Apakah-Obat-Hipertensi-Merusak-Ginjal-Mitos-atau-Fakta.png

Hipertensi atau tekanan darah tinggi merupakan silent killer, yang berpotensi meningkatkan risiko terkena penyakit jantung, stroke, dan berbagai penyakit kronis lainnya yang dapat menyebabkan kematian. Penderita hipertensi, selain harus menjalankan pola hidup sehat, juga harus minum obat secara rutin untuk menurunkan tekanan darah sistolik ke 120-129 mmHg dan tekanan darah diastolik di angka 80-84 mmHg. Namun, masih banyak orang yang mempertanyakan apakah minum obat hipertensi setiap hari dapat merusak ginjal.

 

Faktanya, hipertensi yang tidak terkendali justru dapat menyebabkan kerusakan pada ginjal. Sebaliknya, kerusakan pada ginjal lambat laun akan bermanifestasi menjadi tekanan darah tinggi. Menurut Ketua Indonesian Society for Hypertension (INASH), dr. Tunggul Situmorang, SpPD-KGH, obat anti hipertensi, obat anti gula, dan obat kolesterol berfungsi untuk menjaga dan melindungi ginjal dari kerusakan. Selain itu, penderita hipertensi memang diwajibkan minum obat secara rutin karena merupakan tata laksana pengobatan penyakit hipertensi, yang diberikan sesuai dengan resep dokter.

 

Penyakit Ginjal dan Hipertensi

Ginjal adalah sepasang organ tubuh berbentuk kacang yang berada di bagian bawah punggung. Berfungsi untuk membersihkan dan menyaring limbah dan racun dalam darah, mengatur keseimbangan elektrolit, cairan dan asam basa dalam tubuh, serta memfasilitasi metabolisme vitamin D.

Jika fungsi ginjal terganggu, tubuh akan mengalami berbagai komplikasi penyakit, seperti anemia, gangguan elektrolit dan penumpukan racun. Penyebab gangguan atau penyakit ginjal ini bisa bermacam-macam, namun faktor risiko mengalami kerusakan ginjal akan semakin besar, jika seseorang

  • Menderita hipertensi, diabetes, penyakit jantung, dan penyakit hati.

  • Berasal dari keluarga dengan riwayat penyakit ginjal.

  • Terdapat kelainan pada bentuk ginjalnya.

  • Pernah mengalami infeksi kandung kemih dan infeksi ginjal yang berulang.

  • Memiliki kelebihan berat badan atau obesitas.

  • Pola makannya tinggi garam atau gula.

  • Jarang minum air putih, sehingga mempertinggi risiko kekurangan cairan.

  • Daya tahan tubuhnya lemah atau menderita penyakit autoimun.

Jika gangguan atau kerusakan pada ginjal ini tidak ditangani dengan baik, fungsi ginjal akan terus menurun secara bertahap, hingga akhirnya menyebabkan gagal ginjal.

Menjaga Kesehatan Ginjal

Fungsi ginjal yang telah menurun atau mengalami kerusakan tidak dapat dipulihkan kembali menjadi normal. Yang dapat dilakukan hanyalah memperlambat penurunan fungsi ginjal melalui perawatan dan pengobatan yang tepat. Oleh karenanya, penting untuk menjaga kesehatan ginjal sejak dini untuk menghindari kerusakan atau penurunan pada fungsi ginjal.

 

Beberapa cara yang bisa dilakukan untuk menjaga kesehatan ginjal adalah

1. Mencukupi Kebutuhan Air

Selain berfungsi menyaring limbah dan racun dalam darah, ginjal juga berperan dalam produksi urin. Minum cukup air putih akan meringankan kerja ginjal dalam memproduksi urin. Selain itu juga, membantu membersihkan zat-zat beracun dalam ginjal yang dikeluarkan melalui urin.

Pastikan Anda mencukupi kebutuhan air minimal 2 liter atau 8 gelas setiap hari, yang diperoleh dari air putih dan cairan lainnya. Namun, tentunya cairan yang terbaik adalah air putih.

2. Makan Makanan Bergizi

Salah satu penyebab limbah dan racun menumpuk dalam darah adalah makanan tidak sehat yang kita konsumsi, seperti makanan tinggi lemak, gula dan garam, atau makanan olahan. Pola makan sehat dengan gizi seimbang adalah salah satu cara terbaik untuk menjaga kesehatan ginjal.

Perbanyak konsumsi buah dan sayuran, serta makanan yang baik untuk kesehatan ginjal, seperti biji-bijian, makanan tinggi Omega-3, makanan yang kaya akan vitamin B6, B9, B12, C dan D, serta makanan dengan kandungan ion seimbang.

3. Menjaga Tekanan Darah

Karena tekanan darah tinggi merupakan salah satu penyebab gangguan kesehatan ginjal, maka penting bagi kita untuk selalu menjaga tekanan darah tetap stabil. Caranya, dengan membatasi asupan garam maksimal 1 sendok teh (2000 mg) per hari, mengelola stress, istirahat dan tidur cukup, serta menghindari berbagai faktor risiko yang dapat memicu tekanan darah tinggi.

Lakukan penanganan dan pengobatan jika Anda menderita penyakit atau gangguan kesehatan yang dapat menimbulkan tekanan darah tinggi, agar tidak menyebabkan komplikasi pada ginjal dan organ tubuh lainnya.

4. Menjaga Berat Badan

Obesitas atau kelebihan berat badan akan membuat ginjal bekerja lebih keras dalam menyaring limbah atau sisa-sisa racun makanan, dan berpotensi menurunkan fungsi ginjal. Menjaga berat badan ideal adalah salah satu cara menjaga kesehatan ginjal.

5. Rutin Bergerak dan Berolahraga

Olahraga dan beraktivitas fisik dapat melancarkan peredaran darah, sehingga ginjal dapat menyaring racun dalam darah secara optimal. Olahraga secara rutin juga dapat membantu menjaga tekanan darah dan berat badan ideal, yang menunjang kesehatan ginjal.

6. Minum Obat dan Vitamin Sesuai Aturan

Konsumsi obat-obatan, vitamin dan suplemen yang tidak sesuai dengan aturan dan anjuran dokter dapat mengakibatkan overdosis, yang dapat merusak organ-organ tubuh, termasuk ginjal.

7. Berhenti Merokok

Rokok mengandung zat-zat beracun yang dapat menghambat sirkulasi darah, sehingga ginjal harus bekerja lebih keras untuk menyaringnya. Merokok juga dapat memicu kenaikan tekanan darah yang berdampak buruk pada ginjal.

8. Hindari Konsumsi Alkohol

Minum minuman beralkohol secara berlebihan dapat berdampak pada kinerja ginjal dalam menjaga keseimbangan cairan dalam tubuh. Kondisi ini lambat laun akan mengakibatkan penurunan fungsi ginjal dan mempertinggi risiko gagal ginjal.

 

Menjaga Tekanan Darah

Sebagaimana telah dijelaskan, tekanan darah tinggi merupakan salah satu penyebab kerusakan atau gangguan pada ginjal. Namun, hipertensi atau tekanan darah tinggi ini tidak dapat disembuhkan secara total. Yang bisa kita lakukan adalah mengendalikannya dengan menjalankan pola hidup sehat dan rutin minum obat anti hipertensi, sesuai anjuran dokter.

 

Adapun obat-obatan yang biasa diresepkan oleh dokter kepada penderita hipertensi antara lain

1. Diuretik

Obat yang membantu ginjal membuang kelebihan garam dan cairan dari pembuluh darah ke dalam urin. Berkurangnya jumlah cairan dalam pembuluh darah akan menurunkan tekanan darah. Contoh obat yang bersifat diuretik ini adalah hydrochlorothiazide dan indapamide.

