peradangan-penyakit-jantung.png

Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah merupakan salah satu penyebab kematian terbanyak di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat bahwa penyakit kardiovaskular, yang di dalamnya termasuk penyakit jantung koroner, bertanggung jawab atas hampir sepertiga dari semua kematian global. Di Indonesia, data dari Kementerian Kesehatan menunjukkan tren yang serupa, dengan penyakit jantung menjadi penyebab utama kematian. Kondisi ini tidak hanya berdampak pada kesehatan individu tetapi juga menimbulkan beban ekonomi yang besar bagi masyarakat dan sistem kesehatan. Oleh karena itu, memahami dan mengelola faktor risiko penyakit jantung adalah kunci dalam upaya pencegahan dan pengurangan angka kematian.

 

Selain faktor risiko klasik seperti hipertensi, diabetes, obesitas, dan merokok, penelitian terkini telah mengungkapkan keberadaan faktor risiko novel yang juga memainkan peran penting dalam pengembangan penyakit jantung koroner. Faktor-faktor ini mencakup aspek genetik, pola tidur yang buruk, polusi udara, dan bahkan status sosioekonomi yang rendah, yang semuanya berkontribusi terhadap risiko individu. Faktor risiko ini menambah kompleksitas dalam pendekatan pencegahan dan terapi penyakit jantung, menuntut strategi yang lebih holistik dan personal dalam penanganannya.

 

Dalam konteks ini, peradangan kronis muncul sebagai faktor risiko penting yang seringkali kurang diperhatikan. Peradangan merupakan respons alami tubuh terhadap infeksi atau cedera. Namun, ketika peradangan menjadi kronis, kondisi ini dapat memicu berbagai masalah kesehatan serius, termasuk penyakit jantung dan pembuluh darah. Oleh karena itu, pemahaman mendalam tentang hubungan antara peradangan kronis dan penyakit jantung sangat penting. Artikel ini akan menjelaskan bagaimana peradangan kronis dapat mempengaruhi kesehatan jantung dan langkah-langkah yang dapat Anda ambil untuk mengurangi risiko tersebut, dengan tujuan memberikan wawasan baru dan membantu pembaca dalam mengelola kesehatan jantung mereka dengan lebih efektif.

 

Apa itu Peradangan?

Peradangan merupakan mekanisme pertahanan tubuh yang vital, di mana sistem imun beraksi untuk melindungi tubuh dari serangan luar seperti infeksi, iritasi, atau cedera. Saat terjadi ancaman, sistem imun melepaskan sel-sel pertahanan dan zat kimia yang bertujuan untuk mengisolasi dan menghancurkan penyebab gangguan tersebut. Dalam kondisi ideal, ini terjadi dalam bentuk peradangan akut, di mana proses inflamasi berlangsung cepat dan hanya bertahan selama beberapa hari, cukup untuk memulihkan keseimbangan dan memperbaiki jaringan yang rusak.

 

Namun, ketika peradangan berlanjut dan menjadi kronis, dinamika perannya berubah secara signifikan. Peradangan kronis adalah kondisi di mana respons inflamasi ini berlangsung terus-menerus, sering kali tanpa pemicu yang jelas atau berkepanjangan seperti pada infeksi kronis, paparan bahan iritasi terus menerus, atau karena autoimunitas, di mana tubuh secara keliru menyerang jaringan sehatnya sendiri. Dalam jangka panjang, peradangan kronis bisa menyebabkan berbagai jenis kerusakan jaringan, dan ironisnya, menjadi penyebab dari berbagai kondisi kesehatan kronis termasuk penyakit jantung, diabetes, dan arthritis.

 

Mengenal dan memahami perbedaan antara peradangan akut dan kronis adalah kunci dalam mengidentifikasi dan mengelola berbagai kondisi kesehatan yang dapat dipengaruhi oleh peradangan. Dengan pengetahuan yang cukup, individu dapat mengambil langkah-langkah yang tepat untuk mengurangi faktor risiko peradangan kronis dan menjaga kesehatan jangka panjang mereka.

 

Peran Peradangan Kronis dalam Pengembangan Penyakit Jantung & Pembuluh Darah

Penelitian yang berkembang telah memperlihatkan adanya keterkaitan yang kuat antara peradangan kronis dan risiko penyakit jantung, khususnya aterosklerosis, suatu kondisi di mana terjadi pembentukan plak pada dinding arteri yang mengarah pada penyempitan dan pengerasan pembuluh darah. Studi oleh Ridker dan koleganya merupakan salah satu yang paling berpengaruh, menunjukkan bahwa tingkat tinggi protein C-reaktif (CRP), sebuah penanda peradangan, dikaitkan dengan peningkatan risiko serangan jantung dan stroke. Temuan ini menegaskan bahwa peradangan bukan hanya merupakan konsekuensi dari aterosklerosis tetapi juga mungkin memainkan peran kausal dalam pengembangan penyakit.

 

CRP diakui sebagai prediktor kardiovaskular yang kuat, sebanding dengan faktor risiko klasik seperti merokok dan hipertensi. Mekanisme di balik ini terkait dengan kemampuan peradangan untuk merusak lapisan dalam arteri, atau endotel, yang memudahkan akumulasi plak. Penelitian lebih lanjut oleh Libby dan koleganya telah mengungkapkan bahwa sel-sel imun seperti makrofag dan limfosit berperan aktif dalam proses pembentukan plak, tidak hanya melalui penyerapan kolesterol tetapi juga melalui produksi zat yang memecah plak, menjadikannya lebih rentan terhadap rupture yang bisa memicu serangan jantung atau stroke.

 

Selain mempengaruhi pembentukan plak, peradangan juga meningkatkan risiko trombosis, atau pembekuan darah, seperti yang ditunjukkan oleh Hansson dan timnya. Proses inflamasi memicu produksi faktor-faktor yang meningkatkan kecenderungan darah untuk membeku, sebuah proses kunci dalam terjadinya serangan jantung dan stroke ketika bekuan darah menyumbat arteri.

 

Pemahaman ini memiliki implikasi penting dalam pengembangan strategi pencegahan dan pengobatan penyakit jantung. Manajemen peradangan melalui penggunaan obat-obatan seperti statin, yang juga memiliki efek anti-inflamasi, serta melalui pengadopsian gaya hidup sehat dan pengendalian faktor risiko kardiovaskular lainnya, dapat signifikan mengurangi risiko penyakit jantung.

 

Mengenal Faktor Risiko Peradangan Kronis

Peradangan kronis, yang berlangsung lama dan seringkali tanpa gejala yang jelas, dapat menjadi penyebab utama dari berbagai kondisi kesehatan serius, termasuk penyakit jantung. Ada beberapa faktor risiko yang diketahui memicu atau memperburuk peradangan kronis. Mengenali dan mengelola faktor-faktor ini dapat membantu mengurangi risiko peradangan dan menjaga kesehatan jangka panjang.

1. Kebiasaan Merokok: Merokok telah lama diketahui sebagai faktor risiko utama untuk berbagai kondisi kesehatan, termasuk peradangan kronis. Asap rokok mengandung ribuan bahan kimia beracun yang bisa merusak sel dan jaringan, memicu peradangan di seluruh tubuh. Ini juga merusak lapisan pembuluh darah, meningkatkan risiko pembentukan plak aterosklerosis yang dapat menyebabkan penyakit jantung.

2. Obesitas: Lemak tubuh, terutama yang terakumulasi di sekitar perut (lemak visceral), tidak hanya menyimpan energi tetapi juga berfungsi sebagai organ endokrin yang aktif, melepaskan hormon dan zat pro-inflamasi yang dikenal sebagai adipokin. Adipokin ini dapat memicu peradangan sistemik, yang jika berlangsung lama akan mengganggu fungsi normal organ dan jaringan, termasuk pembuluh darah.

3. Diet Buruk: Pola makan yang tinggi lemak jenuh, gula, dan kalori berlebih dapat meningkatkan peradangan. Makanan seperti makanan cepat saji, daging olahan, dan makanan manis tidak hanya menyebabkan peningkatan berat badan tetapi juga memicu respon inflamasi dalam tubuh. Sebaliknya, diet yang kaya akan buah-buahan, sayuran, dan lemak sehat seperti yang ditemukan dalam ikan dan minyak zaitun, dapat membantu mengurangi peradangan.

4. Kurang Aktivitas Fisik: Aktivitas fisik rutin adalah salah satu cara paling efektif untuk mengurangi peradangan. Olahraga membantu mengurangi lemak tubuh, meningkatkan sirkulasi darah, dan memicu pelepasan zat-zat yang memiliki efek anti-inflamasi. Orang yang jarang beraktivitas fisik cenderung memiliki tingkat peradangan yang lebih tinggi, yang dapat meningkatkan risiko berbagai penyakit kronis.

5. Stres Kronis: Stres yang berkepanjangan dapat mempengaruhi sistem imun dengan memicu pelepasan hormon stres seperti kortisol, yang pada gilirannya dapat meningkatkan peradangan. Stres kronis juga bisa menyebabkan perilaku tidak sehat seperti makan berlebihan, merokok, atau mengabaikan kegiatan fisik, yang semuanya dapat berkontribusi pada peradangan kronis.

6. Penyakit Autoimun: Dalam kondisi autoimun, sistem imun tubuh, yang seharusnya melindungi tubuh dari penyakit dan infeksi, malah salah mengenali jaringan tubuh sendiri sebagai benda asing dan menyerangnya. Ini menyebabkan peradangan yang berkelanjutan. Contoh dari penyakit autoimun termasuk rheumatoid arthritis, di mana peradangan terjadi pada sendi, menyebabkan rasa sakit dan pembengkakan yang signifikan; serta lupus, yang dapat mempengaruhi kulit, sendi, dan organ internal.

7. Infeksi Kronis: Infeksi yang berkepanjangan atau tidak diobati dengan baik dapat menyebabkan peradangan kronis yang berdampak negatif pada kesehatan secara umum, termasuk meningkatkan risiko penyakit jantung. Di Indonesia, beberapa infeksi kronis yang sering dijumpai dan tidak terobati secara optimal mencakup:

  • Tuberkulosis (TBC): Indonesia merupakan salah satu negara dengan beban TBC tinggi. TBC adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis, yang biasanya menyerang paru-paru tapi juga bisa mempengaruhi bagian tubuh lain. Infeksi kronis ini menyebabkan respons inflamasi yang kuat dan berkepanjangan, yang jika tidak diobati dengan baik dapat menjadi kronis dan menyebabkan kerusakan jaringan yang luas.
  • Infeksi Helicobacter Pylori: H. pylori adalah bakteri yang dapat menginfeksi lapisan lambung dan menyebabkan ulkus peptikum dan gastritis kronis. Jangka panjang, infeksi ini bisa memicu peradangan kronis di lambung, meningkatkan risiko penyakit gastrointestinal lanjutan, termasuk kanker lambung.
  • Penyakit Periodontal: Infeksi kronis pada gusi dan jaringan pendukung gigi ini sangat umum dan seringkali tidak terdeteksi hingga menyebabkan kerusakan signifikan. Bakteri penyebab penyakit periodontal tidak hanya menyebabkan peradangan dan kerusakan pada jaringan mulut, tetapi juga bisa masuk ke dalam aliran darah, memicu peradangan lebih lanjut yang bisa berdampak pada pembuluh darah dan jantung.

 

Gejala Peradangan Kronis

Peradangan kronis dapat menjadi senyap dan terselubung, seringkali tanpa menimbulkan gejala yang spesifik sampai kondisi tersebut telah berkembang menjadi penyakit serius. Karena peradangan kronis berpotensi mempengaruhi berbagai sistem dalam tubuh, gejalanya pun bisa sangat beragam dan kadang-kadang menyerupai kondisi kesehatan lain, membuat diagnosis menjadi lebih sulit. Namun, beberapa gejala umum yang mungkin dialami termasuk:

1. Kelelahan yang tidak dapat dijelaskan: Salah satu gejala paling umum dari peradangan kronis adalah rasa lelah yang terus menerus, yang tidak hilang meskipun sudah cukup istirahat. Kelelahan ini bisa begitu parah sehingga mempengaruhi aktivitas sehari-hari dan kualitas hidup.

2. Nyeri otot dan sendi: Nyeri yang persisten atau berulang di otot dan sendi, tanpa disertai cedera yang jelas, juga bisa merupakan tanda peradangan kronis. Nyeri ini mungkin mereda dan muncul kembali, dan sering kali dirasakan sebagai pegal atau kaku yang tak kunjung hilang.

3. Sakit kepala dan kekakuan leher: Peradangan yang terjadi di dalam tubuh bisa memicu sakit kepala atau migrain yang frekuen dan kekakuan leher. Gejala-gejala ini sering kali disalahartikan sebagai masalah yang lebih ringan atau stres.

4. Gangguan pencernaan: Gejala seperti nyeri perut, kembung, diare, atau konstipasi bisa muncul jika peradangan mempengaruhi sistem pencernaan. Dalam jangka panjang, hal ini dapat berkembang menjadi kondisi lebih serius seperti penyakit inflamasi usus.

5. Perubahan mood dan kognitif: Peradangan kronis juga bisa mempengaruhi fungsi otak, menyebabkan perubahan mood, kecemasan, depresi, atau kesulitan konsentrasi. Perubahan ini terkadang sangat halus dan bertahap, sehingga sulit untuk dikaitkan langsung dengan peradangan.

