Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perseorangan di Indonesia: Definisi, Kriteria, dan Jenis

artikel-4.png

Sistem rujukan pelayanan kesehatan perseorangan di Indonesia diatur melalui rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) yang bertujuan untuk memberikan pelayanan kesehatan yang efisien, tepat, dan terkoordinasi. Sistem ini diimplementasikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan dan Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Berikut adalah detail lebih lanjut mengenai aspek-aspek penting dari sistem ini:

1. Definisi Penting:
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Perujuk: Fasilitas kesehatan yang tidak mampu memberikan pelayanan sesuai kebutuhan medis pasien dan perlu merujuk ke fasilitas dengan kemampuan lebih tinggi.
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Penerima Rujukan: Fasilitas kesehatan yang memiliki kompetensi dan kemampuan medis lebih tinggi untuk menangani pasien yang dirujuk.
Surat Rujukan: Dokumen fisik atau elektronik yang digunakan untuk merujuk pasien secara vertikal atau horizontal antar fasilitas kesehatan.

2. Kriteria Rujukan dan Rujuk Balik:
Rujukan: Dilakukan jika fasilitas perujuk tidak dapat memenuhi kebutuhan medis pasien karena keterbatasan fasilitas, kompetensi tenaga medis, alat kesehatan, atau ketersediaan obat. Fasilitas penerima rujukan memiliki kemampuan lebih tinggi untuk menangani pasien.
Rujuk Balik: Dilakukan ketika pasien yang telah mendapatkan perawatan di fasilitas rujukan lebih tinggi, tetapi masih membutuhkan tindak lanjut perawatan di fasilitas perujuk atau fasilitas kesehatan tingkat pertama.
Kriteria khusus rujukan meliputi:

Keadaan pasien yang membutuhkan upaya diagnostik atau terapi yang tidak bisa diberikan di fasilitas perujuk.
Keadaan di mana fasilitas perujuk tidak memiliki sumber daya atau kompetensi untuk melanjutkan perawatan.

3. Jenis-Jenis Rujukan:
Rujukan Vertikal: Dilakukan dari fasilitas dengan kemampuan pelayanan yang lebih rendah (misalnya, Puskesmas) ke fasilitas dengan kemampuan lebih tinggi (misalnya, Rumah Sakit). Biasanya untuk pasien dengan kondisi kompleks yang memerlukan penanganan spesialis.
Rujukan Horizontal: Dilakukan antar fasilitas kesehatan dengan tingkat pelayanan yang sama tetapi dengan kompetensi yang berbeda. Misalnya, ketika fasilitas perujuk tidak memiliki alat diagnostik atau obat yang diperlukan, tetapi fasilitas penerima memiliki fasilitas tersebut.
Rujuk Balik: Setelah pasien menerima perawatan yang dibutuhkan di fasilitas rujukan, pasien dapat dirujuk kembali ke fasilitas semula untuk perawatan lanjutan, khususnya untuk penyakit kronis atau pemulihan.

4. Pertimbangan dalam Proses Rujukan:
Proses rujukan dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa faktor:

Kebutuhan Medis: Kebutuhan pasien berdasarkan kondisi medisnya menjadi faktor utama dalam rujukan.
Kemampuan Fasilitas: Kompetensi fasilitas kesehatan dalam hal tenaga medis, sarana prasarana, obat-obatan, dan alat kesehatan juga dipertimbangkan.
Aksesibilitas: Rujukan harus memperhatikan jarak dan waktu tempuh antara fasilitas perujuk dan fasilitas penerima rujukan, terutama dalam situasi darurat.
Kondisi Geografis: Rujukan juga memperhitungkan medan atau situasi geografis yang dapat memengaruhi waktu respon dan efektivitas pelayanan.

5. Situasi Pengecualian dalam Rujukan:
Rujukan bisa dikecualikan dalam kondisi tertentu, seperti:

Kondisi Gawat Darurat: Pasien dalam kondisi gawat darurat tidak memerlukan proses rujukan formal dan bisa langsung diterima di fasilitas kesehatan yang lebih tinggi.
Kejadian Luar Biasa (KLB), Wabah, atau Bencana: Dalam situasi darurat bencana atau wabah, proses rujukan difasilitasi untuk memastikan keselamatan pasien, tanpa memperhatikan urutan formal rujukan.
Kondisi Tertentu Lainnya: Dalam kasus yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan, seperti keterbatasan transportasi medis atau sumber daya lainnya.