2. Antagonis Kalsium

Antagonis kalsium atau calcium-channel blockers (CCBs) bekerja dengan memperlambat detak jantung dan melebarkan pembuluh darah, melalui perlambatan masuknya kalsium ke dalam sel-sel jantung dan dinding pembuluh darah. Hal ini akan membuat otot jantung lebih rileks dan pembuluh darah lebih lebar, sehingga tekanan darah akan berkurang. Contohnya, amlodipine dan nifedipine.

3. ACE Inhibitor

Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor adalah golongan obat yang bekerja dengan menghambat enzim yang dibutuhkan untuk memproduksi hormone angiotensin II, yang dapat menyempitkan pembuluh darah. Dengan berkurangnya jumlah hormon angiotensin II, tekanan darah akan berkurang dan kerja jantung menjadi lebih ringan.

ACE Inhibitor juga dapat membantu mencegah kerusakan pada ginjal dengan mengurangi tekanan pada pembuluh darah di ginjal.

4. ARB (Angiotensin-2 Receptor Blocker) 

Hampir mirip dengan ACE Inhibitor, golongan obat ini bekerja dengan menghambat respon hormone angiotensin II. Hal ini akan membuat pembuluh darah melebar dan aliran darah lebih lancar, sehingga jantung lebih mudah memompa darah dan tekanan darah akan menurun. Menghambat respon angiotensin II juga membantu mencegah kerusakan pada jantung dan ginjal.

Contoh jenis obat-obatan ini adalah irbesartan, valsartan, losartan and candesartan.

5. Penghambat Renin

Golongan obat ini bekerja dengan menghambat kerja enzim renin, yang dihasilkan oleh sel-sel dalam ginjal. Jika renin bekerja secara berlebihan, tekanan darah akan naik tanpa terkendali. Contoh obat penghambat renin adalah aliskiren.

Efek Samping Minum Obat Darah Tinggi

Meski demikian, konsumsi obat darah tinggi harus mengikuti anjuran dari dokter, meliputi jenis obat yang diminum, cara minum obat, dosis yang digunakan, dan berapa kali minum dalam sehari. Jika konsumsi obat mengikuti anjuran dokter dan aturan minumnya, seharusnya tidak menimbulkan efek samping, walaupun diminum setiap hari secara rutin.

 

Namun, pada beberapa orang efek samping ringan bisa dialami, seperti berikut ini

  • Sakit perut, mual atau sembelit.

  • Sakit kepala.

  • Mual.

  • Mengantuk.

  • Lelah.

  • Kaki atau pergelangan kaki bengkak.

  • Wajah memerah atau merasa panas/hangat.

  • Palpitasi atau detak jantung lebih cepat

Segera konsultasikan pada dokter atau tenaga kesehatan jika mengalami efek samping untuk mendapatkan perawatan dan tindakan. Namun, Anda tidak boleh berhenti minum obat tanpa rekomendasi dari dokter dan tenaga kesehatan.

Kembali ke pertanyaan apakah obat hipertensi merusak ginjal? Jawabannya, tentu tidak benar. Jika telah berkonsultasi dengan dokter, obat anti hipertensi yang diresepkan aman untuk diminum setiap hari secara rutin.

Sumber : AyoSehat


Pemahaman-Hukum-Rumah-Sakit-di-Indonesia.png

Konteks Hukum Rumah Sakit di Indonesia

Rumah sakit sebagai institusi pelayanan publik beroperasi dalam kerangka hukum yang sangat kompleks dan dinamis. Setiap aktivitas rumah sakit harus tunduk pada berbagai regulasi nasional seperti Undang-Undang Rumah Sakit, Undang-Undang Praktik Kedokteran, Undang-Undang Kesehatan, hingga peraturan turunan dari Kementerian Kesehatan dan pemerintah daerah.

Selain itu, rumah sakit juga harus mematuhi ketentuan hukum umum, seperti hukum ketenagakerjaan, hukum perlindungan konsumen, perlindungan data pribadi, dan peraturan pengadaan barang/jasa pemerintah (PBJP) bila rumah sakit dikelola secara publik.

Sebagai pimpinan tertinggi, direktur rumah sakit harus memiliki pemahaman yang memadai terhadap lanskap hukum ini agar setiap kebijakan dan keputusan operasional tidak melanggar hukum, serta dapat dipertanggungjawabkan secara administratif maupun pidana dan perdata.

Rumah sakit juga wajib memiliki Hospital By Law (HBL) atau Peraturan Internal Rumah Sakit yang mengatur hak dan kewajiban manajemen serta staf medis. HBL berisi struktur organisasi, kewenangan pimpinan, proses pengambilan keputusan, mekanisme pembinaan dan penegakan disiplin, serta hubungan rumah sakit dengan pihak luar.

Selain itu, terdapat Medical Staff By Law (MSBL) yang merupakan dokumen hukum untuk mengatur hak dan tanggung jawab tenaga medis, kualifikasi, proses kredensial dan re-kredensial, kode etik profesi, serta sistem evaluasi kinerja klinis.

Dokumen-dokumen ini menjadi bukti nyata bahwa rumah sakit telah memiliki sistem hukum internal sesuai standar governance dan sangat penting dalam proses akreditasi rumah sakit.

Tanggung Jawab Hukum Direktur Rumah Sakit

Direktur rumah sakit memiliki tanggung jawab hukum yang melekat dalam pelaksanaan tugasnya, mencakup:

  • Aspek administratif: perizinan, akreditasi, legalitas operasional.
  • Aspek kepegawaian: kontrak kerja, disiplin pegawai, hubungan industrial.
  • Aspek layanan: keselamatan pasien, mutu pelayanan, perlindungan hak pasien.
  • Aspek keuangan dan pengadaan: transparansi, akuntabilitas, audit.

Dalam konteks operasional, direktur bertanggung jawab memastikan legalitas operasional rumah sakit, meliputi:

  1. Legalitas Perizinan
    • Izin pendirian dan izin operasional.
    • Persyaratan bangunan, lingkungan (AMDAL/UKL-UPL).
    • Izin praktik tenaga kesehatan (SIP, STR).
    • Sertifikat akreditasi yang diperbarui berkala.
  2. Legalitas Perjanjian
    • Setiap kerjasama (layanan medis, outsourcing, pendidikan, pengadaan barang/jasa) harus memiliki perjanjian tertulis yang sah secara hukum.
    • Perjanjian harus berlandaskan prinsip kehati-hatian (prudential), keadilan, dan perlindungan hukum yang setara.
  3. Etika dan Profesionalisme
    • Tenaga medis terikat oleh kode etik profesi dan hukum bioetik.
    • Implementasi informed consent, kejujuran dalam diagnosis dan tindakan, serta kerahasiaan pasien adalah bagian penting etika medis yang harus dijaga.

Risiko dan Sengketa Hukum dalam Operasional Rumah Sakit

Rumah sakit dapat menghadapi risiko hukum dari pasien, keluarga, mitra kerja, maupun pihak internal (tenaga medis/pegawai). Sengketa hukum dapat timbul akibat:

  • Kelalaian medis.
  • Pelanggaran hak pasien.
  • Kesalahan administrasi.
  • Pelanggaran etika profesi.
  • Masalah kontrak pengadaan/kerjasama.