 

Pentingnya Pemeriksaan Laboratorium dalam Diagnosis Peradangan Kronis

Untuk mendeteksi peradangan kronis, dokter seringkali merekomendasikan pemeriksaan darah yang dapat mengukur biomarker peradangan seperti protein C-reaktif (CRP), yang meningkat ketika ada peradangan aktif dalam tubuh. Tes lain yang mungkin dilakukan adalah pengukuran kadar sedimentasi eritrosit (ESR), yang juga menunjukkan tingkat peradangan, serta pemeriksaan kadar sel darah putih, yang bisa meningkat sebagai respons terhadap peradangan kronis.

 

Bagaimana Kita Bisa Mengatasi Peradangan Kronis?

Penyakit jantung tidak hanya dipicu oleh faktor risiko klasik seperti kolesterol tinggi, gula darah yang tinggi atau hipertensi, tetapi juga oleh peradangan kronis yang sering terabaikan. Oleh karena itu, untuk mengatasi penyakit jantung melibatkan penanganan holistik yang bertujuan untuk mengidentifikasi faktor risiko novel yang mendasari seperti peradangan. Upaya untuk mengatasi peradangan kronis dimulai dengan evaluasi menyeluruh terhadap setiap pasien, mencakup pemeriksaan medis yang mendalam dan analisis faktor risiko individu. Apakah mungkin ada obesitas dan gaya hidup sedentari yang perlu diubah? Apakah mungkin ada infeksi kronis seperti TBC atau gejala gastritis yang mungkin disebabkan oleh infeksi H. Pylori?, Apakah mungkin ada kelainan di bidang gigi dan mulut yang bisa menyebabkan infeksi kronis? Jika memang ada, penyebab spesifik yang menyebabkan peradangan harus diatasi 1, sehingga tidak menjadi sesuatu yang memperberat penyakit jantung yang dimiliki dikemudian hari. Hal ini tidak hanya akan membantu mengurangi keluhan non spesifik diluar jantung, tapi juga akan secara signifikan mengurangi beban penyakit kardiovaskular.

 

Perubahan gaya hidup sebagai bagian dari strategi untuk mengurangi peradangan juga diperlukan. Diet seimbang yang kaya akan antioksidan dan nutrisi anti-inflamasi, peningkatan aktivitas fisik, dan upaya untuk mengatasi stres adalah beberapa komponen yang di sarankan untuk mendukung upaya mengurangi peradangan dan mempromosikan kesehatan jantung yang optimal. Pendekatan terpadu dengan fokus mengatasi peradangan kronis adalah kunci untuk memerangi penyakit jantung. Pendekatan holistik ini memastikan bahwa setiap pasien mendapat kesempatan terbaik untuk menjalani hidup yang lebih sehat dan lebih penuh.

 

Sumber : PERKI


ngorok.png

Penyakit jantung dan pembuluh darah terus menjadi masalah kesehatan utama di seluruh dunia, bertanggung jawab atas angka kematian dan kesakitan yang signifikan. Penyakit Jantung Koroner,  Gangguan irama jantung, seperti atrial fibrilasi dapat berkontribusi pada terjadinya gagal jantung dan merupakan manifestasi klinis yang paling umum dan serius dari penyakit kardiovaskular. Menurut data dari World Health Organization, penyakit jantung koroner dan stroke bersama-sama bertanggung jawab atas lebih dari 15 juta kematian setiap tahun secara global, menjadikannya penyebab kematian nomor satu di dunia.

Di antara berbagai faktor risiko penyakit jantung, beberapa seperti kolesterol tinggi, diabetes, hipertensi dan merokok mungkin sudah umum dikenali. Namun, ada juga penyebab penting lainnya yang sering kali terlewatkan, yaitu Mengorok disertai Henti Nafas, atau istilah medisnya Obstructive Sleep Apnea (OSA). OSA adalah gangguan tidur di mana individu mengalami berhenti nafas berulang selama tidur, yang seringkali disertai dengan mengorok keras. Statistik menunjukkan bahwa sekitar 26% populasi dewasa mungkin menderita OSA, dengan mayoritas kasus yang tidak terdiagnosis karena banyak orang yang mengalaminya tidak menyadari gejala mereka.

Sebagian besar kasus OSA tidak terdiagnosa sebagian besar karena gejala-gejala yang terjadi selama tidur sering kali tidak disadari oleh penderitanya sendiri. Dalam banyak kasus, pasangan tidur atau istri yang pertama kali menyadari adanya masalah, karena mereka yang mendengar suara mengorok dan menyaksikan momen ketika napas tampaknya terhenti. Karena itulah, peran pasangan dalam mengidentifikasi dan mengomunikasikan gejala-gejala ini kepada dokter sangat penting, membantu dalam diagnosis dan perawatan yang efektif.

Artikel ini akan membahas secara mendalam tentang bagaimana OSA mempengaruhi kesehatan kita, khususnya kesehatan kardiovaskular dan mengapa penting untuk tidak mengabaikan gejala seperti mengorok dan henti nafas selama tidur. Hal yang akan dibahas dalam artikel ini antara lain: Apa yang dimaksud dengan OSA? Bagaimana Gejalanya? Bagaimana dampaknya terhadap penyakit jantung dan pembuluh darah seperti hipertensi, atrial fibrilasi, dan gagal jantung.  Selain itu, artikel ini juga akan mengulas bagaimana diagnosis OSA ditegakkan dan dikelola sehingga risiko komplikasi jantung bisa dicegah.

Apa yang Terjadi Ketika Terjadi Obstructive Sleep Apnea (OSA)?

Obstructive Sleep Apnea (OSA) adalah gangguan tidur yang serius, di mana individu mengalami penyumbatan berulang pada saluran napas atas selama tidur. Ini mengakibatkan henti napas berulang dan penurunan signifikan dalam aliran udara. Fenomena ini tidak hanya mengganggu kualitas tidur tetapi juga mempengaruhi berbagai sistem di tubuh kita. Pemahaman mengenai apa yang apa yang terjadi terjadinya OSA diperlukan untuk memahami dampaknya.  Berikut adalah uraian tentang apa yang terjadi selama episode OSA:

1. Penutupan Jalan Napas

Selama tidur, otot-otot di sekitar tenggorokan dan lidah biasanya mengendur. Bagi individu dengan OSA, relaksasi ini berlebihan sehingga jaringan lunak di bagian belakang tenggorokan jatuh dan menyumbat saluran napas. Ini mencegah aliran udara masuk ke paru-paru. Penyumbatan ini bisa total (apnea) atau parsial (hipopnea).

2. Henti Napas

Ketika jalan napas terhalang, tidak ada oksigen yang masuk, dan ini menghentikan pernapasan. Episode ini bisa berlangsung selama beberapa detik hingga lebih dari satu menit. Selama ini, kadar oksigen dalam darah bisa turun secara dramatis.

3. Upaya untuk Bernapas

Meskipun jalan napas terhalang, upaya untuk bernapas tetap berlanjut. Ini menciptakan tekanan negatif di dada, mencoba menarik udara masuk melalui jalan napas yang tersumbat. Tekanan negatif ini bisa memiliki efek mekanis langsung pada jantung dengan mempengaruhi cara jantung mengisi dan memompa darah.

4. Mikro Bangun (Micro Arausal)

Pada titik tertentu, otak menyadari bahwa tubuh tidak mendapatkan cukup oksigen dan memicu “mikro bangun” atau arousal. Ini adalah perubahan singkat dan tiba-tiba dari tidur dalam ke tidur lebih ringan atau keadaan setengah terjaga, yang seringkali tidak disadari oleh individu tersebut. Arousal ini memungkinkan otot-otot tenggorokan untuk mengencang kembali dan membuka jalan napas, memungkinkan pernapasan untuk dimulai lagi.

5. Kembali Tidur

Setelah jalan napas terbuka dan pernapasan dinormalisasi, individu biasanya kembali tidur dengan cepat. Namun, karena siklus ini bisa terjadi puluhan hingga ratusan kali dalam satu malam, tidur menjadi sangat terfragmentasi dan kualitasnya menjadi sangat buruk.

Dampak langsung dari episode OSA meliputi kelelahan di siang hari, sakit kepala pagi, dan suasana hati yang buruk karena tidur yang tidak berkualitas. Jika tidak diobati, OSA juga meningkatkan risiko kondisi jangka panjang yang lebih serius, termasuk hipertensi, penyakit jantung, diabetes, dan stroke.

Dampak OSA terhadap Jantung dan Pembuluh Darah

Obstructive Sleep Apnea (OSA) tidak hanya mengganggu kualitas tidur tetapi juga memiliki dampak yang signifikan terhadap kesehatan jantung dan pembuluh darah. Berikut ini adalah beberapa cara utama OSA mempengaruhi jantung dan pembuluh darah:

1. Hipertensi

OSA dikaitkan dengan peningkatan risiko hipertensi, yang merupakan faktor risiko utama untuk penyakit jantung. Ketika seseorang mengalami henti napas berulang selama tidur, tubuh mengalami penurunan kadar oksigen darah, yang memicu respon dari sistem saraf simpatik untuk meningkatkan tekanan darah. Respons ini, yang dimaksudkan untuk mempercepat aliran darah dan meningkatkan oksigenasi, dapat berkontribusi pada tekanan darah tinggi yang kronis, bahkan saat seseorang terjaga.

2. Atrial Fibrilasi

Penelitian menunjukkan bahwa pasien dengan OSA memiliki risiko lebih tinggi mengalami atrial fibrilasi, sebuah jenis aritmia di mana atrium jantung berkontraksi secara tidak normal. Ketegangan pada jantung akibat upaya berulang untuk bernapas melawan sumbatan jalan napas, bersama dengan stres oksidatif dan inflamasi yang disebabkan oleh kejadian hipoksia berulang, dapat merusak struktur dan fungsi jantung, meningkatkan risiko atrial fibrilasi.

3. Penyakit Jantung Koroner

Fluktuasi oksigen dan tekanan darah yang terjadi akibat OSA dapat meningkatkan risiko penyakit jantung koroner. Kekurangan oksigen berulang dapat mempercepat proses aterosklerosis, di mana plak terbentuk di dalam arteri yang memasok darah ke jantung. Ketika plak ini pecah atau menyumbat arteri, bisa terjadi serangan jantung.

4. Gagal Jantung

OSA secara langsung mempengaruhi kinerja jantung. Serangan berulang dari hipoksia dan fluktuasi tekanan intratorakal dapat menyebabkan peningkatan beban kerja jantung yang secara bertahap bisa melemahkan otot jantung, mengarah pada gagal jantung. Ketidakmampuan jantung untuk memompa darah secara efisien dapat mengakibatkan kelelahan, sesak napas, dan kemampuan berkurang untuk melakukan aktivitas fisik.

5. Peningkatan Risiko Stroke

OSA juga meningkatkan risiko stroke, yang terjadi ketika pasokan darah ke sebagian otak terhambat. Gangguan dalam pola tidur dan peningkatan tekanan darah yang berhubungan dengan OSA dapat mempengaruhi sirkulasi darah otak dan meningkatkan risiko pembentukan gumpalan darah.

6. Meningkatnya Risiko Diabetes

Selain dampak pada kesehatan kardiovaskular, OSA juga berkontribusi terhadap peningkatan risiko diabetes tipe 2. Gangguan tidur dan hipoksia intermiten yang terjadi selama OSA mengganggu keseimbangan hormon dan sensitivitas insulin. Kualitas tidur yang buruk dan gangguan tidur terkait dengan OSA sering kali meningkatkan produksi hormon lapar, seperti ghrelin, sementara mengurangi produksi hormon yang menyebabkan rasa kenyang, seperti leptin. Peningkatan hormon lapar ini, ketika digabungkan dengan rasa lelah yang ditimbulkan oleh kualitas tidur yang buruk, mendorong penderita OSA untuk makan berlebih. Lebih lanjut, kelelahan dan kurangnya energi yang disebabkan oleh tidur yang terganggu membuat individu dengan OSA cenderung mengurangi aktivitas fisik. Kombinasi dari asupan kalori yang tinggi dan aktivitas fisik yang rendah memicu kenaikan berat badan, yang selanjutnya memperburuk resistensi insulin dan meningkatkan risiko diabetes. Ini menciptakan lingkaran setan antara OSA, obesitas, dan diabetes yang dapat sulit untuk dipecahkan tanpa intervensi medis yang efektif.

Bagaimana mendiagnosis OSA?

Secara klinisnya, kemungkinan terjadinya OSA meningkat jika seseorang memiliki keluhan seperti mengorok keras yang konsisten, sering terbangun tiba-tiba di malam hari, sensasi tersedak atau sesak napas saat tidur, serta kelelahan yang ekstrem atau kantuk di siang hari meskipun telah tidur malam yang cukup. Gejala ini menunjukkan gangguan dalam kualitas dan efektivitas tidur yang mungkin disebabkan oleh OSA.

Selain gejala-gejala tersebut, terdapat faktor risiko yang meningkatkan kemungkinan seseorang menderita OSA. Faktor-faktor ini termasuk kelebihan berat badan atau obesitas, lingkar leher yang besar, adanya riwayat keluarga dengan OSA, usia yang lebih tua, dan struktur anatomi yang mempengaruhi jalan napas seperti rahang yang kecil, tonjolan pada atap mulut yang tinggi, atau pembesaran amandel. Pria juga cenderung lebih berisiko mengalami OSA dibandingkan wanita, meskipun wanita pasca-menopause juga mengalami peningkatan risiko.

Dalam proses diagnosis, konfirmasi visual dari orang yang tidur satu ruangan, seperti pasangan, menjadi sangat berharga. Pasangan tidur dapat memberikan observasi apakah terjadi periode ketika pasien tampak berhenti bernapas selama tidur atau mengalami kesulitan bernapas yang diikuti dengan suara tersedak atau gasping. Informasi ini sangat membantu dalam mengarahkan kebutuhan untuk pemeriksaan lebih lanjut seperti Polisomnografi (PSG) yang dilakukan di laboratorium tidur, di mana diagnosis OSA dapat dikonfirmasi secara definitif melalui pengamatan langsung terhadap pola tidur dan pernapasan pasien.

