menjadi lebih relevan.

Dalam skenario ini, pertanyaan penting bukan lagi “Berapa dosis NMN saya?”
melainkan “Apakah saya termasuk kelompok yang memang akan terbantu oleh intervensi NAD⁺ – dan bagaimana kita memantaunya?”

Obat Saja Tidaklah Cukup

Di tengah semua kecanggihan itu, ada satu pesan sederhana yang sering justru tenggelam. Benar, tidak ada suplemen yang bisa menggantikan fondasi hidup sehat. Olahraga teratur, makan makanan minim olahan, tidur cukup, hubungan sosial yang sehat, berhenti merokok, mengelola stres, dan mengikuti vaksinasi sesuai anjuran tetap menjadi pilar utama pertahanan imun. Bagi sebagian orang, langkah-langkah dasar ini saja sudah mampu: memperbaiki HRV, menurunkan marker inflamasi, dan memperkuat respon sel NK dan sel T.

NMN – jika kelak posisinya makin jelas di penelitian – mungkin akan menjadi “bintang pendukung” yang penting pada kelompok tertentu: misalnya mereka dengan bukti kuat penurunan NAD⁺ dan kerapuhan imun-metabolik. Tetapi ia tidak akan pernah bisa menggantikan peran cara hidup sehari-hari yang lebih sehat.

Menjaga Harapan, Menahan Hype

Sebagai masyarakat, kita berada di persimpangan menarik. Di satu sisi, ilmu pengetahuan memberi kita harapan baru: memahami sistem imun dengan detail tak terbayangkan, memetakan usia imun, membangun “kembaran digital” (digital twin) tubuh kita, hingga merancang protokol penuaan presisi. Di sisi lain, industri suplemen dan pasar informasi yang bergerak lebih cepat daripada riset membuat batas antara harapan realistis dan hype semakin kabur.

Di sinilah peran kita sebagai warga, pasien, dan sekaligus “pengelola tubuh sendiri” diuji: mampukah kita antusias pada sains, tetapi tetap kritis pada klaim?

Sebelum mengklik “checkout” untuk botol NMN berikutnya, ada baiknya kita bertanya. Apakah saya sudah mengurus fondasi pertahanan imun saya? Apakah keputusan ini berbasis data dan konsultasi, atau hanya berdasarkan testimoni dan iklan? Apakah saya memahami bahwa tubuh saya unik, dan bahwa “apa yang berhasil di orang lain belum tentu tepat untuk saya”?

Pada akhirnya, inti dari kedokteran presisi bukan gadget, bukan AI, bukan suplemen mahal. Intinya adalah cara pandang baru. Kita tidak lagi sekadar “mengobati penyakit”, tetapi merawat sistem pertahanan yang membentuk seluruh perjalanan hidup kita. Bukan sekadar mengobati sel secara umum, tetapi mengobati sel Anda, dalam konteks hidup Anda, dipandu oleh data, bukan oleh hype. Di tengah semua pilihan yang terus bertambah, mungkin itulah kompas paling penting yang perlu kita jaga.

 

Sumber : AyoSehat


Pelayanan-Kesehatan-dalam-Kondisi-Tertentu-Tanpa-SIP-dalam-Permenkes-13-tahun-2025.png

Permenkes Nomor 13 Tahun 2025 memberikan pengaturan khusus terkait pelayanan kesehatan dalam kondisi tertentuyang tidak mewajibkan kepemilikan Surat Izin Praktik (SIP) di tempat pelayanan. Ketentuan ini diatur dalam Paragraf 4, Pasal 168 sampai dengan Pasal 172, sebagai bentuk fleksibilitas negara dalam menjamin respons cepat, kemanusiaan, dan keselamatan publik.

Kondisi Tertentu yang Tidak Memerlukan SIP

Dalam kondisi tertentu, Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan tidak diwajibkan memiliki SIP di tempat tersebut (Pasal 168 ayat (1)).
Kondisi tertentu yang dimaksud meliputi:

  • kegiatan bakti sosial atau kemanusiaan;
  • pelaksanaan tugas kenegaraan;
  • penanggulangan kejadian luar biasa, wabah, atau bencana lainnya;
  • pemberian pertolongan darurat; dan/atau
  • pelayanan kesehatan lain yang bersifat insidentil atau sementara
    (Pasal 168 ayat (2)).

Kegiatan bakti sosial atau kemanusiaan dapat diselenggarakan oleh kementerian/lembaga dan/atau masyarakat (Pasal 168 ayat (3)), dengan kewajiban untuk melaporkan pelaksanaannya kepada dinas kesehatan kabupaten/kota setempatsebagai bagian dari pengawasan dan pencatatan pelayanan (Pasal 168 ayat (4)).
Pelayanan kesehatan sementara juga dapat dilakukan oleh Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan warga negara asing sesuai ketentuan pendayagunaan tenaga kesehatan asing (Pasal 168 ayat (5) jo. Pasal 109).