Oleh karena itu, perlu dibangun sistem manajemen risiko hukum melalui:

  1. Identifikasi Risiko: Daftar potensi kejadian hukum (malpraktik, wanprestasi, pelanggaran etika, ketidakpatuhan regulasi).
  2. Evaluasi & Mitigasi: Analisis dampak dan kemungkinan, penyusunan SOP, pelatihan hukum, pembentukan tim kepatuhan/advokasi.
  3. Sistem Pelaporan & Investigasi: Mekanisme pelaporan insiden hukum internal, investigasi awal oleh komite hukum/tim etik, dokumentasi sistematis.
  4. Penyelesaian Sengketa:
    • Pendekatan non-litigasi (mediasi, arbitrase).
    • Persiapan proses litigasi bila diperlukan dengan pendampingan hukum profesional.

Strategi Pencegahan dan Penyelesaian Masalah Hukum

Beberapa strategi kunci yang dapat diterapkan:

  1. Menyusun dan meninjau regulasi internal rumah sakit secara berkala.
  2. Melaksanakan pelatihan hukum dasar & etika profesi bagi tenaga kesehatan dan manajemen.
  3. Mengembangkan sistem pelaporan insiden/aduan hukum secara transparan.
  4. Melibatkan tim hukum/konsultan hukum dalam kontrak, pengadaan, perizinan.
  5. Menyediakan mekanisme mediasi internal dan komunikasi efektif untuk mencegah eskalasi sengketa.

Integrasi Aspek Hukum dalam Tata Kelola Operasional

Aspek hukum harus menjadi bagian integral dari tata kelola operasional rumah sakit. Direktur wajib memastikan bahwa semua kegiatan—mulai dari pemasaran, pelayanan pasien, pengelolaan aset, teknologi informasi, hingga pengadaan—dijalankan sesuai prinsip compliance (kepatuhan hukum) dan good governance (tata kelola yang baik).

Kepatuhan hukum juga merupakan indikator penting akreditasi rumah sakit dan bentuk perlindungan terhadap risiko hukum serta reputasi. Maka dari itu:

  • Regulasi internal yang kuat.
  • SOP berbasis hukum.
  • Budaya hukum di lingkungan rumah sakit.

merupakan investasi jangka panjang untuk keberlanjutan rumah sakit.

Beberapa regulasi yang wajib dipatuhi antara lain:

  1. Program JKN dan peraturan BPJS Kesehatan (kapitasi, INA-CBGs, pelaporan klaim).
  2. Peraturan akreditasi rumah sakit (KARS, LARS) terkait standar hukum dan etika.
  3. Peraturan daerah (perpajakan, izin bangunan, zonasi, pengelolaan limbah medis).
  4. Regulasi surveilans dan pelaporan penyakit menular sesuai instruksi Kemenkes dan Dinas Kesehatan.

 

Sumber : Dr. Galih Endradita M


nano-teknologi.png

Di masa lalu, obat untuk kanker sering kali ibarat meriam yang meledakkan segalanya tanpa pandang bulu. Sel jahat memang bisa hancur, tapi sel sehat pun ikut tumbang. Rambut rontok, tubuh melemah, harapan pun sering tergerus bersama waktu. Namun kini, dunia medis menyongsong babak baru yang lebih halus, lebih cerdas, dan lebih manusiawi: nanoteknologi.

Bayangkan sebuah kendaraan mikroskopik, sepuluh ribu kali lebih kecil dari sehelai rambut, melaju di dalam tubuh manusia. Ia bukan sekadar penumpang pasif, tapi pembawa misi: mengantar obat langsung ke sarang sel kanker, tanpa menyentuh jaringan sehat di sekitarnya. Itulah janji smart nanocarriers sistem pengantar obat berbasis nanopartikel yang menjadi tulang punggung revolusi terapi kanker masa kini.

Nanoteknologi bukan sekadar kisah laboratorium. Ia telah masuk ruang praktik klinis lewat liposom berisi doxorubicin (Doxil ®), dendrimer pembawa gen, hingga nanopartikel emas yang bisa menghantarkan panas dan membakar tumor dari dalam. Semua ini bukan fiksi ilmiah, tapi kenyataan yang kini sedang diuji, dipoles, dan diperluas manfaatnya di seluruh dunia.

Teknologi ini bekerja seperti seorang intelijen. Ia tahu ke mana harus pergi, mengenali target, lalu melepaskan senjata hanya saat tiba di lokasi. Dengan bantuan stimuli-responsiveness reaksi terhadap pH, suhu, atau enzim khas sel kanker obat hanya dilepas bila musuh sudah dalam jangkauan. Tak lagi ada luka samping tak perlu, tak ada lagi pertaruhan besar antara nyawa dan kualitas hidup.

Namun, seperti semua hal canggih lainnya, tantangan tak bisa dihindari. Efek Enhanced Permeability and Retention (EPR) yang diandalkan untuk “parkir” di tumor, ternyata tidak selalu konsisten. Sistem imun bisa menganggap nanopartikel sebagai penyusup, dan tumor yang terlalu padat bisa jadi benteng yang sulit ditembus. Karenanya, para ilmuwan kini merancang nanopartikel yang bisa menyamar dengan pelapis seperti PEG atau bahkan menggunakan membran sel manusia agar tak dikenali musuh.

Lebih canggih lagi, nanoteknologi kini memasuki era theranostics perpaduan terapi dan diagnosis dalam satu partikel. Bayangkan satu nanopartikel yang bisa menunjukkan keberadaan kanker melalui pencitraan, lalu langsung menyerangnya. Ini bukan hanya efisiensi, tapi simbol betapa medis masa depan akan sangat personal dan presisi.

Tapi pertanyaan besar tetap menggantung: siapa yang akan mendapatkan akses ke teknologi ini? Saat biayanya tinggi dan ketersediaannya terbatas, nanomedisin bisa menjadi simbol ketimpangan baru. Maka, di tengah gegap gempita inovasi, suara keadilan tak boleh dilupakan. Inovasi hanya akan bermakna bila bisa dirasakan semua kalangan.

Di antara gelombang perubahan ini, nanoteknologi bukan hanya solusi teknis, tapi simbol harapan: bahwa pengobatan bisa lebih cerdas, lebih lembut, dan lebih peduli pada manusia secara utuh. Ia sekecil debu, tapi menyimpan kekuatan sebesar harapan.

Dari partikel kecil itu, bisa lahir sebuah masa depan di mana kanker bukan lagi kutukan melainkan tantangan yang bisa ditaklukkan, dengan lembut dan pasti.

 

Sumber : AyoSehat


buah-durian.png

Tak ada buah yang lebih kontroversial daripada durian. Dihujat karena baunya, dipuja karena rasanya. Tapi siapa sangka, durian bukan sekadar santapan musiman yang dinanti, melainkan pintu masuk menuju terapi rasa, sejarah, dan bahkan spiritualitas. Durian bukan sekadar buah, tapi dunia itu sendiri.

Durian (Durio zibethinus) bukan sekadar buah biasa. Ia termasuk dalam keluarga Bombacaceae (kini digabung dengan Malvaceae) dengan genus Durio yang terdiri dari 28 spesies, 19 di antaranya endemik di Kalimantan. Nama “zibethinus” diambil dari kisah Georg Eberhard Rumphius, ahli botani Jerman yang melihat penduduk Ambon menggunakan aroma durian untuk menjebak musang (zibetto dalam bahasa Latin). Dari sekian banyak spesies, hanya 9 yang dagingnya layak konsumsi, seperti Durio dulcis (durian lahung) dan Durio kutejensis (lai). Di Indonesia, durian lokal seperti Bawor (Jawa Tengah) atau Sitokong (Papua) menjadi kebanggaan daerah.