Selain intervensi medis, terdapat beberapa tips yang bisa dilakukan untuk mengurangi gejala OSA, terutama jika kondisi tersebut ringan hingga sedang. Perubahan gaya hidup seperti menurunkan berat badan, menghindari alkohol dan obat penenang sebelum tidur, serta merokok dapat sangat membantu. Mengubah posisi tidur juga dapat efektif; tidur miring ke samping daripada telentang dapat mencegah jaringan tenggorokan jatuh ke belakang yang menyumbat jalan napas. Selain itu, penggunaan bantal khusus atau alat bantu tidur oral yang dirancang untuk menjaga jalan napas tetap terbuka dapat menjadi opsi lain untuk mengelola OSA. Intervensi ini, ketika dilakukan bersamaan dengan konsultasi medis, dapat signifikan mengurangi keparahan gejala dan meningkatkan kualitas tidur dan kesehatan secara umum.

Evaluasi dan Diagnosis OSA melalui Polisomnografi (PSG) / Sleep Study

Polisomnografi (PSG) adalah pemeriksaan esensial untuk mendeteksi dan mengelola OSA. Melalui serangkaian pemantauan yang terintegrasi selama tidur, PSG menyediakan gambaran komprehensif tentang berbagai aspek fisiologis tidur yang bisa terganggu oleh OSA. Pemeriksaan ini sudah bisa dilakukan dibeberapa RS Swasta ternama di Indonesia. Selama sesi PSG, pasien tidur di fasilitas yang diawasi ketat, sementara berbagai sensor merekam aktivitas fisiologisnya.

Pemantauan yang pertama adalah Elektroensefalogram (EEG), yang merekam aktivitas gelombang otak untuk menilai tahap dan kedalaman tidur. Ini sangat penting untuk membedakan antara tahap tidur yang berbeda dan melihat bagaimana OSA mengganggu siklus tidur normal. OSA sering mengacaukan arsitektur tidur normal, menyebabkan transisi berulang dari tidur dalam ke tidur ringan atau bangun, yang mengurangi efektivitas tidur dan menyebabkan kelelahan di siang hari.

Elektrookulogram (EOG) adalah pemantauan kedua, yang mendeteksi gerakan mata untuk membantu mengidentifikasi tahap tidur, terutama REM (Rapid Eye Movement). Pentingnya tahap REM tidak bisa diremehkan karena esensial untuk pemulihan kognitif dan memori. Gangguan tidur seperti OSA dapat mempengaruhi proporsi dan durasi tidur REM, sering dikaitkan dengan penurunan kinerja mental dan suasana hati pada hari berikutnya.

Pemantauan Aliran Napas adalah indikator langsung dari episode apnea dan hipopnea yang khas OSA. Pemantauan ini mendeteksi henti napas atau pengurangan aliran napas selama tidur, yang secara langsung mempengaruhi pertukaran gas dan menyebabkan penurunan saturasi oksigen. Sensor oksigen darah mengukur kadar oksigen dalam darah dan mendeteksi periode hipoksemia, menandakan seberapa serius OSA mempengaruhi fisiologi pasien. Hipoksemia berulang dapat berdampak negatif pada organ vital dan sistem tubuh, termasuk jantung dan otak.

Selain itu, Elektrokardiogram (EKG) memonitor aktivitas elektrikal jantung untuk mendeteksi adanya gangguan irama jantung, yang sering terjadi pada pasien OSA. OSA dikaitkan dengan sejumlah komplikasi kardiovaskular, termasuk fibrilasi atrium dan aritmia lainnya. Pengawasan EKG selama tidur membantu mengidentifikasi risiko ini lebih awal. Pemantauan tekanan darah berkala selama tidur juga penting, karena OSA dapat menyebabkan fluktuasi dalam tekanan darah, membantu mengidentifikasi hipertensi nokturnal sebagai faktor risiko penyakit kardiovaskular. Melalui komponen-komponen ini, PSG tidak hanya memvalidasi keberadaan OSA tapi juga menilai tingkat keparahannya dan efeknya terhadap kesehatan secara keseluruhan, yang penting untuk pengembangan rencana pengobatan yang efektif dan terpersonalisasi.

Tatalaksasana Obstructive Sleep Apnea (OSA)

Di Indonesia, diagnosis Obstructive Sleep Apnea (OSA) sering kali dimulai dengan wawancara medis mendalam dan pemeriksaan fisik. Melalui wawancara, dokter dapat mengumpulkan informasi tentang gejala yang dialami pasien seperti mengorok, sering terbangun malam hari, dan rasa lelah yang tidak kunjung hilang meskipun sudah tidur cukup. Pemeriksaan fisik mungkin meliputi penilaian struktur anatomi rongga mulut dan tenggorokan, pengecekan berat badan dan indeks massa tubuh (BMI), serta penilaian kondisi kesehatan umum untuk melihat adanya faktor risiko lain.

Untuk kasus ringan, seringkali dokter akan merekomendasikan perubahan gaya hidup sebagai langkah awal pengobatan. Perubahan ini termasuk mengurangi berat badan bagi pasien yang mengalami obesitas, menghindari konsumsi alkohol dan obat-obatan yang bisa menyebabkan relaksasi otot lebih lanjut saat tidur, mengoptimalkan posisi tidur (menghindari tidur telentang), dan menjaga jadwal tidur yang teratur untuk meningkatkan kualitas tidur.

Namun, bagi mereka yang memiliki keluhan yang berat yang tidak teratasi hanya dengan perubahan gaya hidup, atau bagi mereka yang diketahui berisiko tinggi seperti memiliki penyakit jantung, diabetes, atau riwayat stroke, evaluasi OSA melalui Polisomnografi (PSG) sangat direkomendasikan. PSG dapat memberikan gambaran yang lebih jelas dan akurat tentang keparahan OSA dan membantu dalam penentuan strategi pengobatan yang tepat.

Pasien yang tergolong memiliki OSA sedang hingga berat, berdasarkan hasil PSG, umumnya akan direkomendasikan untuk mendapatkan terapi Continuous Positive Airway Pressure (CPAP). CPAP adalah alat yang bekerja dengan menyediakan aliran udara bertekanan melalui masker yang dipakai saat tidur, yang membantu menjaga jalan napas tetap terbuka dan mencegah terjadinya henti napas saat tidur. Penting untuk dicatat bahwa preskripsi atau rekomendasi penggunaan CPAP serta penentuan seberapa besar tekanan yang diperlukan hanya dapat dilakukan setelah hasil PSG diperoleh. Memberikan CPAP tanpa hasil PSG yang akurat serupa dengan “menembak dalam kegelapan” karena tanpa data tersebut, tidak mungkin menentukan kebutuhan tekanan yang tepat yang dibutuhkan oleh setiap individu.

Obat yang Harus Dihindari dan Direkomendasikan pada Obstructive Sleep Apnea (OSA)

Dalam pengelolaan Obstructive Sleep Apnea (OSA), pemilihan obat harus dilakukan dengan hati-hati karena beberapa obat dapat memperburuk kondisi. Obat-obatan yang harus dihindari termasuk sedatif dan obat tidur seperti benzodiazepin (alprazolam, clobazam, diazepam, midazolam, lorazepam) dan non-benzodiazepin (misalnya, zolpidem). Obat-obat ini dapat meningkatkan relaksasi otot-otot di sekitar jalan napas, sehingga memperparah penyumbatan selama tidur. Selain itu, penggunaan opioid juga harus dibatasi atau dihindari karena dapat mengurangi kemampuan tubuh untuk merespons henti napas dan memperburuk hipoksemia. Antihistamin yang menyebabkan kantuk juga bisa mengurangi kemampuan pasien untuk mempertahankan jalan napas yang efektif, terutama pada individu dengan OSA yang parah.

Jika memang diperlukan, beberapa jenis antidepresan, seperti bupropion, yang tidak memiliki efek sedatif kuat, bisa digunakan untuk membantu mengelola depresi yang sering mengiringi OSA. Antidepresan ini dapat membantu memperbaiki suasana hati dan kualitas tidur, meskipun perlu dicatat bahwa penggunaannya harus sebagai bagian dari pendekatan terapi yang lebih luas. Penggunaan CPAP dan modifikasi gaya hidup masih harus dianggap sebagai pilar utama dalam pengelolaan OSA.

Beberapa obat dapat direkomendasikan untuk pengelolaan OSA dalam kondisi tertentu. Contohnya adalah penggunaan obat-obatan yang dapat membantu mengurangi kelelahan di siang hari, yang sering ditemui pada pasien OSA. Modafinil dan armodafinil adalah dua obat yang dapat membantu mengurangi rasa kantuk di siang hari bagi mereka yang mengalami OSA. Kedua obat ini memiliki efektivitas yang terbukti dalam meningkatkan kewaspadaan dan fungsi kognitif di siang hari, namun tidak mengobati penyebab utama OSA itu sendiri. Karena itu, obat-obatan ini sebaiknya digunakan sebagai terapi tambahan, bukan sebagai pengganti dari terapi utama seperti CPAP.

Pengobatan untuk OSA harus disesuaikan dengan kebutuhan individu dan di bawah pengawasan dokter. Penting untuk mendiskusikan semua opsi pengobatan, termasuk potensi risiko dan manfaat dari obat-obatan, dengan dokter atau spesialis tidur yang menangani, agar pengelolaan OSA dapat dilakukan secara efektif dan aman.

Kesimpulan

Mengingat dampak serius yang dapat ditimbulkan oleh Obstructive Sleep Apnea (OSA) terhadap berbagai aspek kesehatan, sangat penting bagi dokter di semua tingkatan layanan kesehatan untuk aktif melakukan skrining keberadaan OSA. Di tingkat layanan primer, deteksi dini OSA dapat memainkan peran krusial dalam mengurangi insidensi penyakit-penyakit berat seperti hipertensi, diabetes, dan penyakit jantung. Skrining awal ini bukan hanya membantu dalam mengidentifikasi dan mengelola OSA sebelum kondisi ini menyebabkan komplikasi lebih lanjut, tetapi juga membantu dalam mengimplementasikan strategi pencegahan primer yang efektif, yang dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien secara signifikan.

Pada tingkat layanan sekunder dan tersier, diagnosis yang akurat dan tatalaksana yang efektif dari OSA sangat krusial dalam mencegah perkembangan atau pemburukan kondisi kesehatan yang sudah ada. Pengelolaan OSA yang baik dapat mengurangi beban dari komplikasi kardiovaskular, memperbaiki manajemen diabetes, dan secara umum, meningkatkan hasil klinis bagi pasien dengan kondisi kronis. Oleh karena itu, pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan bagi para profesional kesehatan tentang pentingnya dan metode skrining OSA, serta pilihan pengobatan terkini, menjadi penting agar setiap tingkat layanan kesehatan dapat memberikan respons yang adekuat terhadap tantangan yang ditimbulkan oleh OSA.

 

Sumber : PERKI


manfaat-dan-resiko-bersepeda.png

Bersepeda adalah salah satu olahraga yang menawarkan banyak manfaat kesehatan. Aktivitas ini dapat meningkatkan kebugaran kardiovaskular, memperkuat otot, serta meningkatkan fleksibilitas dan keseimbangan tubuh. Bersepeda secara rutin juga dapat membantu menurunkan risiko penyakit jantung, tekanan darah tinggi, dan diabetes tipe 2. Selain itu, bersepeda juga bisa menjadi cara yang efektif untuk menjaga berat badan ideal dan memperbaiki kesehatan mental, karena olahraga ini membantu melepaskan hormon endorfin yang meningkatkan suasana hati.

Namun, saya ingin berbagi tentang pengalaman pasien saya, seorang pria berusia 45 tahun yang datang ke IGD dengan keluhan nyeri dada. Pasien tersebut awalnya mengeluh nyeri dada sekitar satu minggu sebelumnya, terutama saat melakukan aktivitas fisik. Namun, karena nyeri tersebut tidak terasa berat, ia mengabaikannya. Hingga suatu pagi, saat berlari pagi dengan istrinya, nyeri dadanya semakin berat, yang akhirnya membawanya ke IGD rumah sakit kami. Setelah pemeriksaan EKG, jelas terlihat bahwa pasien mengalami serangan jantung, dan dia segera dirujuk ke rumah sakit rujukan untuk tindakan Percutaneous Coronary Intervention (PCI). PCI adalah prosedur untuk membuka arteri yang tersumbat dengan menggunakan balon kecil atau stent untuk memperbaiki aliran darah ke jantung.

Saat menjalani PCI, diketahui bahwa pasien mengalami penyempitan pada dua pembuluh darah utama jantungnya. Setelah prosedur, keluhannya terkontrol, namun direncanakan untuk tindakan PCI berikutnya dalam beberapa bulan, dikenal sebagai staging PCI. Staging PCI sering dipilih pada kasus ST-Elevation Myocardial Infarction (STEMI) dibandingkan dengan complete revascularization dalam satu tindakan, karena melakukan revaskularisasi penuh sekaligus bisa meningkatkan risiko komplikasi selama prosedur dan juga dapat menyebabkan stress pada jantung yang masih dalam masa pemulihan.

Setelah prosedur tersebut, pasien bertanya kepada saya, “Dok, kenapa saya bisa kena serangan jantung? Padahal hidup saya sehat. Saya makan makanan sehat dan olahraga rutin. Setiap minggu saya bersepeda dari Padalarang ke Lembang, bahkan pernah bersepeda dari Bandung ke Pangandaran, tapi kenapa bisa kena penyakit jantung koroner?”

