Anak Telat Bicara? Yuk, Cari Tahu Penyebab Speech Delay di Era Modern

Memiliki anak yang terlahir sempurna dan mampu berkembang secara optimal adalah kebahagiaan terbesar bagi orang tua. Menurut Amalia et al. (2019), usia keemasan adalah waktu ketika anak-anak sangat cepat berkembang dan berkembang. Perkembangan fisik, kognitif, motorik, psikososial, dan bahasa menjadi sangat penting saat ini.
Perkembangan bahasa anak usia dini didefinisikan sebagai salah satu aspek perkembangan bahasa anak usia dini yang muncul sebagai ekspresi pemikiran anak yang ditandai dengan peningkatan kemampuan dan kreativitas anak dengan tujuan agar anak dapat berkomunikasi dengan bahasa yang dapat dipahami oleh orang lain. Orang tua mengharapkan anak-anak mampu menyebutkan kata-kata dan dapat berkomunikasi dua arah dengan bahasa yang dapat dipahami oleh orang lain (Amalia & Satiti, 2020).
Kemampuan bahasa anak bervariasi dan sangat bergantung pada stimulasi yang mereka terima. Aktivitas mendengar, melihat, dan meniru gerakan dan ucapan orang tua dapat membantu perkembangan bahasa anak. Seorang anak harus menguasai bahasa, yaitu kode konvensional yang digunakan untuk menyampaikan ide, ucapan, dan gerakan yang kompleks dalam kata-kata yang diucapkan, agar mereka dapat berkomunikasi secara efektif. Bahasa mengandung sinyal dalam kata dan kalimat yang memiliki makna dan dapat diterima di masyarakat (Feldman 2019).
Namun, orang tua tidak mengharapkan bahwa semua anak memiliki kemampuan berbahasa yang baik. Saat ini, banyak anak-anak di sekitar kita mengalami keterlambatan bicara. Sebuah artikel menyatakan bahwa 20 persen anak Indonesia mengalami penundaan bicara, yang berarti 1 juta dari 5 juta anak mengalami penundaan bicara (Evandio, 2022). Hal ini sejalan dengan informasi yang dikumpulkan oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) yang menunjukkan bahwa antara 5 dan 8 persen anak prasekolah mengalami gangguan keterlambatan bicara. Terutama, 21% anak di Jakarta mengalaminya. Lebih dari 750.000 anak di Amerika Serikat antara usia 3 dan 5 tahun mengalami keterlambatan bicara, yang membutuhkan perawatan khusus. 16 persen anak mengalami keterlambatan dalam tahap awal pembelajaran bahasa, dan setengah dari anak-anak tersebut mengalami kesulitan menjalankan tugas perkembangan berikutnya di masa depan (Feldman, 2019).
Kemampuan kognitif anak-anak usia 1-3 tahun dipengaruhi oleh keterlambatan bicara. Anak-anak ini mengalami kesulitan belajar di kelas, terutama dalam hal membaca, menulis, menyusun kalimat lengkap, dan menyelesaikan tugas secara mandiri (Kurnia dkk., 2019). 40 hingga 60 persen anak-anak masih mengalami keterlambatan bicara dan bahasa yang tidak diatasi, dan mereka lebih rentan mengalami masalah sosial, emosional, perilaku, dan kognitif di masa dewasa.
Ini pasti menjadi “warning” bagi kita selaku orang tua karena, tanpa kita sadari, kemajuan teknologi memberikan dampak yang signifikan terhadap perubahan pola asuh orang tua jaman sekarang dibandingkan dengan orang tua jaman dulu. Sudah sangat jarang kita melihat waktu makan bersama di mana semua anggota keluarga berbicara atau bercerita satu sama lain. Sebaliknya, situasi yang dianggap normal saat ini adalah kumpul keluarga di mana semua anggota keluarga sibuk masing-masing. Papa berbicara dengan temannya, mama browsing, dan anak-anak sibuk bermain game atau menonton TV pintar tanpa berbicara satu sama lain. Anak-anak tidak dilatih untuk mengkomunikasikan keinginan atau perasaan mereka dan hanya menerima stimulasi satu arah.
Orang tua tidak memberikan stimulasi yang cukup kepada anak-anak, sehingga anak-anak lebih sering diberi perangkat elektronik tanpa pengawasan agar tidak mengganggu pekerjaan mereka. Faktor lain adalah bahwa orang tua menganggap keterlambatan bicara anak sebagai sesuatu yang wajar. Hal ini diperburuk oleh ketidaksadaran orang tua tentang pentingnya mengajarkan anak mereka menyebutkan kata dengan artikulasi yang jelas.
Ketika anak-anak berbicara dalam bahasa bayi, seperti “susu” menjadi “cu-cu”, orang tua membiarkan dan menganggapnya lucu. Orang tua bahkan ikut-ikutan menggunakan bahasa bayi, tidak berusaha meralat atau meluruskan apa yang mereka katakan. Selain itu, ibu yang jarang berbicara dengan anaknya secara dua arah, bahkan ketika anak meminta sesuatu, seperti menunjukkan mainan, memberikannya tanpa meminta anak menyebutkan nama mainan agar anak tidak menangis.
Berdasarkan teori pendidikan sosial Bandura, perkembangan bahasa anak adalah hasil belajar dari observasi dan imitasi. Bandura mengatakan bahwa perilaku manusia dapat dipelajari dengan observasi dan model. Dimulai dengan mengamati orang lain, seseorang dapat mengembangkan ide tentang bagaimana perilaku baru dilakukan, yang kemudian dapat digunakan sebagai panutan atau panduan untuk melakukan hal yang sama. Orang tua dalam hal ini akan berfungsi sebagai contoh yang sangat baik untuk perkembangan bahasa anak, baik dari segi kosa kata, ucapan, maupun pemahaman mereka. Pada usia dua tahun, kosakata anak meningkat pesat, meningkat dari 300 kata hingga lebih dari 2100 kata pada usia lima tahun. Selain itu, kejelasan, struktur kalimat, dan tata bahasa menjadi lebih baik, dan beberapa anak-anak di prasekolah dapat belajar dua bahasa atau bilingual secara bersamaan (Kurnia dkk., 2019).
Menurut penelitian lain, ada dua faktor risiko yang terkait dengan keterlambatan bicara dan bahasa. Faktor medis termasuk asfiksia lahir, kejang, dan kelainan orofaringeal. Faktor keluarga dan lingkungan termasuk pendidikan orang tua yang rendah, stimulasi yang tidak memadai, riwayat keluarga yang memiliki keterlambatan bicara juga, dan lingkungan yang multibahasa.
Orang tua dapat mencegah keterlambatan bicara anak mereka dengan mengajak mereka berbicara (baby talk) dengan kata-kata sederhana dan ekspresi yang tepat, membaca banyak buku bersama mereka, selalu melibatkan mereka dalam diskusi atau dialog yang dapat menjelaskan tentang perilaku atau perasaan yang dirasakan oleh anak mereka, membatasi waktu menonton TV, dan menciptakan interaksi sosial yang aktif dengan anak mereka, termasuk aktif mengiringi mereka saat mereka berbicara. Kita juga harus mengajarkan anak berkomunikasi dengan baik, mengucapkan kata-kata dengan jelas, selalu melibatkan mereka untuk berbicara, membatasi penggunaan perangkat elektronik, dan memperbanyak waktu untuk bermain bersama mereka.
Sumber: Kemenkes