Taksonomi

Durian berasal dari genus Durio, dalam keluarga Malvaceae. Ada sekitar 30 spesies durian, namun hanya sekitar 9 yang bisa dimakan. Durian paling terkenal tentu Durio zibethinus, yang dijual secara luas di Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Taksonomi sederhananya:
•    Kingdom: Plantae
•    Order: Malvales
•    Family: Malvaceae
•    Genus: Durio
•    Spesies: Durio zibethinus

Prasasti Sejarah: Jejak Duri di Relief Candi dan Catatan Penjajah

Durian berasal dari Asia Tenggara dan telah tumbuh liar di hutan Kalimantan dan Sumatera sejak zaman purba. Bukti sejarah paling awal tentang durian berasal dari tulisan dalam bahasa Melayu kuno dan catatan perjalanan para penjelajah Cina dan Eropa.
Durian juga telah menjadi bagian budaya Nusantara sejak abad ke-8. Relief Candi Borobudur menggambarkan durian sebagai buah persembahan untuk raja, dijajakan di pasar, dan dibawa bersama manggis atau pisang. Prasasti Kayumwungan (824 M) juga mencatat keberadaannya sebagai simbol kemakmuran.
Di dalam Kitab Negarakertagama dan prasasti Sriwijaya, durian disebut sebagai hidangan istana. Di masa itu, pesta durian menjadi ajang prestise. Jika sekarang pesta durian digelar di pinggir jalan, dulu ia digelar di taman raja dengan gamelan sebagai pengiring.
Pada abad ke-15, catatan Ma Huan, penerjemah Cheng Ho, menyebutkan buah “liu lian” di Jawa. Ketika penjelajah Eropa seperti Pieter Scipio van Ostende (1687) melintasi Bogor, mereka menemukan jalan dipenuhi pohon durian—sebuah pemandangan yang masih bisa dirasakan di Tanah Baru (dulu Parung Angsana). Namun, mereka kerap keliru membedakan durian dengan sirsak, yang dijuluki “nangka Belanda”.

Filosofi: Raja Buah yang Memecah Belah

Durian mengajarkan filosofi yang unik. Jangan menilai dari luar. Kulitnya tajam dan mengintimidasi, tapi dalamnya lembut, manis, dan beraroma. Dalam budaya Jawa dan Melayu, durian menjadi simbol keseimbangan hidup — keras di luar, lembut di dalam, bau menusuk tapi rasa menenangkan. Ia menjadi metafora untuk orang-orang yang berkarakter kuat namun berhati hangat.
Julukan “raja buah” diberikan oleh naturalis Alfred Russel Wallace, yang memujinya sebagai “kesempurnaan” rasa meski aromanya kontroversial. Di Thailand, durian melambangkan kemewahan; di Malaysia, simbol persatuan. Tapi di Indonesia, durian lebih dari sekadar buah—ia adalah ikon kebersamaan. Tradisi makan durian di pinggir jalan atau kebun menjadi ritual sosial yang mengikat komunitas, meski baunya bisa membuat orang terbelah: antara yang tergoda atau kabur!

Jenis dan Klasifikasi: Dari yang Mahal hingga yang Mistis

Durian punya banyak “kerabat” luar biasa. Di Indonesia, terdapat berbagai varietas durian, seperti: Durian Montong, Petruk, Otong, Musang King lokal (Sumatera), Si Dodol (Kalimantan), dan Lai (Durio kutejensis). Di Malaysia dan Thailand, ada durian Musang King, D24, D101, Monthong, Kradumthong. Di seluruh Asia Tenggara, terdapat puluhan varietas lokal yang tak kalah lezat, seperti durian merah Banyuwangi atau durian pelangi dari Papua.
Durian termahal di dunia adalah Kanyao dari Thailand, pernah terjual Rp789 juta per buah karena rasa manisnya yang seimbang dan kelangkaan (hanya 3-4 buah per pohon). Sementara Khantarak, durian vulkanik Thailand, dijuluki “lava durian” karena ditanam di tanah bekas letusan gunung berapi. Indonesia punya J-Queen dari Banyumas, yang harganya Rp14 juta per buah karena rasanya seperti paduan kacang dan mentega. Di tingkat lokal, durian Musang King (Malaysia) atau Petruk (Jepara) menjadi favorit pecinta kuliner.

Kandungan Zat: Surga Nutrisi dalam Duri

Satu porsi durian (100 gram) mengandung 153 kkal, 27,9 gram karbohidrat, dan 3,5 gram serat. Vitamin C-nya (53 mg) setara dengan jeruk, sementara kaliumnya (601 mg) membantu mengatur tekanan darah. Senyawa sulfur seperti 3,5-dimetil-1,2,4-trithiolane memberi aroma khas, sementara triptofan (asam amino penyebab kantuk) menjelaskan mengapa makan durian bikin ngantuk. Asam amino triptofan juga berkontribusi pada perasaan bahagia. Uniknya, durian juga mengandung antioksidan polifenol yang 15 kali lebih kuat daripada alpukat!
Selain itu, durian juga kaya akan vitamin B1 dan B6, mineral seperti magnesium dan zat besi, serat. Semua zat aktif ini memberikan manfaat fisiologis seperti antioksidan, anti-inflamasi, hingga peningkatan energi.

Manfaat Kesehatan: Dari Jantung hingga Ranjang

Penelitian membuktikan durian bukan sekadar camilan. Seratnya mendukung pencernaan dan mencegah kanker usus. Kalium dan magnesiumnya menjaga kesehatan jantung dengan menurunkan kolesterol jahat (LDL). Vitamin C-nya meningkatkan imunitas, sementara triptofan membantu penderita insomnia. Bahkan, durian disebut sebagai afrodisiak alami karena vitamin B6 dan kaliumnya memperbaiki sirkulasi darah—termasuk ke organ intim. Studi di Malaysia juga menunjukkan ekstrak daun durian efektif menurunkan demam.

Terapi dan Dosis: Bijak Menikmati Sang Raja

Penelitian menunjukkan bahwa durian memiliki potensi, seperti: menurunkan tekanan darah karena kandungan potasiumnya, menjadi sumber pigmen alami dari bijinya untuk makanan fungsional dan terapi pewarna non-sintetik, membantu detoksifikasi karena serat tinggi dan sifat antiradikal bebas.
Terapi durian bukan berarti hanya makan durian lalu sembuh, tapi menggunakan elemen dari durian (buah, biji, bahkan kulitnya) dalam pengobatan alternatif dan makanan fungsional. Terapi ini bisa menjadi bagian dari pendekatan holistik dan alami.
Meski menyehatkan, durian tak boleh dikonsumsi berlebihan. Dosis aman untuk orang sehat adalah 1-2 biji sehari (sekitar 100-200 gram). Penderita diabetes harus membatasi hingga 1 biji kecil karena indeks glikemiknya sedang (49-58). Ibu hamil disarankan konsultasi dokter karena risiko diabetes gestasional.