Saya menjelaskan bahwa bersepeda memang sangat baik untuk kesehatan, namun ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar manfaatnya optimal dan tidak justru menimbulkan risiko bagi kesehatan jantung.

  1.    Olahraga berlebihan dalam jangka waktu lama bisa berbahaya. Ketika seseorang melakukan olahraga intens seperti bersepeda dalam waktu lama, detak jantung dan tekanan darah akan meningkat untuk waktu yang lama. Kondisi ini bisa meningkatkan risiko gangguan pembuluh darah dan jantung karena tekanan mekanis yang tinggi pada dinding pembuluh darah dapat menyebabkan robekan kecil, yang pada akhirnya memicu serangan jantung atau stroke.
  2.    Olahraga dalam kondisi udara yang bersih sangat baik, namun berbahaya jika dilakukan saat polusi tinggi. Jika bersepeda dilakukan saat kualitas udara buruk, seperti saat indeks kualitas udara (AQI) menunjukkan angka yang tinggi, justru bisa berdampak negatif. Polusi udara, terutama partikel halus PM2.5, dapat masuk ke paru-paru dan aliran darah, menyebabkan peradangan di pembuluh darah, meningkatkan tekanan darah, dan memperburuk kondisi jantung. Penelitian menunjukkan bahwa paparan jangka panjang terhadap PM2.5 dapat meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular, termasuk serangan jantung dan stroke.

Untuk meminimalisir risiko dari bersepeda yang diuraikan diatas hal yang bisa anda lakukan ada beberapa, pertama ada bisa melakukan pemeriksaan TD sebelum bersepeda, kalau misalnya TD anda tergolong tinggi, misal >140/90 mmHg. Sebaiknya anda olahraga ringan saja, atau lebih baik obati dulu tekanan darahnya yang tinggi. Pastikan tekanan darah anda terkontrol sebelum berolahraga.

Kedua, pantau tekanan darah anda saat berolah raga. Hal ini bisa dilakukan dengan melakukan pemeriksaan tekanan darah saat anda dalam kondisi kecapaian saat olahraga / peak exercise. Detak jantung dan tekanan darah, memang normalnya akan meningkat jika anda olahraga. Kalau justru turun, kemungkinannya ada yang salah di jantung anda. Peningkatan tekanan darah sistolik di rentang 140-160 mmHg saat olahraga masih terbilang aman. Namun jika tekanan darah meningkat lebih dari itu, bahkan lebih dari >180 mmHg, itu sangat berisiko. Jika ada temuan seperti itu, lekas ke dokter dan obati dulu tekanan darahnya. Tekanan darah yang tinggi saat olahraga biasanya akan turun dengan sendirinya dalam waktu 15 menit setelah anda beristirahat. Jika masih tinggi, ini juga menandakan kemampuan tubuh anda dalam mengontrol tekanan darah sudah mulai bermasalah.

Ketiga, terkait kualitas udara, tinggal browsing internet dan lihat berapa AQI di tempat anda mau olahraga, jika tinggi sebaiknya jangan olahraga outdoor. Hindari olahraga disebelah jalan yang padat kendaraan, karena sudah jelas kendaraan bermotor itu menghasilkan polusi yang berbahaya untuk kesehatan.

Jadi, meskipun bersepeda memiliki banyak manfaat kesehatan, penting untuk melakukannya dengan bijak. Hindari olahraga berlebihan dan perhatikan kondisi lingkungan, terutama kualitas udara, untuk meminimalkan risiko dan memaksimalkan manfaat dari aktivitas ini. Semoga informasinya bermanfaat. Kalau ada pertanyaan ringan bisa disampaikan di kolom komentar.

Sumber : PERKI


Standar-Ruang-Operasi-di-Rumah-Sakit-Pentingnya-Dimensi-dan-Ketinggian.png

referensi : Permenkes No 40 tahun 2022

Dalam rangka menjamin kualitas pelayanan bedah yang aman dan sesuai standar nasional, setiap rumah sakit perlu memenuhi persyaratan teknis ruang operasi berdasarkan jenis tindakan dan kompleksitas prosedur. Persyaratan ini mencakup dimensi fisik ruangan, tinggi plafon, serta ruang yang cukup untuk sistem tata udara dan sirkulasi petugas medis.

Berikut kami sajikan ringkasan standar minimal luas dan ketinggian ruang operasi berdasarkan jenis ruang operasi yang umum diterapkan di rumah sakit:

Jenis Ruang Operasi Luas & Dimensi Ketinggian Lantai (floor to floor)
Operasi Minor ± 36 m² (6m × 6m × 3m) ≥ 4.7 m (Plafon 3m + ruang di atas plafon ≥1.7m)
Operasi Umum ≥ 42 m² (7m × 6m × 3m) ≥ 4.7 m (Plafon 3m + ruang di atas plafon ≥1.7m)
Operasi Mayor/Khusus ≥ 50 m² (7.2m × 7m × 3m) ≥ 4.7 m (Plafon 3m + ruang di atas plafon ≥1.7m)
Operasi Infeksi Mengikuti standar operasi umum Sama dengan operasi umum
Operasi Mata ≥ 25 m², tinggi plafon 3m Mengikuti standar operasi minor

Kenapa Standar Ini Penting?

  1. Keselamatan Pasien dan Tim Medis
    Ruang operasi yang terlalu sempit atau tidak memenuhi ketinggian minimum dapat mengganggu pergerakan, meningkatkan risiko infeksi, dan membatasi instalasi sistem sirkulasi udara yang optimal.
  2. Efisiensi Pelayanan dan Teknologi
    Ukuran ruang yang memadai memungkinkan pemasangan peralatan modern dan sistem HVAC (Heating, Ventilation, and Air Conditioning) yang sesuai standar ISO cleanroom (misalnya ISO 7 untuk ruang steril).
  3. Kepatuhan Regulasi dan Akreditasi
    Standar ini mendukung rumah sakit dalam memenuhi regulasi dari Kementerian Kesehatan dan lembaga akreditasi nasional, serta mempermudah proses penilaian mutu dan keselamatan pasien.

 

Sumber: Dr. Galih Endradita M


inhibitor-sglt-2.png

Bagi pasien diabetes yang juga memiliki riwayat penyakit jantung, mungkin dokter Anda sudah merekomendasikan pengobatan dengan inhibitor SGLT-2 (Sodium-glucose Cotransporter-2). Pada awalnya, obat ini diperkenalkan untuk membantu mengontrol gula darah pada penderita diabetes tipe 2. Namun, penelitian terbaru menunjukkan bahwa inhibitor SGLT-2 memiliki manfaat luar biasa dalam melindungi kesehatan jantung dan ginjal, khususnya pada pasien dengan penyakit jantung dan diabetes. Ada alasan ilmiah yang kuat di balik rekomendasi ini, terutama bagi mereka yang memiliki risiko tinggi komplikasi jantung.

Manfaat Inhibitor SGLT-2 untuk Pasien Jantung dan Diabetes

Sejumlah penelitian besar menunjukkan bahwa inhibitor SGLT-2 tidak hanya membantu menurunkan kadar gula darah tetapi juga memiliki efek kardioprotektif dan nefroprotektif (melindungi fungsi ginjal). Salah satu studi utama yang dipublikasikan oleh Zinman et al. pada tahun 2015 menunjukkan bahwa penggunaan empagliflozin, salah satu jenis inhibitor SGLT-2, dapat mengurangi risiko kematian akibat penyakit jantung hingga 38% pada pasien dengan diabetes dan penyakit jantung. Selain itu, penelitian ini juga menunjukkan bahwa obat ini dapat menurunkan risiko rawat inap akibat gagal jantung hingga 35%.

Selain empagliflozin, studi-studi serupa dengan dapagliflozin dan canagliflozin, dua inhibitor SGLT-2 lainnya, menemukan manfaat yang signifikan dalam mengurangi risiko rawat inap karena gagal jantung dan memperlambat penurunan fungsi ginjal. Bahkan, penelitian yang dipublikasikan dalam New England Journal of Medicine pada tahun 2019 menunjukkan bahwa dapagliflozin mampu menurunkan risiko kematian dan rawat inap akibat gagal jantung, baik pada pasien dengan atau tanpa diabetes.

Mengapa Inhibitor SGLT-2 Efektif Melindungi Jantung?

Inhibitor SGLT-2 bekerja dengan mengurangi kadar gula dalam darah melalui mekanisme yang unik, yaitu dengan meningkatkan ekskresi glukosa melalui urine. Efek ini tidak hanya membantu menurunkan gula darah, tetapi juga memberikan manfaat bagi jantung dan ginjal melalui beberapa mekanisme:

  1. Mengurangi Beban Jantung

Dengan mengeluarkan kelebihan glukosa dan natrium dari tubuh, inhibitor SGLT-2 membantu mengurangi volume cairan dalam tubuh. Hal ini mengurangi tekanan yang harus dihadapi jantung untuk memompa darah, yang pada akhirnya membantu mengurangi risiko gagal jantung, terutama pada pasien yang memiliki masalah pembengkakan atau retensi cairan.

  1. Efek Diuretik Osmotik

Inhibitor SGLT-2 juga memiliki efek diuretik ringan yang membantu mengurangi tekanan darah dan mengurangi volume cairan. Ini memberikan manfaat pada pasien gagal jantung dengan meningkatkan fungsi kardiovaskular tanpa menyebabkan kehilangan kalium berlebihan yang biasanya terjadi pada obat diuretik konvensional.

  1. Mengurangi Risiko Peradangan dan Stres Oksidatif

Penelitian menunjukkan bahwa inhibitor SGLT-2 dapat mengurangi peradangan dan stres oksidatif, yang sering kali menjadi pemicu terjadinya pembentukan plak pada pembuluh darah. Plak ini dapat menyumbat aliran darah dan menyebabkan serangan jantung atau stroke.

Rekomendasi dari Panduan ACC/AHA, ADA, dan ESC

Berdasarkan bukti yang kuat ini, berbagai asosiasi kardiologi dan diabetes internasional, seperti American College of Cardiology (ACC), American Diabetes Association (ADA), dan European Society of Cardiology (ESC), kini merekomendasikan penggunaan inhibitor SGLT-2 bagi pasien diabetes tipe 2 dengan penyakit jantung atau risiko kardiovaskular tinggi. Dalam pedoman terbaru, inhibitor SGLT-2 dianjurkan sebagai terapi lini pertama bagi pasien diabetes yang juga mengalami gagal jantung atau memiliki risiko komplikasi jantung tinggi, bahkan sebelum penambahan insulin atau obat penurun gula darah lainnya.

Selain itu, pedoman ini juga mendukung penggunaan inhibitor SGLT-2 pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal, karena obat ini terbukti memperlambat progresivitas penyakit ginjal. Penggunaan inhibitor SGLT-2 pada pasien yang memiliki diabetes dan penyakit jantung kini memiliki status Kelas I, yang berarti sangat dianjurkan berdasarkan bukti ilmiah yang kuat akan manfaatnya.

Penggunaan Inhibitor SGLT-2: Yang Perlu Diketahui Pasien

Sebagai dokter jantung, kami merekomendasikan inhibitor SGLT-2 sebagai bagian dari upaya untuk melindungi kesehatan jantung dan ginjal pasien dengan diabetes. Dalam menjelaskan manfaat inhibitor SGLT-2, kami menggunakan pendekatan SHARE dari CDC untuk memastikan pasien memahami keuntungan terapi ini. Berikut langkah-langkah pendekatan yang kami terapkan:

* SHARE the reasons: Kami selalu menjelaskan bahwa inhibitor SGLT-2 tidak hanya menurunkan gula darah, tetapi juga melindungi jantung dan ginjal. Kami berbagi hasil studi yang mendukung efektivitasnya, terutama dalam menurunkan risiko rawat inap dan komplikasi jantung.

* HIGHLIGHT positive experiences: Kami sering berbagi pengalaman pasien lain yang mengalami perbaikan signifikan setelah mengonsumsi obat ini. Banyak pasien yang merasa lebih stabil, lebih sedikit mengalami sesak, dan memiliki tekanan darah lebih baik setelah beberapa bulan terapi.

* ADDRESS patient questions: Banyak pasien bertanya tentang efek samping obat ini, seperti infeksi saluran kemih atau infeksi jamur. Kami menjelaskan bahwa efek ini bisa dicegah dengan menjaga kebersihan area genital dan minum cukup air, serta manfaatnya jauh lebih besar dibandingkan risikonya.

* REMIND patients that SGLT-2 inhibitors protect their heart and kidneys: Kami mengingatkan bahwa pasien diabetes dengan riwayat jantung berisiko tinggi mengalami komplikasi. Inhibitor SGLT-2 terbukti menurunkan risiko ini, dan menjadi upaya sederhana namun kuat untuk melindungi jantung dan ginjal mereka.

* EXPLAIN the potential costs of complications: Komplikasi jantung dan ginjal bisa membutuhkan perawatan intensif dan rawat inap jangka panjang, yang tentu saja berdampak pada biaya kesehatan. Dengan menggunakan inhibitor SGLT-2, pasien berinvestasi dalam kesehatan mereka untuk mengurangi risiko biaya jangka panjang akibat komplikasi.

 

Kesimpulan

Inhibitor SGLT-2 kini tidak hanya berperan sebagai obat penurun gula darah, tetapi juga sebagai pelindung jantung dan ginjal bagi pasien diabetes yang memiliki penyakit jantung. Penggunaan inhibitor SGLT-2 terbukti menurunkan risiko komplikasi jantung dan ginjal yang serius, memperbaiki kualitas hidup pasien, dan memberikan perlindungan tambahan yang sangat dibutuhkan oleh pasien dengan risiko tinggi.