Penugasan dalam Kondisi Tertentu

Pemberian pelayanan kesehatan dalam kondisi tertentu sebagaimana dimaksud di atas dapat dilakukan berdasarkan penugasan resmi (Pasal 169 ayat (1)).
Penugasan tersebut dapat diberikan oleh:

  • Menteri Kesehatan;
  • dinas kesehatan provinsi;
  • dinas kesehatan kabupaten/kota; dan/atau
  • pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan
    (Pasal 169 ayat (2)).

Dalam kondisi darurat, Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan diperbolehkan langsung memberikan pertolongan tanpa menunggu penugasan formal, dengan kewajiban melaporkan kepada dinas kesehatan atau pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan setempat (Pasal 169 ayat (3)).

Kedudukan Hukum Penugasan

Permenkes Nomor 13 Tahun 2025 menegaskan bahwa penugasan dalam kondisi tertentu memiliki kedudukan hukum yang sama dengan SIP (Pasal 170 ayat (1)).
Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan berdasarkan penugasan tersebut memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan tenaga yang menjalankan praktik berdasarkan SIP (Pasal 170 ayat (2)). Dengan demikian, aspek perlindungan hukum, tanggung jawab profesional, dan keselamatan pasien tetap terjamin.

Ketentuan Berakhirnya SIP, Surat Tugas, dan Penugasan

SIP, Surat Tugas, atau penugasan dinyatakan tidak berlaku apabila:

  • masa berlakunya berakhir;
  • tenaga yang bersangkutan meninggal dunia;
  • STR dicabut atau dinonaktifkan;
  • SIP, Surat Tugas, atau penugasan dicabut; dan/atau
  • terjadi perubahan tempat praktik atau fasilitas pelayanan kesehatan tempat penugasan
    (Pasal 171 ayat (1)).

Khusus untuk Surat Tugas, keberlakuannya juga berakhir apabila selama masa penugasan telah tersedia dokter spesialis atau subspesialis lain dengan kompetensi yang sama di daerah tersebut (Pasal 171 ayat (2)).
Penonaktifan atau pencabutan SIP, Surat Tugas, atau penugasan dapat menjadi tindak lanjut dari pencabutan atau penonaktifan STR sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 171 ayat (3)).

Larangan dalam Registrasi dan Perizinan

Sebagai penegasan prinsip integritas dan akuntabilitas, Permenkes ini melarang Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan menyalahgunakan akun atau menggunakan pihak ketiga dalam proses registrasi dan perizinan (Pasal 172).

Pengaturan pelayanan kesehatan tanpa kewajiban SIP dalam kondisi tertentu menunjukkan pendekatan adaptif dan humanis negara dalam menjamin keberlangsungan layanan kesehatan. Kebijakan ini memastikan bahwa dalam situasi darurat, kemanusiaan, atau kebutuhan insidentil, pelayanan kesehatan tetap dapat diberikan secara sah, terlindungi secara hukum, dan bertanggung jawab, tanpa mengabaikan prinsip keselamatan pasien dan tata kelola profesional.

Sumber : Dr Galih Endradita M


Registrasi-Tenaga-Medis-dan-Tenaga-Kesehatan-Berdasarkan-Permenkes-Nomor-13-Tahun-2025.png

Pemerintah melalui Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 13 Tahun 2025 menetapkan pengaturan komprehensif mengenai registrasi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan sebagai dasar legal dalam pelaksanaan praktik pelayanan kesehatan. Ketentuan ini ditegaskan dalam Paragraf 1 Registrasi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang dimuat dalam Pasal 137 sampai dengan Pasal 146.

Kewajiban Kepemilikan STR

Setiap Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang akan menjalankan praktik wajib memiliki Surat Tanda Registrasi (STR). STR diterbitkan oleh Konsil atas nama Menteri Kesehatan dan diberikan kepada tenaga kesehatan warga negara Indonesia maupun warga negara asing (Pasal 137 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)). STR berfungsi sebagai bukti pengakuan negara atas kompetensi dan kelayakan profesi dalam menjalankan praktik pelayanan kesehatan.

Masa Berlaku STR bagi Warga Negara Indonesia

Permenkes Nomor 13 Tahun 2025 memberikan kepastian hukum dengan menetapkan bahwa STR bagi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan warga negara Indonesia berlaku seumur hidup (Pasal 138 ayat (1)).
Namun demikian, terdapat pengecualian bagi tenaga yang sedang menjalani pendidikan, internsip, fellowship, atau adaptasi, di mana STR hanya berlaku selama masa kegiatan tersebut (Pasal 138 ayat (2)).
Khusus bagi Tenaga Medis yang sedang menempuh pendidikan spesialis atau subspesialis, STR seumur hidup tetap dapat digunakan sebagai dasar penerbitan Surat Izin Praktik (SIP) untuk praktik sebagai dokter atau dokter gigi (Pasal 138 ayat (3)).