Pantangan dan Bahaya: Saat Duri Menjadi Racun

Durian segar umumnya aman, tetapi biji mentahnya mengandung saponin dan tannin yang beracun jika dikonsumsi mentah. Dalam jumlah besar, durian tinggi kalori dan bisa memicu peningkatan gula darah atau tekanan darah pada penderita hipertensi atau diabetes.
Orang dengan gangguan ginjal, hati, atau jantung disarankan membatasi durian. Konsumsi durian dengan alkohol sangat tidak dianjurkan karena memperlambat metabolisme alkohol dan bisa berbahaya. Selain itu, senyawa sulfur dalam durian menghambat enzim pencerna alkohol, memicu mual hingga jantung berdebar.
Durian yang berbau menyengat asam, atau warna daging berubah mencolok (kecoklatan), bisa menandakan fermentasi berlebihan atau kontaminasi.
Beberapa varietas langka seperti Durio graveolens (durian merah) juga berisiko menyebabkan alergi. Di Filipina, durian Durio testudinarum dikenal sebagai “durian kura-kura” karena bijinya mirip cangkang—namun dagingnya aman selama diolah tepat.

Pantangan dan Bahaya: Saat Duri Menjadi Racun

Durian segar umumnya aman, tetapi biji mentahnya mengandung saponin dan tannin yang beracun jika dikonsumsi mentah. Dalam jumlah besar, durian tinggi kalori dan bisa memicu peningkatan gula darah atau tekanan darah pada penderita hipertensi atau diabetes.
Orang dengan gangguan ginjal, hati, atau jantung disarankan membatasi durian. Konsumsi durian dengan alkohol sangat tidak dianjurkan karena memperlambat metabolisme alkohol dan bisa berbahaya. Selain itu, senyawa sulfur dalam durian menghambat enzim pencerna alkohol, memicu mual hingga jantung berdebar.
Durian yang berbau menyengat asam, atau warna daging berubah mencolok (kecoklatan), bisa menandakan fermentasi berlebihan atau kontaminasi.
Beberapa varietas langka seperti Durio graveolens (durian merah) juga berisiko menyebabkan alergi. Di Filipina, durian Durio testudinarum dikenal sebagai “durian kura-kura” karena bijinya mirip cangkang—namun dagingnya aman selama diolah tepat.

Kuliner: Kreasi Lezat dari Daging hingga Kulit

Durian tak cuma disantap segar. Durian dapat diolah menjadi berbagai minuman segar nan lezat, seperti: jus, kopi durian, milkshake, bahkan wine durian. Di Sumatera, tempoyak (durian fermentasi; sambal durian) jadi masakan tradisional di Melayu hingga ke Thailand Selatan sebagai bumbu khas. Es krim durian, brownies durian, dodol durian, atau pancake durian adalah hidangan modern yang amat digemari. Di Thailand, durian digoreng jadi keripik, sementara di Malaysia, diolah jadi lempuk (kue lengket). Bahkan kulit durian bisa direbus untuk teh herbal, meski rasanya pahit. Untuk pencinta alkohol, ada koktail durian yang dicampur rum—tapi ingat pantangannya!

Masa Depan: Durian sebagai Obat dan Komoditas Global

Penelitian terbaru mengungkap potensi durian sebagai antikanker. Senyawa asam maslinat dalam durian terbukti menghambat sel kanker payudara dan paru-paru. Di Jepang, ekstrak durian digunakan dalam suplemen anti-penuaan. Sementara itu, permintaan ekspor durian Indonesia ke Tiongkok terus meningkat—terutama varietas premium seperti Monthong. Melalui sentra produksi di Medan, Kalimantan, dan Jawa, durian siap menjadi “emas hijau” Nusantara.
Melalui agroforestri yang baik seperti di lereng Gunung Merapi, Indonesia berpotensi menjadi pusat terapi dan konservasi durian dunia.

Durian, Warisan yang Harus Dilestarikan

Dari relief Borobudur hingga meja makan modern, durian telah menjadi saksi bisu sejarah kuliner dan budaya Indonesia. Ia bukan sekadar buah, tapi simbol kekayaan alam yang perlu dijaga—mulai dari pelestarian varietas langka hingga pengolahan berkelanjutan. Jadi, lain kali Anda menikmati sepotong durian, ingatlah: dalam setiap bijinya tersimpan warisan ribuan tahun, menunggu untuk diteruskan ke generasi mendatang.


diabetes-muda.png

Kencing manis atau Diabetes Melitus yang saat ini dikenal dengan Diabetes saja, merupakan salah satu penyakit kronis paling umum di Indonesia, yang dulunya sering diasosiasikan dengan penyakit yang hanya menyerang orang tua atau usia lanjut. Namun, paradigma ini kini telah bergeser drastis. Dengan gaya hidup modern yang serba cepat dan cenderung tidak sehat, Diabetes telah menjelma menjadi ancaman nyata bagi generasi muda, mengintai dengan senyap dan berpotensi merenggut kualitas hidup mereka di masa depan, karena semakin banyak anak dan remaja yang terdiagnosis Diabetes, yang saat ini dikenal dengan diabetes tipe 5.

Peningkatan prevalensi Diabetes pada anak-anak, remaja, dan dewasa muda adalah fenomena global yang mengkhawatirkan. Pergeseran pola makan dari alami menjadi makanan siap saji, kemudian menjadi konsumsi makanan olahan tinggi gula, lemak trans, dan garam, ditambah minimnya aktivitas fisik akibat gaya hidup sedentari yang didominasi gawai/gadget serta paparan stres yang berkelanjutan menjadi faktor pemicu utama yang mempercepat munculnya resistensi insulin dan pada akhirnya menjadi diabetes tipe 2. Jenis diabetes ini, yang dulunya nyaris eksklusif pada orang dewasa, kini semakin sering ditemukan pada usia yang jauh lebih muda, bahkan pada anak-anak pra remaja dan remaja (pelajar SMP dan SMA).

Kondisi tersebut banyak menyerang generasi muda (generasi Z dan generasi Alpha), di mana mereka lebih banyak menghabiskan waktu di cafe dengan mengkonsumsi makanan dan minuman tinggi gula, namun di saat yang sama mereka kurang bergerak – istilah sekarang mager (malas gerak).

Ancaman Diabetes pada generasi muda bukan hanya sekadar angka statistik Konsekuensinya jauh lebih mendalam dan merusak. Ketika Diabetes menyerang di usia muda, artinya tubuh akan terpapar kadar gula darah tinggi untuk jangka waktu yang lebih lama. Paparan kronis ini mempercepat timbulnya komplikasi serius seperti penyakit jantung, stroke, gagal ginjal dan kebutaan. Apabila mengalami luka akan menjadi borok (gangren) hingga amputasi.

Bayangkan seorang individu yang baru menginjak usia produktif sudah harus berjuang melawan komplikasi yang melemahkan ini. Produktivitas menurun, kualitas hidup tergerus, beban ekonomi keluarga meningkat dan kondisi kesehatan menurun drastis.

Selain itu, dampak psikologis dan sosial juga tidak bisa diabaikan. Diagnosis Diabetes di usia muda sering kali membawa stigma, kecemasan, dan depresi. Keterbatasan diet, keharusan memonitor gula darah secara rutin, dan potensi komplikasi dapat memengaruhi kepercayaan diri, interaksi sosial, dan bahkan pilihan karier. Generasi muda yang seharusnya berada pada puncak kreativitas dan produktivitas, terpaksa menghadapi masalah kesehatan yang kompleks dan membatasi aktivtas. Menghadapi ancaman ini, peran berbagai pihak sangat penting.

Penyebab Diabetes pada Generasi Muda

Diabetes yang saat ini telah menyerang generasi muda disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:

1.  Malnutrisi (mengalami masalah gizi) sejak lahir

Kondisi ini dapat menyebabkan resistensi insulin yang meningkatkan risiko Diabetes pada anak-anak.

2.  Pola makan tidak seimbang

Konsumsi makanan manis, makanan olahan, dan makanan kurang serat akan meningkatkan kadar gula darah dan risiko Diabetes .