Bagi Anda yang memiliki diabetes dan penyakit jantung, inhibitor SGLT-2 dapat menjadi langkah efektif dalam mengurangi risiko komplikasi. Dengan berkonsultasi pada dokter, Anda dapat memahami lebih jauh manfaat pengobatan ini dan bagaimana ia dapat membantu Anda dalam menjalani hidup yang lebih sehat.

 

Sumber: Perki


influenza.png

Mungkin banyak di antara pasien jantung yang saat konsultasi ke dokter disarankan untuk mendapatkan vaksinasi influenza. Kalau dipikir-pikir, flu kan tampaknya penyakit ringan, masa iya pasien jantung harus repot-repot vaksin juga? Nah, ternyata, ada alasan ilmiah yang kuat di balik rekomendasi ini.

Manfaat Vaksinasi Influenza bagi Pasien Jantung

Sejumlah penelitian besar telah menemukan bahwa vaksinasi influenza sangat bermanfaat bagi pasien dengan penyakit jantung. Salah satu studi meta-analisis yang dipublikasikan oleh Udell dkk. pada 2013 menunjukkan bahwa vaksinasi influenza mengurangi risiko kejadian kardiovaskular utama hingga 36% pada pasien yang memiliki penyakit jantung koroner. Hasil ini terutama terasa pada pasien yang baru saja mengalami serangan jantung, dimana vaksinasi bisa menurunkan risiko kejadian kardiovaskular sampai 45% dalam setahun pertama setelah vaksinasi​.

Selain itu, penelitian oleh Phrommintikul et al. pada tahun 2011 juga mengungkap bahwa vaksinasi influenza berperan dalam mengurangi kematian akibat penyakit kardiovaskular pada pasien dengan sindrom koroner akut. Dalam 12 bulan pertama setelah vaksinasi, risiko kematian akibat serangan jantung turun hingga 26%​.

Baru-baru ini, studi observasional di Inggris pada tahun 2023 melaporkan bahwa risiko kejadian kardiovaskular akut pertama menurun dalam 15–28 hari setelah vaksinasi influenza dan tetap lebih rendah hingga 120 hari. Ini menunjukkan bahwa vaksinasi bisa menjadi perlindungan yang signifikan terhadap kejadian jantung pada pasien dengan dan tanpa risiko kardiovaskular tinggi (Davidson et al., 2023)​.

Mengapa Influenza Mempengaruhi Kesehatan Jantung?

Infeksi influenza menempatkan tekanan tambahan pada jantung, terutama pada pasien dengan masalah kardiovaskular. Ketika tubuh melawan infeksi, respons inflamasi meningkat, yang dapat memicu peradangan pada pembuluh darah dan memengaruhi fungsi jantung. Influenza juga meningkatkan risiko terjadinya pembekuan darah, yang dapat menyebabkan serangan jantung atau stroke pada pasien dengan kerentanan kardiovaskular. Vaksinasi influenza membantu menurunkan risiko ini dengan mencegah infeksi flu, sehingga mengurangi kemungkinan komplikasi jantung serius pada pasien berisiko tinggi.

Rekomendasi dari Panduan ACC/AHA dan ESC

Menurut pedoman dari American College of Cardiology (ACC) dan American Heart Association (AHA), serta European Society of Cardiology (ESC), vaksinasi influenza sangat direkomendasikan untuk pasien dengan penyakit jantung dan risiko kardiovaskular lainnya. Rekomendasi ini diberi status Kelas I dalam pedoman mereka, yang berarti vaksinasi sangat dianjurkan karena terbukti efektif mengurangi risiko komplikasi serius pada pasien jantung. Vaksin influenza dapat membantu mencegah kejadian kardiovaskular seperti serangan jantung dan stroke yang dapat dipicu oleh infeksi influenza. Rekomendasi ini didasarkan pada data klinis yang menunjukkan manfaat vaksin dalam menurunkan angka kejadian kardiovaskular pada pasien berisiko tinggi​. Dengan vaksinasi influenza, pasien jantung dapat melindungi diri mereka dari komplikasi kardiovaskular yang serius, mengurangi angka rawat inap, dan mendukung pemulihan yang lebih stabil.

Rekomendasi Terbaru dari IDAI dan PAPDI

Pada tahun 2024, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dan Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) memperbarui panduan mereka terkait vaksinasi influenza, dengan penekanan khusus pada kelompok berisiko tinggi. IDAI merekomendasikan vaksinasi influenza untuk semua anak mulai usia 6 bulan ke atas, terutama bagi anak-anak yang memiliki kondisi medis kronis seperti asma atau gangguan imun yang membuat mereka rentan terhadap komplikasi serius akibat influenza. Rekomendasi ini sejalan dengan pedoman dari American Academy of Pediatrics (AAP), yang juga menganjurkan vaksinasi influenza tahunan pada anak-anak untuk mencegah risiko komplikasi terkait flu​.

Di sisi lain, PAPDI merekomendasikan vaksinasi influenza bagi orang dewasa dengan kondisi medis kronis, termasuk pasien dengan penyakit kardiovaskular, diabetes, dan penyakit paru-paru kronis, mengingat mereka lebih rentan terhadap komplikasi influenza yang serius. Panduan ini juga mendukung rekomendasi WHO yang menyarankan vaksinasi influenza tahunan pada populasi berisiko tinggi sebagai bagian dari upaya pencegahan kesehatan masyarakat global. Vaksinasi influenza dianggap sebagai tindakan preventif penting dalam mengurangi angka rawat inap dan kematian akibat komplikasi yang dipicu oleh flu, terutama selama musim influenza di mana risiko penularan meningkat​.

Jadi, Kenapa Dokter merekomendasikan Vaksinasi Influenza?

Dokter memiliki peran penting dalam mencegah penyebaran penyakit dan melindungi pasien dari risiko komplikasi serius. Vaksinasi influenza adalah salah satu tindakan pencegahan yang efektif, terutama bagi pasien dengan risiko tinggi seperti penderita penyakit jantung, dan itulah yang biasa saya lakukan sebagai seorang dokter. Dalam membantu saya merekomendasikan vaksinasi influenza untuk pasien, saya biasanya menggunakan pendekatan SHARE dari CDC (Centers for Disease Control and Prevention) untuk memastikan komunikasi yang efektif. Berikut adalah langkah-langkah yang saya terapkan:

  1. SHARE the reasons:Alasan pertama yang selalu saya sampaikan adalah manfaat vaksinasi influenza dalam melindungi pasien dan keluarga mereka dari penyakit flu. Saya sering berbagi pengalaman pribadi, misalnya, “Kami sekeluarga rutin melakukan vaksinasi influenza setiap tahun. Meskipun kadang anak-anak mengalami sedikit demam setelah divaksin, mereka lebih jarang sakit flu. Suatu ketika, kelas anak saya terkena flu, tetapi dia tetap sehat dan tidak ikut tertular.” Pengalaman ini menunjukkan bahwa vaksinasi tidak hanya melindungi diri sendiri tetapi juga dapat mengurangi risiko menulari orang-orang di sekitar kita.
  2. HIGHLIGHT positive experiences:Saya juga menekankan bahwa vaksinasi ini bukan hanya untuk diri sendiri, tapi juga sebagai langkah pencegahan bagi orang-orang yang kita sayangi. Contohnya, anak sulung saya pernah ikut rombongan perjalanan ke luar negeri, dan hampir semua teman-temannya dalam rombongan tersebut terkena flu hingga harus beristirahat selama beberapa hari. Namun, karena sudah vaksinasi, anak saya tidak mengalami gejala flu dan tetap sehat selama perjalanan. Kisah ini sering kali membantu pasien melihat bahwa manfaat vaksinasi influenza sangat nyata dalam mencegah penyakit, terutama ketika kita berada di lingkungan dengan risiko tinggi penularan.
  3. ADDRESS patient questions:Saya memahami bahwa banyak pasien memiliki pertanyaan atau keraguan tentang vaksin, seperti apakah vaksin influenza dapat menyebabkan flu. Saya selalu menjelaskan bahwa vaksin flu tidak mengandung virus hidup yang dapat menyebabkan penyakit. Efek samping yang muncul biasanya ringan, seperti nyeri di area suntikan atau sedikit demam, tetapi ini sangat berbeda dengan risiko komplikasi serius jika terkena flu, terutama pada pasien dengan kondisi kesehatan yang sudah lemah.
  4. REMIND patients that flu vaccines protect them and their loved ones:Saya mengingatkan bahwa pasien dengan kondisi jantung atau paru-paru lebih rentan terhadap komplikasi influenza yang bisa memicu serangan jantung atau gagal jantung. Influenza bisa memperburuk kondisi kesehatan yang sudah ada, dan vaksinasi tahunan menjadi langkah yang sederhana namun sangat penting untuk mengurangi risiko ini.
  5. EXPLAIN the potential costs of flu:Terakhir, saya menjelaskan bahwa infeksi influenza tidak hanya membuat kita merasa tidak nyaman tetapi juga dapat memicu biaya yang lebih besar. Misalnya, seorang pasien jantung yang terkena influenza bisa saja membutuhkan rawat inap akibat komplikasi, yang tentunya berbiaya tinggi. Vaksinasi influenza bisa menjadi investasi kesehatan yang murah untuk menghindari pengeluaran yang jauh lebih besar di kemudian hari.

Dengan pendekatan SHARE ini, saya berusaha memastikan bahwa pasien merasa nyaman, paham, dan lebih terbuka terhadap rekomendasi vaksinasi. Komunikasi yang efektif dan transparan membantu pasien melihat manfaat vaksinasi influenza, khususnya bagi mereka yang rentan, dan bagaimana vaksinasi ini bisa memberikan perlindungan tambahan jika terpapar influenza.

 

Sumber: Perki


Klasifikasi-Temuan-Mayor-dan-Temuan-Minor-dalam-Akreditasi-Rumah-Sakit.png

Definisi Temuan Mayor dan Temuan Minor

Temuan mayor (major finding) adalah temuan hasil survei akreditasi yang menunjukkan ketidaksesuaian serius terhadap standar yang ditetapkan.

Temuan ini bersifat kritis karena berpotensi menimbulkan dampak besar terhadap mutu pelayanan atau keselamatan pasien. Temuan mayor berkaitan dengan risiko tinggi, misalnya pelanggaran yang dapat mempengaruhi hak, keamanan atau kesejahteraan pasien secara langsung. Temuan mayor mencerminkan masalah besar atau kegagalan penting dalam memenuhi standar, sehingga jika tidak segera ditangani dapat mengancam keselamatan pasien atau keberlangsungan mutu pelayanan.

  • Misalnya, temuan mayor dapat berupa kegagalan sistemik dalam proses klinis atau manajemen rumah sakit yang dapat langsung mengancam keselamatan pasien atau melanggar persyaratan regulasi penting.

Temuan minor (minor finding) adalah ketidaksesuaian berskala lebih kecil atau terbatas. Temuan minor biasanya mencerminkan penyimpangan yang tidak langsung membahayakan pasien atau berdampak minimal terhadap kualitas layanan, namun tetap memerlukan perbaikan. temuan minor berkaitan dengan risiko rendah atau dampak kecil. Temuan minor biasanya merupakan penyimpangan kecil yang tidak menimbulkan risiko segera terhadap keselamatan pasien, namun tetap menunjukkan area yang perlu ditingkatkan demi kepatuhan penuh pada standar kualitas. Walaupun dampak temuan minor dianggap tidak signifikan secara langsung, semua temuan minor tetap harus diperbaiki sebagai bagian dari komitmen peningkatan mutu yang kontinu

  • Contohnya adalah kekurangan dalam dokumentasi atau prosedur yang biasanya sudah dijalankan, tetapi kadang tidak konsisten.

Kriteria Penentuan Temuan Mayor dan Minor menurut JCI dan ISQua

Joint Commission International (JCI) dan International Society for Quality in Health Care (ISQua)menekankan pentingnya penilaian risiko dan dampak dalam mengkategorikan temuan akreditasi. JCI, sebagai lembaga akreditasi rumah sakit internasional, umumnya tidak secara eksplisit memberi label “temuan mayor/minor” dalam laporan surveinya, tetapi mengimplementasikan pendekatan penilaian berbasis risiko terhadap temuan.

JCI

Para surveyor JCI difokuskan pada ketidaksesuaian yang signifikan dan berdampak luas. Hal-hal kecil yang terisolasi (one-time incidents) cenderung tidak dianggap sebagai temuan formal jika tidak berdampak pada pemenuhan standar, dan sering kali hanya disampaikan sebagai masukan lisan. Prinsip ini berarti bahwa JCI lebih menitikberatkan pada pola atau sistem yang bermasalah ketimbang insiden tunggal yang sifatnya minor. Bila suatu standar tidak terpenuhi, JCI akan mengeluarkan Requirement for Improvement (RFI) – yakni kewajiban perbaikan – terlepas dari apakah sifatnya mayor atau minor. Namun, tingkat keparahan temuan tersebut akan memengaruhi penilaian keseluruhan dan status akreditasi.

Misalnya,

  • Temuan yang menyangkut pelanggaran serius terhadap sasaran keselamatan pasien (seperti tidak menjalankan prosedur identification pasien atau time-out sebelum operasi) akan dianggap sangat berat dan memerlukan tindakan korektif segera, berpotensi memengaruhi keputusan akreditasi akhir. Sebaliknya, temuan yang lebih ringan (misalnya kekurangan kecil dalam dokumentasi medis) akan dicatat sebagai area untuk peningkatan tetapi mungkin tidak menghambat perolehan akreditasi selama segera diperbaiki.