STR bagi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Warga Negara Asing

Pengaturan STR bagi tenaga asing dibedakan berdasarkan lokasi dan tujuan pendayagunaannya.
STR bagi tenaga asing yang bekerja di kawasan ekonomi khusus berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang (Pasal 139 huruf a).
Sementara itu, tenaga asing yang didayagunakan di luar kawasan ekonomi khusus diberikan STR dengan masa berlaku 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang satu kali (Pasal 139 huruf b).
Adapun tenaga asing yang mengikuti pendidikan, fellowship, pelatihan yang bersentuhan langsung dengan pasien, atau adaptasi diberikan STR selama masa kegiatan tersebut (Pasal 139 huruf c).

STR untuk Lebih dari Satu Kompetensi

Dalam hal seorang Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan warga negara Indonesia memiliki lebih dari satu kompetensi, Konsil atas nama Menteri menerbitkan STR untuk setiap kompetensi yang dimiliki (Pasal 140). Ketentuan ini memberikan pengakuan terhadap pengembangan kompetensi dan multidisiplin profesi.

Persyaratan Permohonan STR

Persyaratan pengajuan STR paling sedikit meliputi ijazah dan/atau sertifikat profesi serta sertifikat kompetensi (Pasal 141 ayat (1)).
Bagi lulusan sebelum diberlakukannya ujian kompetensi, permohonan STR didasarkan pada ijazah yang telah terdata pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan tinggi (Pasal 141 ayat (2)).
Peserta program pendidikan diwajibkan melampirkan surat penerimaan pendidikan, surat keterangan sehat fisik dan mental, serta surat pernyataan kepatuhan terhadap disiplin dan etika profesi (Pasal 141 ayat (3)).
Permohonan STR bagi warga negara asing peserta pendidikan didasarkan pada hasil evaluasi kompetensi dan rekomendasi komite terkait (Pasal 141 ayat (4) dan ayat (5)).

Pembaharuan STR

Permenkes ini juga mengatur mekanisme pembaharuan STR, yang mencakup pembaharuan menjadi STR seumur hidup, pembaharuan karena perubahan kompetensi, dan pembaharuan karena kualifikasi tambahan (Pasal 142 ayat (1) dan ayat (2)).
Persyaratan pembaharuan disesuaikan dengan jenis pembaharuan, termasuk STR lama, surat selesai internsip atau adaptasi, serta sertifikat kompetensi terbaru (Pasal 142 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5)).

Proses Permohonan dan Penerbitan STR

Seluruh permohonan STR dilakukan secara elektronik melalui Sistem Informasi Kesehatan yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional (Pasal 143 ayat (1)). Proses ini meliputi pembuatan akun, pengisian data, unggah dokumen, verifikasi kelengkapan, hingga penerbitan STR (Pasal 143 ayat (2) sampai ayat (8)).
STR yang telah diverifikasi diterbitkan oleh Konsil, ditandatangani secara elektronik, dan dapat diunduh melalui sistem tersebut (Pasal 144 ayat (1) dan ayat (2)). Data STR kemudian diintegrasikan dengan data kependudukan, pendidikan, dan perizinan praktik (Pasal 144 ayat (3)).

Ketentuan Tidak Berlakunya STR

STR dinyatakan tidak berlaku apabila pemegangnya meninggal dunia, dicabut atau dinonaktifkan oleh Konsil atas nama Menteri, atau dicabut berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (Pasal 145 ayat (1)).
Penonaktifan atau pencabutan STR berdampak langsung pada penonaktifan atau pencabutan Surat Izin Praktik (SIP) (Pasal 145 ayat (4)).

Sebagai penegasan akhir, tata cara penerbitan STR bagi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan ditetapkan lebih lanjut oleh Konsil (Pasal 146).
Dengan pengaturan ini, Permenkes Nomor 13 Tahun 2025 menempatkan registrasi tenaga kesehatan sebagai instrumen utama dalam menjamin mutu pelayanan, keselamatan pasien, dan kepastian hukum dalam praktik pelayanan kesehatan di Indonesia.

 

Sumber : Dr Galih Endradita M


Alasan-Kenapa-Manusia-Memiliki-Dua-Ginjal.png

Ginjal merupakan organ dalam tubuh yang memiliki fungsi penting diantaranya untuk menyaring limbah dan cairan ekstra dari darah sehingga dapat dikeluarkan dari tubuh dalam bentuk urin. Umumnya, manusia dilahirkan dengan dua ginjal. Namun, manusia yang memiliki satu ginjal pun tetap bisa menjalani hidup yang aktif dan sehat.