3.  Kurangnya aktivitas fisik

Gaya hidup tidak aktif dan kurang berolahraga akan menurunkan sensitivitas tubuh terhadap insulin dan meningkatkan risiko Diabetes .

4.  Obesitas

Kelebihan berat badan, ditandai banyaknya lemak di sekitar perut, akan meningkatkan risiko Diabetes pada anak-anak dan remaja. Walaupun demikian, penderita diabetes tipe 5 tidak selalu obesitas, karena penderitanya juga banyak yang kurus.

5.  Faktor genetik

Riwayat keluarga dengan Diabetes juga meningkatkan risiko seseorang menderita Diabetes . Riwayat keluarga tidak selalu diturunkan dari orang tua kepada anaknya, namun juga dapat diturunkan dari kakek neneknya kepada cucunya (generasi kesatu kena, generasi kedua lepas, tetapi generasi ketiga kena lagi).

6.  Perubahan gaya hidup modern

Perubahan pola makan dan gaya hidup yang kurang sehat termasuk kurang aktivitas fisik dan tingginya stress di era modern turut memicu peningkatan risiko Diabetes pada generasi muda.

Gejala Diabetes pada Generasi Muda

Secara umum, Diabetes menunjukkan gejala-gejala sebagai berikut:

  1. Haus berlebihan (polidipsi): sering merasa haus dan ingin minum banyak.
  2. Buang air kecil berlebihan (poliuri): sering buang air kecil, terutama di malam hari.
  3. Lapar berlebihan (polifagia): sering merasa lapar dan ingin makan banyak.
  4. Penurunan berat badan, meskipun nafsu makan meningkat, berat badan cenderung turun.
  5. Penglihatan kabur, dikarenakan kadar gula darah yang tinggi menyebabkan lensa mata membengkak dan mengurangi kemampuan fokus.
  6. Luka sulit sembuh, terutama luka pada kulit kaki, sulit sembuh karena kadar gula darah yang tinggi.
  7. Pusing dan lemas, diakibatkan kadar gula darah yang fluktuatif (naik turun dengan cepat).

Peran Bersama Tanggulangi Masalah

Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan dan Dinas Kesehatan di daerah dalam satu dasawarsa terakhir telah gencar mengampanyekan pentingnya gaya hidup sehat sejak dini, seperti Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS), CERDIK, dan lain-lain, hingga mengenakan pajak pada makanan dan minuman berpemanis. Namun, hal tersebut belum cukup. Pembatasan iklan makanan dan minuman tidak sehat yang menyasar anak-anak, peringatan pembatasan makanan dan minuman tinggi gula dan lemak di kemasan makanan dan minuman (terutama yang berpemanis), dan penyediaan fasilitas olahraga yang memadai dan terjangkau juga harus dilakukan.

Institusi pendidikan juga memiliki tanggung jawab untuk mengintegrasikan edukasi gizi dan pentingnya aktivitas fisik dalam kurikulum. Orang tua adalah garda terdepan dalam membentuk kebiasaan sehat di rumah, menjadi teladan dalam memilih makanan bergizi, dan mendorong anak-anak untuk aktif bergerak. Sementara itu, generasi muda sendiri harus sadar akan risiko yang mengintai mereka dengan mengambil inisiatif untuk menjaga kesehatan mereka, memilih makanan yang bijak, dan menjadikan olahraga sebagai bagian tak terpisahkan dari gaya hidup.

Diabetes pada generasi muda bukanlah takdir, melainkan konsekuensi dari pilihan gaya hidup yang keliru. Dengan kesadaran bersama, edukasi yang masif, dan perubahan perilaku yang transformatif, kita masih memiliki kesempatan untuk melindungi masa depan generasi penerus dari ancaman nyata ini. Sudah saatnya kita bertindak, sebelum “penyakit kronis” ini merenggut potensi emas generasi muda.

Pencegahan Diabetes pada Generasi Muda

Diabetes pada generasi muda dapat dicegah dengan upaya-upaya sebagai berikut:

1.  Menerapkan pola makan sehat

Kurangi konsumsi makanan manis (terutama berpemanis), makanan olahan, dan minuman berkarbonasi. Perbanyak konsumsi sayuran, buah-buahan, dan serat.

2.  Rutin berolahraga

Aktivitas fisik minimal 30 menit setiap hari akan meningkatkan sensitivitas insulin dan mengontrol kadar gula darah, sehingga kondisi badan akan semakin sehat dan bugar.

3.  Menjaga berat badan ideal

Agar berat badan ideal, setiap orang juga harus memahami tentang indeks masa tubuh (IMT) dan lingkar pinggang, Hal ini sangat penting dalam menghindari obesitas. Upaya yang dilakukan berupa menjaga pola makan dan aktivitas fisik yang seimbang.

4.  Berhenti merokok

Rokok dapat merusak sel pankreas yang memproduksi insulin dan meningkatkan risiko Diabetes .

5.  Kelola stres

Stres dapat mempengaruhi kadar gula darah. Pengelolaan stres dengan baik melalui olahraga, yoga, meditasi, dzikir atau hal lain sangat penting. Di samping Diabetes , penyakit lain juga dipengaruhi tingkat stres seseorang.

6.  Pengecekan gula darah secara rutin

Periksa kadar gula darah secara rutin untuk mendeteksi dini penyakit Diabetes . Dengan adanya program pemerintah berupa cek kesehatan gratis, tentunya sangat membantu seseorang untuk memastikan kadar gula darahnya. Apalagi pada momen-momen tertentu, ada organisasi yang memfasilitasi cek kesehatan gratis.

Kesimpulan

Diabetes , terutama diabetes tipe 5, merupakan ancaman nyata bagi generasi muda. Peningkatan kesadaran, penerapan pola hidup sehat, dan tindakan pencegahan dini sangat penting untuk mengurangi risiko Diabetes pada generasi muda, terutama anak-anak dan remaja.

 

Sumber : Ayosehat


Jantung-Iskemik.png

Penyakit jantung iskemik adalah kondisi medis yang terjadi ketika aliran darah ke jantung berkurang akibat penyumbatan sebagian atau seluruh arteri koroner.

Pengertian

Iskemia adalah keadaan di mana aliran darah ke bagian tubuh tertentu berkurang. Ketidakcukupan aliran darah ini menyebabkan bagian tubuh yang terpengaruh kekurangan oksigen, kondisi yang dapat mempengaruhi berbagai bagian tubuh. Oksigen yang disalurkan melalui pembuluh darah sangat penting untuk optimalisasi fungsi tubuh manusia.

Penyebab

Iskemia terjadi ketika ada hambatan pada aliran darah. Ini bisa terjadi karena berbagai sebab, antara lain:

1. Sumbatan pada Pembuluh Darah

Ini bisa terjadi karena adanya gumpalan darah (thrombus), emboli udara, aterosklerosis (penebalan arteri), atau gangguan lain. Gumpalan darah bisa terjadi akibat kondisi medis seperti penyakit jantung, peradangan pembuluh darah, atau cedera. Sedangkan aterosklerosis adalah proses penumpukan plak di dalam arteri yang menyebabkan arteri menjadi sempit atau mengeras.

2. Vasokonstriksi

Ini adalah kondisi di mana pembuluh darah menjadi sempit. Hal ini bisa terjadi karena berbagai sebab, seperti stres, penggunaan obat-obatan tertentu, rokok, dan kondisi kesehatan tertentu seperti tekanan darah tinggi.