ISQua

Selaku organisasi payung yang mengakreditasi badan-badan akreditasi, menyediakan kerangka kerja yang lebih eksplisit untuk klasifikasi temuan. Menurut pedoman ISQua, setiap ketidakpatuhan terhadap standar harus dinilai dari segi risikolow, medium, high.

Dilihat pula apakah standar yang dilanggar termasuk “core (inti)” atau bukan. Kombinasi tingkat risiko dan jenis standar inilah yang menentukan apakah gap/temuan tersebut digolongkan sebagai minor atau major.

Temuan dengan risiko tinggi atau menyangkut standar inti cenderung dikategorikan sebagai “major”, sedangkan temuan dengan risiko rendah pada standar non-inti dapat dianggap “minor”. Pedoman ISQua menegaskan yang terpenting adalah dampak (impact) dari temuan tersebut, bukan hanya berapa banyak elemen yang tidak terpenuhi. Artinya, kecil-besarnya cakupan temuan bukan satu-satunya faktor, melainkan potensi akibatnya terhadap mutu pelayanan.

Baik JCI maupun ISQua sama-sama menganut prinsip bahwa temuan yang memiliki implikasi serius terhadap keselamatan pasien atau kualitas pelayanan harus diprioritaskan sebagai temuan mayor.

contoh, dalam konteks program akreditasi oleh lembaga lain yang sejalan dengan prinsip ini, disebutkan bahwa

  1. suatu ketidaksesuaian dikategorikan major bila berpotensi langsung berdampak pada keselamatan siapapun yang dilayani.
  2. bila kepatuhan terhadap suatu kebijakan hanya kadang-kadang tidak konsisten namun umumnya dijalankan, hal tersebut lebih mendekati kategori minor.
  3. banyak kerangka akreditasi menerapkan aturan eskalasitemuan minor yang tidak diperbaiki dan ditemukan berulang pada survei berikutnya akan naik kelas menjadi temuan mayorkesinambungan dan pengulangan masalah juga menjadi kriteria penentu. JCI dan badan akreditasi lain biasanya akan menganggap pengulangan masalah minor sebagai indikasi kegagalan sistemik, sehingga diperlakukan layaknya temuan mayor karena menunjukkan organisasi tidak melakukan perbaikan yang dijanjikan.

Kriteria umum:

  1. tingkat risiko/dampak, 
  2. ruang lingkup (apakah masalahnya terisolasi atau meluas/systemic), 
  3. jenis standar yang terdampak (kritis/inti vs. pendukung), serta 
  4. frekuensi atau pengulangan temuan

faktor-faktor kunci penentuan temuan mayor vs. minor. 

Temuan mayor umumnya memenuhi satu atau lebih kriteria berikut:

  1. berdampak tinggi atau langsung pada keselamatan pasien,
  2. mencerminkan kegagalan pada proses inti, bersifat sistemik (bukan kasus terpencil), atau
  3. merupakan pengulangan dari temuan sebelumnya yang belum terselesaikan.

Temuan minor, sebaliknya, dicirikan oleh

  1. dampak rendah,
  2. lingkup terbatas atau insidental,
  3. tidak menyangkut hal kritis, dan
  4. mudah diperbaiki tanpa konsekuensi besar terhadap pasien.

Semua temuan, baik mayor maupun minor, wajib ditindaklanjuti,

  1. temuan mayor membutuhkan perhatian manajemen yang lebih segera dan sering kali tindakan korektif yang lebih mendasar (misalnya perombakan kebijakan atau sistem),
  2. temuan minor dapat ditangani dalam siklus perbaikan rutin.

Alasan Utama Klasifikasi Temuan Mayor vs Minor

Mengapa suatu temuan dikategorikan sebagai mayor atau minor? Alasan utamanya adalah untuk memprioritaskan upaya perbaikan sesuai tingkat risiko. Klasifikasi ini membantu organisasi dan surveyor akreditasi fokus pada masalah-masalah yang paling berpengaruh terhadap keselamatan dan mutu. Temuan mayor biasanya diberi label demikian karena menunjukkan celah kepatuhan yang dapat berakibat fatal atau berdampak serius.

Contohnya,

  1. jika sebuah rumah sakit gagal menerapkan prosedur identifikasi pasien secara konsisten, risiko tertukarnya pasien atau pemberian tindakan ke orang yang salah meningkat drastis – ini jelas isu keselamatan pasien yang kritis, sehingga temuan tersebut dianggap mayor.
  2. ketidakpatuhan terhadap protokol sterilitas ruang bedah yang bisa menyebabkan infeksi luas, atau alat medis penting (misal defibrillator, oksigen) yang tidak berfungsi akibat tidak pernah dikalibrasi adalah pelanggaran serius yang langsung memengaruhi keselamatan.
  3. Faktor lain, seperti pelanggaran hukum atau regulasi kesehatan, juga otomatis menjadi temuan mayor (misal: penggunaan obat kedaluwarsa, atau tenaga kesehatan tanpa lisensi yang sah).

suatu temuan dikategorikan minor apabila 

  1. alasan ketidaksesuaian tersebut dianggap tidak menimbulkan risiko besar dalam jangka pendek.
  2. Temuan minor sering kali bersifat administratif atau prosedural, misalnya dokumentasi yang kurang lengkap, keterlambatan sedikit dalam audit internal, atau kebersihan area non-klinis yang kurang optimal.

Alasan menggolongkannya sebagai minor adalah karena 

  1. dampaknya relatif kecil dan mudah dikoreksi tanpa konsekuensi langsung ke pasien.
  2. Kategori minor juga diberikan untuk isu yang terdeteksi secara insidental atau kasuistik, bukan pola yang meluas.

Misalnya, satu catatan medis pasien ditemukan belum ditandatangani dokter pada saat survei – ini merupakan penyimpangan, tapi terbatas pada satu kasus dan tidak mencerminkan kegagalan proses menyeluruh, sehingga cenderung dinilai sebagai minor.

Tujuan utama memilah mayor vs. minor adalah agar rumah sakit dapat mengalokasikan sumber daya perbaikan secara proporsional, dengan temuan mayor ditangani secepat dan seakurat mungkin, sementara temuan minor dimasukkan ke dalam rencana peningkatan yang terjadwal.

Pendekatan ini juga menghindarkan “alarm fatigue” atau kewalahan dalam menindaklanjuti temuan. Apabila setiap temuan diperlakukan sama beratnya, organisasi bisa kehilangan fokus. Dengan klasifikasi,

  1. temuan mayor menjadi semacam “alarm merah” yang membutuhkan respons manajemen puncak,
  2. temuan minor lebih seperti “peringatan kuning” untuk diselesaikan di tingkat operasional.

Namun, penting digarisbawahi bahwa kategori minor bukan berarti boleh diabaikan. Semua temuan minor harus ditutup dengan tindakan korektif, karena akumulasi temuan minor pun bisa mengindikasikan masalah sistemik. Alasan lain dikategorikannya temuan sebagai minor mungkin karena sifat standar yang dilanggar adalah standar non-inti. ISQua,

misalnya, membedakan standar inti (core) dengan yang pendukung; pelanggaran standar inti lebih cenderung diberi bobot mayor karena biasanya terkait langsung dengan mutu dan keselamatan, sedangkan standar pendukung (misal aspek administratif) jika dilanggar cenderung minor kecuali risiko tetap tinggi.

Contoh Temuan Mayor dan Minor di Berbagai Area Akreditasi

Untuk lebih memahami perbedaan keduanya, berikut adalah contoh-contoh temuan mayor vs. minor di beberapa area kunci akreditasi rumah sakit:

  • Keselamatan Pasien (Patient Safety):
    • Contoh temuan mayor: Tidak dilaksanakannya protocol keselamatan pasien yang fundamental. Misalnya,
      • kegagalan menerapkan identifikasi dua identitas pasien secara konsisten atau tidak melakukan prosedur time-out sebelum pembedahan. Pelanggaran ini berisiko langsung menyebabkan cedera pasien akibat kesalahan orang atau prosedur, sehingga dikategorikan temuan mayor.
    • Contoh temuan minor: Pelaksanaan sasaran keselamatan pasien umumnya baik tetapi ada insiden tunggal yang menyimpang, misalnya
      • formulir persetujuan tindakan medis (informed consent) pada satu kasus tidak terisi lengkap. Insiden terisolasi seperti ini, tanpa bukti pola berulang, akan dicatat sebagai temuan minor yang perlu diperbaiki tetapi tidak mengindikasikan kegagalan sistem secara keseluruhan.
  • Tata Kelola Klinis dan Pelayanan (Clinical Governance):
    • Contoh temuan mayor:Tidak ada mekanisme kredensialisasi atau penilaian kompetensi dokter dan perawat yang memadai. Misalnya
      • rumah sakit mengizinkan tenaga medis bekerja tanpa verifikasi kualifikasi atau ada dokter tanpa lisensi berlaku yang berpraktik – ini melanggar standar fundamental dalam tata kelola klinis dan membahayakan pasien, sehingga merupakan temuan mayor.
      • gagalnya komite etik dan mutu mengkaji insiden sentinel (kejadian serius), sehingga insiden berulang tanpa perbaikan sistemik.
    • Contoh temuan minor:Struktur tata kelola telah ada namun implementasi belum sempurna. Misalnya,
      • rapat komite medis atau komite mutu tidak selalu dilaksanakan sesuai jadwal (terdapat beberapa bulan terlewat) atau dokumentasi risalah rapat mutu kurang lengkap. Hal ini menunjukkan area yang perlu ditingkatkan, tetapi karena inti sistem tata kelola masih berjalan dan tidak langsung membahayakan pasien, maka dicatat sebagai minor.
  • Manajemen Risiko dan Kesinambungan Layanan:
    • Contoh temuan mayor:Tidak adanya program manajemen risiko yang formal di rumah sakit. Misalnya,
      • rumah sakit tidak memiliki rencana tanggap darurat bencana atau plan cadangan untuk kegagalan listrik/alat medis vital. Ketiadaan ini merupakan pelanggaran serius karena sewaktu-waktu dapat menyebabkan kekacauan dan risiko keselamatan besar bila terjadi insiden tak terduga – jelas sebuah temuan mayor.
      • insiden keselamatan pasien (KTD) tidak dilaporkan dan dianalisis sesuai prosedur, itu temuan mayor karena mengabaikan proses perbaikan sistem.
    • Contoh temuan minor:Program manajemen risiko ada namun ada elemen kecil yang terlewat. Misalnya,
      • simulasi kode biru atau latihan kebakaran (fire drill) sudah dijalankan, tetapi dokumentasi pelatihannya kurang lengkap atau satu dua unit kerja belum berpartisipasi. Ini kekurangan yang perlu dibenahi namun tidak menunjukkan kegagalan total program, sehingga digolongkan minor.
  • Pengendalian Infeksi dan Keselamatan Lingkungan:
    • Contoh temuan mayor:Breakdown serius dalam pengendalian infeksi – misalnya,
      • tidak adanya prosedur sterilisasi alat yang memadai atau outbreak infeksi tidak ditangani dengan investigasi dan tindakan pengendalian. Hal ini berdampak langsung pada keselamatan pasien dan staf (risiko infeksi meluas), menjadikannya temuan mayor. Juga, alat pelindung diri (APD) esensial tidak tersedia bagi staf di ruang isolasi akan dianggap temuan mayor karena risiko penularan tinggi.
    • Contoh temuan minor:Kepatuhan terhadap hand hygiene dan prosedur isolasi secara umum baik, tetapi ada area perbaikan kecil. Misal,
      • beberapa wastafel cuci tangan tidak memiliki poster enam langkah cuci tangan atau sesekali ditemukan petugas tidak patuh cuci tangan di area berisiko rendah. Insiden-insiden ini relatif ringan dan mudah dikoreksi melalui edukasi tambahan, sehingga merupakan temuan minor.
  • Manajemen Obat dan Peralatan Medis:
    • Contoh temuan mayor:Kesalahan serius dalam manajemen obat – contohnya
      • sistem double-check obat tinggi risiko (seperti insulin atau kemoterapi) tidak diterapkan sehingga terjadi nyaris cedera (near-miss) berulang. Ini adalah pelanggaran mayor karena bisa berakibat fatal bagi pasien.
      • kalibrasi peralatan medis kritikal tidak pernah dilakukan sehingga keakuratan alat diragukan (misal ventilator atau mesin radiologi tidak dikalibrasi) – situasi ini digolongkan major non-conformance karena berdampak pada keselamatan dan efektivitas layanan.
    • Contoh temuan minor:Sistem manajemen farmasi dan alat secara umum memenuhi standar, hanya ada kekurangan kecil. Misalnya,
      • label kedaluwarsa pada beberapa instansi obat di gudang kurang jelas atau satu-dua termometer rusak belum diganti segera. Ini dianggap minor, dengan catatan perbaikan harus dilakukan untuk mencegah akumulasi problem kecil menjadi besar.

Contoh-contoh di atas menggambarkan prinsip bahwa 

  1. temuan mayor berkaitan dengan kondisi yang materially affect (sangat mempengaruhi) keselamatan pasien atau mutu layanan,
  2. temuan minor berkaitan dengan hal-hal marginally atau berpengaruh kecil saja.

Semua contoh 

  1. temuan mayor menuntut tindakan korektif segera dan sering kali pembenahan proses secara menyeluruh,
  2. contoh temuan minor cukup ditangani melalui perbaikan operasional rutin dan monitoring agar tidak berulang.