6. Pelaksanaan Rujukan:
Rujukan untuk pasien rawat jalan dilakukan bagi pasien yang tidak membutuhkan penanganan segera, namun membutuhkan pemeriksaan rutin atau terapi tertentu.
Rujukan Gawat Darurat: Dilakukan untuk pasien yang membutuhkan penanganan segera. Setelah kondisi pasien stabil, jika fasilitas tidak memiliki kemampuan atau ruangan, pasien dirujuk ke fasilitas yang lebih tinggi.
Rujukan Rawat Inap: Dilakukan untuk pasien yang sudah diperiksa dan membutuhkan perawatan inap di fasilitas yang lebih tinggi.
Prosedur Pelaksanaan:

Fasilitas perujuk harus berkomunikasi dengan fasilitas penerima rujukan, menyiapkan Surat Rujukan secara elektronik, dan memastikan kondisi pasien stabil sebelum dipindahkan.
Pasien harus dirawat sesuai kebutuhan medis selama proses rujukan, dan jika diperlukan, menggunakan ambulans atau alat transportasi lain yang dilengkapi dengan tenaga medis.

7. Sistem Rujukan Terintegrasi:
Sistem rujukan ini didukung oleh teknologi informasi yang terhubung dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional. Fasilitas pelayanan kesehatan wajib mencatat dan melaporkan semua proses rujukan secara terintegrasi. Sistem ini memungkinkan:

Transfer data medis secara cepat dan aman antara fasilitas kesehatan.
Pencatatan dan pemantauan real-time terhadap kemampuan fasilitas kesehatan.
Pemantauan dan evaluasi kinerja rujukan.

8. Pencatatan dan Pelaporan:
Setiap fasilitas kesehatan yang terlibat dalam rujukan harus mencatat dan melaporkan pelaksanaan rujukan melalui sistem informasi terintegrasi. Data yang harus dilaporkan meliputi:

Proporsi pasien yang dirujuk.
Proporsi pasien yang dirujuk balik.
Jenis penyakit yang paling banyak dirujuk.
Waktu tanggap terhadap permintaan rujukan.

9. Tanggung Jawab Pemerintah Pusat dan Daerah:
Pemerintah Pusat: Bertanggung jawab atas kebijakan penyelenggaraan sistem rujukan secara nasional, termasuk pembinaan, pengawasan, dan sosialisasi kepada fasilitas kesehatan.
Pemerintah Daerah: Bertanggung jawab dalam pelaksanaan sistem rujukan di wilayahnya, termasuk penyediaan sumber daya, pembinaan, serta kerja sama antar daerah untuk meningkatkan aksesibilitas.

10. Pendanaan:
Pendanaan untuk penyelenggaraan sistem rujukan bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), dan sumber sah lainnya yang sesuai dengan peraturan.

11. Pembinaan dan Pengawasan:
Pembinaan dan pengawasan dilakukan oleh Menteri Kesehatan, Gubernur, dan Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangan masing-masing. Pengawasan dapat berupa advokasi, sosialisasi, dan evaluasi kinerja rujukan secara berkala.

Sanksi Administratif: Fasilitas kesehatan yang melanggar ketentuan rujukan dapat dikenakan sanksi administratif seperti teguran tertulis, penurunan atau pencabutan status akreditasi, hingga rekomendasi pencabutan kerja sama dengan BPJS Kesehatan.

12. Sistem Informasi Kesehatan Nasional (SIKN):
Sistem rujukan diintegrasikan ke dalam SIKN untuk memastikan pertukaran data secara cepat, akurat, dan aman antar fasilitas kesehatan yang terlibat. SIKN juga memastikan interoperabilitas antar sistem informasi rujukan lainnya.

Sistem rujukan ini dirancang untuk meningkatkan kualitas dan efektivitas pelayanan kesehatan perseorangan di Indonesia, memastikan pasien mendapatkan perawatan yang sesuai dengan kebutuhannya di fasilitas kesehatan yang tepat, dan mendorong pemanfaatan teknologi informasi dalam layanan kesehatan.

 

Sumber: Dr. Galih Endradita M

Admin PERSI JATIM faradilla

Copyright by Markbro 2025. All rights reserved.