Diagnosis

Proses diagnosis iskemia biasanya melibatkan beberapa langkah:

1. Wawancara Medis

Dokter akan melakukan wawancara mendalam untuk mengetahui gejala yang dialami pasien. Ini bisa mencakup pertanyaan tentang nyeri, lemah, atau gejala lain yang mungkin dihubungkan dengan iskemia.

2. Pemeriksaan Fisik

Dokter akan melakukan pemeriksaan fisik secara lengkap untuk mencari tanda-tanda iskemia. Ini bisa mencakup pemeriksaan denyut nadi, tekanan darah, dan suhu tubuh.

3. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan ini mencakup berbagai tes, seperti:

  • CT Scan atau MRI: Ini dapat menunjukkan area pembuluh darah yang tersumbat atau mengalami penyempitan.

  • Elektrokardiogram dan Ekokardiogram: Tes ini digunakan jika iskemia terjadi di jantung untuk mengetahui kadar oksigen dan kinerja jantung.

  • Endoskopi, Kolonoskopi, atau Ultrasonografi: Untuk iskemia yang terjadi pada usus, dokter mungkin akan menyarankan tes ini untuk mendapatkan gambaran kondisi usus dan tingkat oksigen di usus.

Pengobatan

Pilihan pengobatan untuk iskemia biasanya akan bergantung pada penyebab dan tingkat keparahan kondisi tersebut. Beberapa opsi pengobatan yang mungkin termasuk:

1. Penanganan Sumbatan

Jika iskemia disebabkan oleh sumbatan, tindakan awal biasanya adalah mencoba menghilangkan sumbatan tersebut.

Prosedur Ini bisa melibatkan penggunaan obat-obatan untuk melarutkan gumpalan darah, atau prosedur medis seperti angioplasti (menggunakan balon kecil untuk membuka arteri yang tersumbat) atau bypass (membuat jalur baru untuk darah mengalir).

2. Pemberian Obat Antikoagulan

Obat ini diberikan untuk mencegah pembentukan gumpalan darah baru atau memperbesar gumpalan yang sudah ada. Ini biasanya diperlukan untuk periode yang panjang pada kasus iskemia akut.

3. Pembedahan

Dalam kasus-kasus tertentu, pembedahan mungkin diperlukan untuk menghilangkan gumpalan yang menghambat peredaran darah atau memperbaiki pembuluh darah yang rusak atau sempit. Jenis operasi yang dilakukan akan tergantung pada lokasi dan tingkat keparahan iskemia.

Pencegahan

Untuk mencegah iskemia, berikut ini adalah beberapa saran yang bisa dilakukan:

  • Aktivitas Fisik: Aktivitas fisik yang cukup dapat membantu menjaga kelancaran peredaran darah.

  • Pola Makan Sehat: Asupan makanan yang kaya serat dan antioksidan dapat membantu menjaga kesehatan tubuh dan pembuluh darah.

  • Istirahat yang Cukup: Waktu istirahat yang cukup dan berkualitas sangat penting untuk kesehatan tubuh.

Komplikasi

Iskemia dapat menyebabkan berbagai komplikasi, tergantung pada lokasi dan durasi kurangnya aliran darah. Komplikasi iskemia antara lain:

1. Nekrosis

Ini adalah kematian jaringan yang disebabkan oleh kurangnya aliran darah. Nekrosis dapat menyebabkan kerusakan permanen pada jaringan dan organ, dan dalam beberapa kasus, mungkin memerlukan amputasi.

2. Gangguan Fungsi Organ

Iskemia dapat menyebabkan berbagai organ tubuh tidak dapat berfungsi dengan baik. Misalnya, iskemia jantung dapat menyebabkan serangan jantung, sementara iskemia otak dapat menyebabkan stroke.

3. Hipoksia

Kondisi ini terjadi ketika jaringan tubuh tidak mendapatkan cukup oksigen. Ini bisa menyebabkan berbagai gejala, mulai dari sesak napas dan kelelahan hingga kerusakan otak dan kematian.

4. Gangguan Sirkulasi Darah

Jika iskemia berkepanjangan atau berulang kali terjadi, ini dapat menyebabkan masalah pada sistem sirkulasi darah secara keseluruhan, seperti tekanan darah tinggi dan penyakit jantung.

5. Iskemia Kritis Anggota Gerak

Jika iskemia terjadi pada kaki atau lengan, ini dapat menyebabkan kondisi yang dikenal sebagai iskemia kritis anggota gerak. Kondisi ini dapat menyebabkan nyeri hebat, luka yang tidak sembuh, dan dalam kasus yang parah, bisa memerlukan amputasi.

Dalam kasus yang sangat parah, iskemia dapat mengancam jiwa. Oleh karena itu, penting untuk mencari perawatan medis segera jika Anda merasakan gejala iskemia.

Sumber : AyoSehat


odgj.png

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) adalah orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala, dan/atau perubahan perilaku bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi sebagai manusia dan terdiagnosis sebagai gangguan jiwa sesuai kriteria diagnosis yang ditetapkan. Siapapun dapat menjadi ODGJ. Namun sayangnya, ODGJ sering kali menghadapi berbagai mitos dan stigma di masyarakat. Hal ini tidak hanya memengaruhi kesejahteraan mereka, tetapi juga menghambat proses pemulihan dan akses terhadap perawatan yang layak.

 

Mitos Umum tentang Gangguan Jiwa

Beberapa mitos yang sering beredar di masyarakat terkait gangguan jiwa antara lain:

  • Gangguan jiwa disebabkan oleh kepribadian yang lemah atau kurang iman

    Faktanya, gangguan jiwa dapat terjadi karena kombinasi berbagai faktor, termasuk faktor biologis (aktivitas sel dan kimia otak), psikologis (trauma emosional), tekanan sosial dan budaya. Sama seperti penyakit fisik, gangguan jiwa bisa menyerang siapa saja, tanpa memandang kecerdasan, kelas sosial, atau tingkat spiritualitas.

  • Orang dengan gangguan jiwa selalu berbahaya Ini juga salah satu mitos yang paling merugikan

    Sebagian besar ODGJ tidak berbahaya dan justru lebih rentan menjadi korban kekerasan daripada menjadi pelaku kekerasan. Tidak jarang ODGJ mendapat bullying atau bahkan kekerasan fisik dari orang yang merasa waras.

  • Gangguan jiwa tidak bisa disembuhkan

    Dengan penanganan yang tepat, seperti terapi, perawatan, pengobatan, dan dukungan yang memadai dari orang-orang di lingkungannya, banyak ODGJ dapat pulih atau berhasil mengelola kondisinya dan hidup produktif berdampingan dengan masyarakat.

  • Gangguan jiwa hanya terjadi pada orang tertentu

    Gangguan jiwa dapat terjadi pada siapa saja, tanpa memandang usia, gender, atau latar belakang sosial, termasuk spiritual dan intelektual.

  • Kesehatan mental hanya perlu diperhatikan oleh orang yang mengalami gangguan kesehatan mental

    Upaya aktif untuk meningkatkan kesejahteraan dan kesehatan mental bermanfaat bagi siapa saja, sama seperti menjaga kesehatan fisik.

 

Stigma yang Dihadapi ODGJ

Stigma adalah pandangan negatif yang diberikan oleh seseorang atau masyarakat terhadap ODGJ masih sering terjadi. Stigma tersebut menimbulkan diskriminasi bahkan pengucilan terhadap ODGJ. Beberapa bentuk stigma yang sering muncul meliputi:

  • Penyebutan istilah yang merendahkan seperti “orang gila”

    Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa yang diperkuat dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan telah melarang penyebutan atau pelabelan negatif terhadap individu dengan gangguan kejiwaan, sehingga istilah yang digunakan adalah Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ).