Dalam praktik akreditasi, baik JCI maupun badan akreditasi lain (yang mengikuti pedoman ISQua) akan mencantumkan temuan-temuan tersebut dalam laporan survei dengan penekanan yang berbeda:

  1. temuan mayor biasanya disertai rekomendasi atau requirement wajib perbaikan dalam jangka pendek,
  2. temuan minor disertai saran perbaikan sebagai bagian dari peningkatan berkelanjutan (continuous improvement).

Kesimpulan

Klasifikasi temuan mayor vs. minor merupakan komponen penting dalam proses akreditasi rumah sakit modern. Dengan mengkategorikan temuan berdasarkan tingkat keparahan dan dampaknya, lembaga akreditasi membantu fasilitas pelayanan kesehatan fokus pada isu-isu yang paling kritis terlebih dahulu.

  1. Joint Commission International (JCI) menekankan pendekatan risk-based dalam menilai temuan, di mana hal-hal kecil yang terisolasi (minor) tidak diberi bobot berlebih agar perhatian tertuju pada celah besar yang mengancam keselamatan atau mutu.
  2. ISQua sebagai pemberi akreditasi bagi accreditors menetapkan bahwa penentuan temuan mayor/minor harus didasarkan pada penilaian risiko dampak dan sifat standar yang dilanggar. Intinya, temuan mayor didefinisikan oleh risiko tinggi dan dampak signifikan, sementara temuan minor oleh risiko rendah dan dampak minimal.
    1. Alasan utama suatu temuan dikategorikan mayor adalah potensi ancaman langsungnya terhadap pasien dan sistem,
    1. kategori minor karena penyimpangan bersifat terbatas dan mudah dikendalikan.

Pada akhirnya, tujuan akhir akreditasi adalah mendorong perbaikan berkelanjutan. Kategori mayor dan minor bukan dimaksudkan untuk “menghukum” rumah sakit, melainkan untuk mengarahkan prioritas perbaikan.

Temuan mayor memberikan sinyal perlunya tindakan cepat agar standar fundamental dipenuhi, sedangkan temuan minor mengingatkan area yang masih bisa disempurnakan demi mencapai kesempurnaan kualitas. Keduanya memegang peranan dalam siklus peningkatan mutu: dengan menangani temuan mayor, rumah sakit memastikan dasar keselamatan dan kualitas terpenuhi, sementara dengan menutup temuan minor, rumah sakit mengatasi detail-detail yang mendukung keunggulan layanan. Melalui pemahaman dan tindak lanjut terhadap kedua jenis temuan ini, rumah sakit dapat memenuhi standar akreditasi dari lembaga seperti JCI dengan lebih efektif sekaligus meningkatkan mutu pelayanan kesehatan secara menyeluruh.

 

Sumber: Dr. Galih Endradita M


Komunikasi-Efektif-antara-Surveior-dan-Rumah-Sakit-dalam-Akreditasi.png

Proses akreditasi rumah sakit menuntut komunikasi dua arah yang jelas antara tim survei akreditasi dengan manajemen dan staf rumah sakit. Surveior (penilai) dan pihak rumah sakit harus berkolaborasi untuk mencapai pemahaman bersama atas standar mutu dan keselamatan pasien. Namun dalam praktiknya ada berbagai kendala komunikasi yang harus diantisipasi agar akreditasi berjalan efektif dan mendorong budaya mutu.

Tantangan Komunikasi dalam Akreditasi

Berbagai hambatan komunikasi sering muncul dalam proses akreditasi. Salah satunya adalah resistensi terhadap perubahan dan batasan sumber daya, yang menurut teori Lewin dapat memunculkan isu komunikasiyang menghambat perubahan. Di samping itu, komunikasi internal yang buruk di rumah sakit – misalnya laporan mutu yang tidak disampaikan ke manajemen – dapat mengganggu pemahaman bersama. Studi kasus di RS menunjukkan bahwa kegagalan menyampaikan hasil analisis data kepada pimpinan mengindikasikan defisiensi dalam sistem komunikasi internal rumah sakit. Faktor lain adalah ketidaksamaan kekuasaan: kehadiran surveior seringkali menimbulkan rasa canggung atau takut pada staf rumah sakit, sehingga mereka enggan terbuka. Berdasarkan teori komunikasi interpersonal oleh Dale Carnegie, surveior yang “kurang nyaman” memberi umpan balik mungkin kesulitan memotivasi perubahan di rumah sakit. Perbedaan status ini dapat memperdalam rasa ketidaksetaraan dalam komunikasi, sebagaimana diilustrasikan oleh Wood – keterlibatan pihak ketiga (surveior) dapat memperparah perasaan tidak berdaya pasien dan staf jika komunikasi tidak didesain suportif. Tambahan pula, kesalahan istilah teknis atau prosedur dapat menimbulkan kesalahpahaman. Kesimpulannya, kendala komunikasi dalam akreditasi mencakup hambatan teknis, informasi, maupun aspek budaya, yang kesemuanya perlu diidentifikasi dan diatasi agar proses akreditasi efektif.

Strategi Meningkatkan Komunikasi

Untuk mengatasi kendala di atas, perlu diterapkan strategi komunikasi yang sistematis dan inklusif. Beberapa langkah kunci antara lain:

Pelatihan Komunikasi Surveior:

Surveior perlu memiliki kompetensi komunikasi interpersonal yang kuat. Keterampilan ini membantu mereka membangun hubungan kerja positif dengan pihak yang diaudit. Pelatihan khusus (misalnya prinsip Dale Carnegie) dapat mengajarkan surveior cara memberikan umpan balik konstruktif dan sensitif, sehingga meningkatkan kepercayaan diri dan memastikan pesan tersampaikan dengan baik.

Briefing Harian dan Konferensi Akhir:

Sesuai pedoman akreditasi, tim survei melaksanakan briefing harian untuk menjelaskan temuan sementara dan memberikan kesempatan klarifikasi bagi RS. Pada akhir survei diadakan exit conference untuk mendiskusikan hasil temuan dengan direksi RS. Format formal ini menjamin adanya dialog terbuka: surveior memaparkan ringkasan temuan, direksi dapat mengajukan pertanyaan, dan kedua pihak mendiskusikan rekomendasi tindak lanjut.

Keterbukaan dan Kolaborasi:

Komunikasi harus bersifat dua arah dan kolaboratif. Menurut John Maxwell, komunikasi terbuka, saling menghargai, dan kerjasama dalam mencapai tujuan bersama adalah unsur kunci dalam hubungan surveior–rumah sakit. Dengan kata lain, surveior tidak hanya sebagai pengawas, melainkan mitra simbiotik. Manajemen RS perlu menyiapkan forum diskusi (misalnya pertemuan koordinasi pra-survei, penyampaian materi akreditasi) untuk menyampaikan visi, sasaran mutu, dan kendala yang dihadapi. Begitu pula, surveior harus bersikap transparan dan profesional, menjelaskan maksud temuan tanpa memberi kesan menghakimi.

Keterlibatan Pemangku Kepentingan:

Melibatkan berbagai pihak (pimpinan RS, komite medik, perawat, dll.) dalam pembahasan akreditasi dapat memperkuat komunikasi. Teori perubahan organisasi menekankan pentingnya kolaborasi yang kuat dan partisipasi semua pemangku kepentingan (Kotter). Praktik baiknya, rumah sakit dan surveior bersama-sama merancang rencana kerja selama survei, sehingga harapan dan tanggung jawab jelas sejak awal. Pendekatan berbasis tim (tim akreditasi rumah sakit) juga membantu menyalurkan informasi ke seluruh unit layanan secara konsisten.

Penggunaan Instrumen Terstandar:

Menggunakan alat komunikasi standar dapat membantu. Misalnya, rumah sakit sering menerapkan metode SBAR (Situation-Background-Assessment-Recommendation) untuk pelaporan klinis. Meskipun ini contoh untuk komunikasi antar tenaga kesehatan, prinsipnya (pesan singkat, latar belakang, evaluasi, rekomendasi) dapat diadaptasi saat surveior menyampaikan temuan – memberikan informasi lengkap sekaligus sistematis. Di samping itu, institusi akreditasi seperti LIPA menyediakan pedoman wawancara dan checklist yang menjadi pedoman baku guna mengurangi kebingungan istilah.

Teknologi dan Media Komunikasi:

Pemanfaatan teknologi (misal aplikasi survei daring, email, platform berbagi dokumen) mempermudah pertukaran informasi. Komunikasi daring bisa digunakan untuk sosialisasi pra-survei atau pelaporan hasil sementara, sehingga mempercepat feedback. Marshall McLuhan menekankan bahwa medium mempengaruhi cara pesan diterima; dalam akreditasi modern, penggunaan sistem informasi manajemen mutu memungkinkan surveior mengunggah temuan dan rumah sakit melihatnya real time, memperbaiki hambatan logistik.

Studi Kasus Implementasi Komunikasi Efektif

Kasus:

Sebuah studi kasus di rumah sakit mengilustrasikan pentingnya komunikasi kolaboratif. Tim peningkatan mutu RS melibatkan direktur, ketua komite medik, dan staf keperawatan untuk menyusun indikator mutu dan mendiskusikan hasil survei bersama surveior. Hasilnya, surveior mampu memahami konteks riil rumah sakit dan memberikan rekomendasi yang tepat sasaran. Penulis studi tersebut menekankan bahwa memperkuat komunikasi dan kerja sama antar pemangku kepentingan (direksi, komite mutu, staf medis) sangat penting untuk menutup kesenjangan antara harapan standar dan kondisi lapangan. Dengan komunikasi terbuka tersebut, RS berhasil meningkatkan keterlibatan dalam program keselamatan pasien dan mutu layanan. Hal ini sejalan dengan temuan lain bahwa kolaborasi efektif antara surveior dan fasilitas kesehatan meningkatkan keterlibatan dalam keselamatan pasien, menciptakan pengalaman perawatan lebih positif dan hasil pasien yang lebih baik.

Kasus RSUD DS (2019):

Ketika tim LIPA mengakreditasi RSUD DS, kepemimpinan rumah sakit menempatkan peningkatan komunikasi sebagai salah satu sasaran keselamatan pasien utama. Bupati dan direktur RS menyambut tim survei dengan harapan masukan konstruktif dan dialog terbuka. Para pejabat RS menyampaikan keberhasilan penerapan Sasaran Keselamatan Pasien (termasuk “peningkatan komunikasi yang efektif”) sebagai motivasi tim survei. Setelah survei, dalam exit conference terlihat adanya diskusi dua arah yang baik: direktur RS aktif mengajukan pertanyaan dan tim survei memberi penjelasan detil. RSUD DS kemudian memperoleh predikat akreditasi sangat baik – contoh bahwa komunikasi proaktif dan transparan dapat mendukung keberhasilan akreditasi.

Faktor Individu Surveior:

Studi wawancara surveior akreditasi mengidentifikasi bahwa kemampuan komunikasi, integritas, dan keterampilan interpersonal merupakan faktor kunci keberhasilan seorang surveior. Surveior yang mampu berempati dan mendengarkan dengan baik lebih mudah membangun hubungan kerja positif. Sebaliknya, surveior yang kurang komunikatif cenderung menimbulkan ketidakpercayaan. Oleh karena itu, memilih surveior dengan kompetensi komunikasi yang baik dan senantiasa meningkatkan soft skills mereka adalah salah satu strategi penting.

Dampak Komunikasi Baik pada Akreditasi, Budaya Mutu, dan Keselamatan Pasien

Komunikasi yang efektif antara surveior dan rumah sakit berimplikasi langsung pada hasil akreditasi, budaya mutu, dan keselamatan pasien. Pertama, ketika surveior dapat menyampaikan temuan dan rekomendasi secara jelas serta manajemen RS merespons terbuka, tindak lanjut perbaikan dapat segera diimplementasikan. Komunikasi transparan membantu membangun kepercayaan dan akuntabilitas organisasi – “transparansi dalam komunikasi organisasi adalah kunci kepercayaan dan legitimasi”. Dengan demikian, hasil survei akreditasi tidak sekadar formalitas, melainkan menjadi instrumen peningkatan mutu berkelanjutan.

Kedua, budaya mutu di rumah sakit semakin kuat jika komunikasi antar stakeholder terjalin baik. Surveior yang bertindak sebagai mitra berdiskusi (bukan hanya pengawas) mendorong atmosfer kolaborasi. Teori-person centered care bahkan menyebut surveior sebagai agen perubahan: melalui komunikasi optimal mereka membantu mengatasi hambatan dan meningkatkan partisipasi staf dan pasien dalam keselamatan. Komunikasi semacam ini memupuk rasa kepemilikan bersama atas mutu, sehingga standar akreditasi lebih mudah dijalankan dalam praktek sehari-hari.

Ketiga, keselamatan pasien meningkat melalui komunikasi yang baik. Mis-komunikasi rawan menimbulkan kesalahan perawatan (misalnya salah identifikasi, salah dosis obat). Oleh karena itu, STARKES menetapkan “peningkatan komunikasi yang efektif” sebagai salah satu Sasaran Keselamatan Pasien. Surveior akreditasi dapat membantu menginternalisasi sasaran ini: misalnya dengan menanyakan kepada rumah sakit tentang prosedur read-back  atau penggunaan alat bantu komunikasi antar tim (SBAR). Sehingga komunikasi efektif tersebut tak hanya jadi persyaratan akreditasi, tetapi nyata meningkatkan keamanan pasien di lapangan.