Lalu, mengapa manusia memiliki dua ginjal? Melansir Scientific American, Mark Andrews, profesor fisiologi di Lake Erie College of Osteopathic Medicine, mengatakan, kebanyakan manusia memang dilahirkan dengan dua ginjal sebagai komponen fungsional dari sistem ginjal yang mencakup dua ureter, kandung kemih, dan uretra.

Selain itu, ginjal juga memiliki banyak fungsi, mulai dari mengatur tekanan darah, memproduksi sel darah merah, mengaktifkan vitamin D, hingga memproduksi beberapa glukosa. Hal yang menarik adalah menurut Andrews, manusia dilahirkan dengan kapasitas ginjal yang berlebihan atau direkayasa berlebihan. Sebagai contoh, jika Anda memiliki satu ginjal yang hanya berfungsi 75% saja, tubuh tetap bisa hidup sehat dengan baik.

Rekayasa berlebihan tersebut memberikan 1,2 juta elemen penyaringan fungsional dasar, yakni nefron mikroskopis, di setiap ginjal. Nefron merupakan tabung kecil yang menyaring plasma darah, menyesuaikan, dan mengembalikan cairan yang dioptimalkan ke tubuh. Biasanya, ginjal menerima sekitar 20 persen dari semua darah yang dipompa dari jantung. Setiap hari, sekitar 120 liter cairan dan partikel masuk ke dalam nefron untuk disaring.

Saat manusia hanya memiliki satu ginjal, ginjal tersebut akan menyesuaikan diri untuk mencari sebanyak yang dilakukan dua ginjal secara normal. Sehingga kinerjanya tentu akan jauh lebih keras, karena sebelumnya sudah dibagi oleh dua ginjal.

Namun, apabila seseorang terlahir hanya dengan satu ginjal atau kehilangan salah satu fungsi ginjal sejak lahir, ginjal yang aktif akan tumbuh dengan ukuran yang sama dengan dua ginjal. Dengan begitu, ginjal akan dapat tetap berfungsi dengan normal.

Meskipun sebenarnya tidak benar-benar membutuhkan dua ginjal sekaligus, keberadaan dua ginjal ini sebenarnya merupakan cara tubuh untuk menyediakan “cadangan”. Jadi, ketika salah satu ginjal mengalami kerusakan akibat penyakit atau mungkin kecelakaan, tubuh masih berfungsi dengan baik.

Walaupun begitu, sebaiknya Anda tidak menyepelekan kesehatan ginjal. Menjaga kesehatan ginjal diantaranya dengan minum air putih sesuai kebutuhan tubuh amat penting sehingga keduanya tetap dapat berfungsi dengan baik.

 

Sumber : KPCDI


Kesehatan-Lansia-Investasi-untuk-Masa-Depan.png

Mengapa Kesehatan Lansia Penting?

Kesehatan kepada lanjut usia (Lansia) diperlukan untuk mewujudkan lansia yang sehat, berkualitas, dan produktif di masa tuanya. Lansia sehat merupakan lansia yang berdaya, mampu menyesuaikan diri terhadap perubahan fisik, mental, sosial, finansial, spiritual, serta lingkungan sosialnya, dan produktif di masa tuanya. Hasil  penelitian menjelaskan semakin umur lansia bertambah, maka kondisi kesehatan lansia akan menurun dan gangguan kesehatan bisa meningkat (Lumowa, dan Rayanti, 2024)

Apa Itu Kesehatan Lansia?

Kesehatan lansia adalah proses mengoptimalkan peluang dan kemampuan lansia untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan fisik dan mental, kemandirian, serta kualitas hidup sepanjang kehidupannya untuk mencapai kondisi penuaan yang sehat. Lansia yang sehat dapat beradaptasi dengan perubahan dalam hidup mereka. Oleh sebab itu, kesehatan lansia menjadi penting untuk diperhatikan.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Lansia

  1. Faktor keturunan (genetik).
  2. Lingkungan fisik dan sosial.
  3. Karakteristik lansia seperti jenis kelamin, etnis, status pendidikan, dan status sosial ekonomi.
  4. Perilaku hidup sehat

Masalah yang Lazim terjadi pada Lansia

  1. Berkurangnya kemampuan gerak
  2. Resiko jatuh dan patah tulang
  3. Masalah akibat tindakan medis
  4. Mengompol atau ketidakmampuan menahan keinginan buang air kecil
  5. Konstipasi (gangguan buang air besar)
  6. Infeksi
  7. Gangguan fungsi indera
  8. Kekurangan gizi
  9. Gangguan tidur
  10. Gangguan fungsi kognitif
  11. Isolasi
  12. Gangguan fungsi imun
  13. Gangguan fungsi seksual
  14. Berkurangnya kemampuan keuangan

 

Sumber : AyoSehat


Copyright by Markbro 2025. All rights reserved.