Secara empiris, rumah sakit yang berhasil memfokuskan perbaikan komunikasi sering mencatat penurunan insiden keselamatan dan kenaikan kepuasan pasien. Pelopor studi menunjukkan bahwa surveior akreditasi dapat memfasilitasi hubungan komunikasi antara pasien, keluarga, dan staf medis, memastikan partisipasi aktif pasien dalam keputusan perawatan. Hal ini sejalan dengan teori bahwa komunikasi terbuka dan inklusif antara semua pihak berkontribusi positif pada hasil pasien dan mutu layanan.

Berdasarkan kajian literatur dan studi kasus di Indonesia, membangun komunikasi efektif antara surveior akreditasi dan rumah sakit sangat krusial. Tantangan seperti hambatan budaya, teknis, dan ketimpangan kekuasaan harus diatasi dengan strategi yang tepat – mulai dari pelatihan surveior, pertemuan rutin, hingga pendekatan kolaboratif. Kasus-kasus di lapangan menunjukkan bahwa ketika kedua belah pihak berkomunikasi terbuka dan saling menghargai, efektivitas akreditasi meningkat; rekomendasi survei diterima dengan konstruktif; serta budaya mutu dan keselamatan pasien di rumah sakit semakin menebal. Oleh karenanya, upaya peningkatan komunikasi harus menjadi bagian integral dari proses akreditasi di Indonesia, agar tujuan akreditasi – mutu pelayanan yang tinggi dan keselamatan pasien terjamin – dapat tercapai dengan optimal.

 

Sumber: Dr. Galih Endradita M


Klasifikasi-Rumah-Sakit-PONEK-Panduan-Penanganan-Kegawatdaruratan.png

referensi Kepmenkes 560 tahun 2025

Dalam upaya meningkatkan kualitas penanganan kegawatdaruratan obstetri dan neonatal di Indonesia, Kementerian Kesehatan menetapkan klasifikasi Rumah Sakit PONEK menjadi tiga tingkat berdasarkan kemampuan pelayanan: RS PONEK Spesialistik, Subspesialistik, dan Multi Subspesialistik. Setiap kategori memiliki perbedaan dalam hal kompleksitas pelayanan maternal dan neonatal, kualifikasi sumber daya manusia, tingkat intensif care unit (ICU/NICU), serta ketersediaan alat kesehatan dan obat-obatan. Tabel berikut menyajikan perbandingan mendetail antara ketiganya, sehingga dapat menjadi acuan bagi rumah sakit dan pemerintah daerah dalam perencanaan pengembangan layanan PONEK secara bertahap dan terstruktur

Aspek RS PONEK Spesialistik RS PONEK Subspesialistik RS PONEK Multi Subspesialistik
Kemampuan Pelayanan Kegawatdaruratan maternal & neonatal secara komprehensif Spesialistik + komplikasi medis obstetri & neonatal secara komprehensif Subspesialistik + diagnostik & tata laksana komplikasi kompleks tinggi
Jenis Pelayanan Maternal 18 kondisi: hipertensi, preeklamsia, anemia, infeksi, kelainan janin, plasenta, tali pusat, air ketuban, dll. Tambahan 12 kondisi: eklamsia komplikasi, jantung mWHO 3–4, ARDS, autoimun, plasenta akreta fokal, janin 3+ Tambahan 11 kondisi kompleks: CRRT, ECMO, keganasan, gangguan jiwa berat, plasenta akreta kompleks
Jenis Pelayanan Neonatal Bayi >1800g, >34 minggu, bantuan napas, transfusi tukar, tindakan bedah sederhana Bayi >1000g, >28 minggu, HFO, ventilator, asfiksia, apnea Bayi <1000g, <28 minggu, rare disease, ECMO, NO, bedah kompleks
SDM Kesehatan Dokter Obgin, Anak, Anestesi, Bidan, Perawat maternitas & neonatal gawat darurat Tim Spesialistik + Fetomaternal, Neonatolog, Anestesi obstetri, Perawat komplikasi tanpa kompleksitas tinggi Tim Subspesialistik + Anak subspesialis, Anestesi kardiovaskular & pediatrik, Perawat high care & neonatus kompleks
Tingkat ICU ICU Level I ICU Level II ICU Level III
Tingkat NICU NICU Level IIIa NICU Level IIIb NICU Level IIIc / IIId
Alat ICU Khusus Ventilator, suction, EKG, defibrilator, syringe pump, bedside monitor Kapnografi, hemodialisis, EEG, bronchoscopy, CRRT, ICP monitor ECMO, Swan-Ganz, TPE, ROTEM, TCI, alat kompresi dada, thromboelastogram
Alat NICU Khusus Inkubator, CPAP, phototherapy, syringe pump, nasal mask, pulse oximeter HFO, nitric oxide, NIRS, EEG, alat akses vaskular Ventilator invasive/non-invasive, USG neonatal, CRRT, radiologi portable, conjoined twins care
Obat Obat maternal & neonatal esensial, dapat ditambah sesuai kebutuhan Sama, dapat ditambah sesuai kebutuhan Sama, dapat ditambah sesuai kebutuhan

 

Sumber: Dr. Galih Endradita M


Persyaratan-Rumah-Sakit-dengan-Kemampuan-Layanan-PONEK-di-Indonesia-dalam-Kepmenkes-Nomor-560-Tahun-2025.png

  1. Persyaratan umum RS PONEK terdiri atas:
    • Kriteria RS PONEK meliputi:
      • mampu menyelenggarakan PONEK selama dua puluh empat jam (24 jam) setiap hari;
      • mampu melakukan resusitasi, stabilisasi, transportasi rujukan dan perawatan dalam penanganan kasus gawat darurat dengan pendekatan tim;
      • mampu melakukan penanganan operatif seksio sesarea emergensi kategori I secara cepat dan tepat;
      • mampu menyelenggarakan pelayanan transfusi darah;
      • mampu melakukan penanganan obstetri dan neonatal emergensi secara komprehensif; dan
      • melaksanakan kolaborasi dan jejaring dengan fasilitas pelayanan kesehatan lain.
    • Kebijakan meliputi:
      • adanya komitmen pimpinan rumah sakit untuk menyelenggarakan PONEK;
      • keputusan pimpinan rumah sakit tentang tim PONEK yang berisi nama tim PONEK, uraian tugas dan tanggung jawab, serta pendelegasian; dan
      • memiliki Standar Prosedur Operasional (SPO).
  2. Persyaratan khusus RS PONEK terdiri atas:
    • Sarana
      • Sarana dalam penyelenggaraan PONEK dua puluh empat jam (24 jam) setiap hari dibutuhkan untuk melakukan tindakan obstetri dan neonatal pada kasus kegawatdaruratan obstetri dan neonatal.
      • Sarana dalam penyelenggaraan PONEK paling sedikit meliputi:
    • ruang tindakan kebidanan di instalasi gawat darurat;
      • ruang bersalin;ruang operasi;
      • ruang pemulihan;ruang rawat inap;
      • ruang rawat perinatologi (level 2 / special care nursery, neonatal high care unit);
      • bank darah atau unit pengelola darah;
      • ruang perawatan intensif (ICU dan NICU);
      • ruang laboratorium yang memiliki kemampuan minimal
        • pemeriksaan darah dan urin rutin,
        • pemeriksaan hemostasis,
        • penanda sepsis,
        • pemeriksaan gula darah,
        • bilirubin,
        • elektrolit, dan AGD;
        • Gas medis (oksigen dan udara); dan Ambulans untuk rujukan maternal dan neonatal.
      • Ruang perawatan intensif (ICU dan NICU) sebagaimana angka 8) dan kemampuan pelayanannya disesuaikan dengan jenis RS PONEK sebagai berikut:
        • ICU level I dan NICU level IIIa pada RS PONEK Spesialistik;
        • ICU level II dan NICU level IIIb pada RS PONEK Subspesialistik; dan
        • ICU level III dan NICU level IIIc atau level IIId pada RS PONEK Multi Subspesialistik
    • Selain ruang tersebut diatas, RS PONEK dapat menyediakan ruang sesuai kebutuhan untuk menunjang penyelenggaraan PONEK meliputi ruang laktasi, dapur susu, dan sarana dan prasarana pendukung lainnya.
    • Prasarana
      • Prasarana yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan PONEK paling sedikit meliputi gas medik, oksigen dan alat untuk pengaturan fraksi oksigen (FiO2).
  3. Alat Kesehatan
    • Alat kesehatan yang diperlukan oleh setiap RS meliputi:
      • Peralatan maternal esensial paling sedikit terdiri atas:
        • Set resusitasi dewasa;Oksimeter digital;
        • Ekstraktor vakum manual dan elektrik;
        • Forsep;
        • Aspirasi Vakum Manual (AVM) dilengkapi dengan kanula nomor 5, 6, 7, 8, 9, 10, 12;
        • Set kuretase;
        • Bedside monitor;
        • Fetal Doppler;
        • Set partus;
        • Set Seksio Sesarea;
        • Set laparotomi;
        • Set Histerektomi;
        • Set Hemoragi Post Partum (HPP);
        • Ultrasonografi (USG);
        • Kardiotokografi (CTG);
        • Infusion pump;
        • Syringe pump
        • Ventilator mekanik dewasa;
        • Trolley emergency; dan
        • Set Preeklampsia
      • Peralatan neonatal esensial paling sedikit terdiri atas:
        • Peralatan resusitasi neonatus:
          • Radiant warmer / infant warmer
          • Resusitator T-piece
          • Bag valve mask (Balon mengembang sendiri)
          • Oksigen blender
          • Selang oksigen / ConnectorMasker wajah / face mask dengan berbagai ukuran
          • Laringoskop neonatus bilah lurus dengan 3 ukuran
          • Pipa ETT uncuffed ukuran 2,5 – 4
          • FrLaringeal Mask Airway (LMA) ukuran No 1
          • Kateter penghisap no 6, 8, 12
          • FrMesin penghisap
        • Inkubator
        • Terapi sinar
        • Monitor kardiorespirasi
        • Pulse oximetry beserta sensorBubble CPAP / Nasal CPAP beserta sirkuit
        • Interface Nasal CPAP
        • Ventilator beserta sirkuit
        • Infusion pump
        • Syringe pump
        • Feeding Tube, no 3.5 Fr, 5 Fr, 6 Fr, 8
        • FrKateter Vena no 24 dan 26
        • FrKateter umbilikal no. 3.5, dan 5
        • FrUmbilikal set
        • Spuit 1 cc untuk obat tertentu
        • Stetoskop neonatus
        • Sumber Daya Manusia Kesehatan
    • RS PONEK harus mempunyai sumber daya manusia kesehatan dalam bentuk tim PONEK yang mempunyai kompetensi tatalaksana kegawatdaruratan maternal neonatal. Tim PONEK bertugas dalam shift sehingga selalu siap melakukan pengelolaan pasien selama dua puluh empat jam (24 jam) setiap hari.
  4. Obat
    • Obat yang diperlukan dalam penyelenggaraan PONEK meliputi obat maternal esensial dan obat neonatal esensial.
    • Obat-Obatan Maternal
      • Obat emergensi maternal:
        • Epinefrin/adrenalin inj 1 mg/ml
        • Larutan garam fisiologis:
          • NaCl 0.9% / larutan
          • Ringer asetat/RLMgSO4 20% dan 40% inj
          • Natrium Bikarbonat inj 8,4 %
        • Dopamin inj 40 mg/ml
        • Norepinefrin inj 1 mg/ml
        • Dobutamin inj 25 mg/ml, 50 mg/ml
        • Nifedipin Tab 10 mg tab, tab lepas lambat 30 mg
        • Asam Traneksamat, inj 100 mg/ml
        • Nicardipin inj 1 mg/ml
        • Furosemide inj 10 mg/ml
        • Kalsium Glukonat 10% inj
        • Oksitosin inj 10 IU/ml
        • Ergometrin inj 0,2 mg/ml
        • Misoprostol tab 200 mg
        • Insulin inj
        • Larutan mengandung karbohidrat :
          • Dextrose 40%
          • Ampisilin inj 1000 mg
          • Gentamisin inj 40 mg/ml
          • Metronidazole, inj 5 mg/ml
          • Deksametason, inj 5 mg/ml
    • Obat-Obatan Neonatal
      • Adrenalin / Epinefrin inj 1 mg/ml
      • Larutan mengandung karbohidrat :
        • Dextrose 10%
      • Larutan mengandung karbohidrat:
        • Dextrose 40%
      • Dopamin inj 40 mg/ml
      • Dobutamin inj 25 mg/ml, 50 mg/ml
      • Noradrenalin inj 100 mcg/ml
      • Larutan garam fisiologis :
        • KCl 7,46%
      • Larutan garam fisiologis :
        • NaCl 0,9% 25 ml,
        • 100 ml
      • Larutan garam fisiologis :
        • NaCl 3%
      • Sodium Fosfat / Potassium Fosfat 216 mg/ml
      • Kalsium Glukonat inj 10%
      • MgSO4 inj 20% dan 40%
      • Morphin inj 10 mg/ml
      • Atropin inj 0,25 mg/ml
      • Midazolam inj 1 mg/ml dan inj 5 mg/ml
      • Fenobarbital inj 50 mg/ml
      • Natrium Bikarbonat inj 8,4%
      • Antibiotika berdasarkan pola kuman di RS masing-masing
      • Multivitamin parenteral
      • Asam amino 6%, 10%
      • Lipid 20 %
      • Aminofilin inj 25 mg/ml
      • Kafein Sitrat inj 10 mg/ml
      • Surfaktan*
      • Vit K1 injeksi

Keterangan:
Selektif untuk RS PONEK Spesialistik dengan ketersediaan dokter dengan kompetensi di bidang neonatologi

Sumber: Dr. Galih Endradita M


Copyright by Markbro 2025. All rights reserved.