  • Keyakinan bahwa gangguan jiwa terkait dengan hal mistis atau roh jahat

    Kepercayaan ini seringkali mendorong keluarga untuk mencari pengobatan alternatif ke dukun, bahkan menyebabkan praktik pemasungan atau pengucilan.

  • ODGJ dianggap tidak berguna dan tidak dapat melakukan kegiatan produktif

    Hal ini menyebabkan mereka sering dikucilkan, diisolasi, atau bahkan dipasung di tempat yang tidak layak.

  • Mengolok-olok orang yang berkonsultasi ke pelayanan kesehatan jiwa (psikiater, psikolog) sebagai “orang gila”

    Stigma ini menghambat banyak orang untuk mencari pertolongan profesional. Padahal keterlambatan penanganan menyebabkan semakin parahnya gangguan jiwa yang diderita.

 

Dampak Mitos dan Stigma

Mitos dan stigma memiliki dampak serius dan negatif bagi ODGJ, di antaranya:

  • Hambatan dalam mendapatkan penanganan

    Rasa malu dan takut dihakimi membuat ODGJ atau keluarga mereka enggan mencari bantuan profesional, sehingga memperlambat proses pemulihan.

  • Isolasi sosial dan diskriminasi

    ODGJ sering dikucilkan dari lingkungan sosial, tidak mendapatkan pendidikan yang layak, mendapat perlakuan kasar dan mengalami kesulitan dalam mencari pekerjaan. Kadang-kadang juga pemasungan dengan berbagai bentuk (dari dikunci di kamar, dirantai atau dikucilkan di rumah tidak layak huni).

  • Peningkatan beban psikologis

    Stigma akan memengaruhi konsep diri ODGJ, menurunkan harga diri, dan memperburuk kondisi mental mereka, sehingga membuat mereka menarik diri dari lingkungan sosial.

  • Penurunan kualitas hidup dan pemulihan

    Stigma yang terus-menerus akan menghambat interaksi sosial dan integrasi ODGJ dengan lingkungan, memperburuk kondisi mereka, dan bagi yang sudah mendapat penanganan dengan baik akan menyebabkan kekambuhan.

 

Cara Mengatasi Mitos dan Stigma

Mengatasi mitos dan stigma terhadap ODGJ adalah tanggung jawab bersama, tidak bisa hanya dilakukan oleh tenaga medis dan kesehatan. Langkah yang dapat dilakukan bersama adalah sebagai berikut:

  • Edukasi kesehatan mental

    Dengan menyebarluaskan informasi yang akurat mengenai gangguan jiwa, penyebabnya, dan pilihan penanganannya. Edukasi dapat membantu masyarakat memahami bahwa gangguan jiwa adalah kondisi medis yang dapat diobati, sama seperti penyakit fisik lainnya.

  • Meningkatkan empati dan pemahaman

    Dengan berusaha memahami perspektif ODGJ dan tidak menghakimi, berbicara terbuka tentang kesehatan mental untuk menghilangkan mitos dan menciptakan lingkungan yang lebih inklusif.

  • Mendukung pencarian pertolongan

    Dengan mendorong ODGJ dan keluarganya untuk segera mencari bantuan profesional di layanan kesehatan terdekat (Puskesmas, rumah sakit, dan atau rumah sakit jiwa).

  • Membangun sistem pendukung (support system)

    Dengan melibatkan keluarga, teman, dan komunitas agar memiliki peran penting dalam memberikan dukungan emosional, penghargaan, instrumental (bantuan biaya), dan informatif (saran dan nasihat) bagi ODGJ. Penerimaan dan pemahaman keluarga sangat penting untuk keberhasilan penanganan ODGJ.

  • Melawan diskriminasi

    Dengan tidak melakukan pemasungan atau pengucilan, serta melaporkan praktik-praktik diskriminatif terhadap ODGJ kepada pihak berwajib, karena pemasungan adalah pelanggaran Hak Asasi Manusia. Jangankan ODGJ, orang tanpa gangguan jiwa jika dipasung juga akan mengalami gangguan jiwa.

  • Pemberdayaan ODGJ

    Yaitu mendukung ODGJ untuk dapat hidup produktif dan berintegrasi kembali dengan masyarakat setelah kondisinya terkontrol.

 

Dengan upaya dan kepedulian bersama, kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih peduli dan menghilangkan stigma terhadap ODGJ, sehingga mereka bisa mendapatkan dukungan dan perawatan yang mereka butuhkan untuk mencapai pemulihan yang optimal.

Sumber : AyoSehat


jamu.png

Siapa sangka jamu pahit warisan nenek yang selama ini kita minum dengan harapan menyembuhkan segalanya, dari masuk angin hingga penyakit berat, kini menjadi bahan penelitian canggih di laboratorium? Kini, berkat teknologi berskala nano seribu kali lebih kecil dari sehelai rambut ramuan herbal tradisional tak lagi hanya direbus dan diminum begitu saja. Ia telah bertransformasi menjadi Herbal Nano Medicine (HNM), inovasi medis masa depan yang menyatukan tradisi dan teknologi.

 

Apa Itu Herbal Nano Medicine?

Herbal Nano Medicine adalah formulasi obat herbal dengan ukuran partikel yang sangat kecil, antara 10 hingga 200 nanometer. Dalam ukuran ini, senyawa aktif dari tanaman dapat diserap tubuh lebih efektif, mencapai sel target dengan presisi, dan bekerja lebih cepat serta efisien. Misalnya, curcumin zat aktif dalam kunyit dikenal ampuh sebagai antiinflamasi dan antikanker. Namun, dalam bentuk alami, curcumin sulit diserap tubuh. Teknologi nano memungkinkan zat ini larut lebih baik dan memberikan dampak terapeutik yang lebih nyata.

 

Mengapa Herbal Butuh Teknologi Nano?

Meski sarat manfaat, obat herbal tradisional memiliki tantangan:
•    Tidak larut dalam air
•    Sulit diserap tubuh
•    Kandungan aktif tidak stabil
•    Sulit mengukur dosis secara konsisten
Teknologi nano mengatasi semua ini. Senyawa aktif herbal bisa “diantar” langsung ke lokasi penyakit (targeted delivery), bertahan lebih lama dalam tubuh, dan digunakan dalam dosis kecil tanpa mengurangi khasiat bahkan sering kali justru meningkat.

 

Tradisi yang Sudah Lebih Dulu Paham Nano?

Menariknya, prinsip nanoteknologi bukan sepenuhnya hal baru. Dalam pengobatan tradisional India (Ayurveda), telah lama dikenal Bhasma partikel logam seperti emas atau tembaga yang diolah hingga ukuran sangat kecil dan dicampur dengan herbal. Studi modern menunjukkan bahwa ukuran partikel Bhasma bisa mencapai skala nanometer, membuktikan bahwa nenek moyang kita telah lebih dahulu memahami efek partikel ultra-kecil ini, meski tanpa istilah ilmiah modern.

 

Beragam Bentuk Nano untuk Herbal Beragam

Tidak semua herbal cocok diolah dengan cara yang sama. Para ilmuwan kini mengembangkan berbagai sistem pengantar atau wadah (delivery system) seperti:
•    Nanopartikel polimerik, seperti kantong mini dari plastik ramah tubuh
•    Solid lipid nanoparticles (SLNPs): kantong dari lemak padat
•    Phytosomes: gabungan zat aktif dengan lemak fosfolipid
•    Nanoemulsi dan micelles: mirip butiran minyak dalam air
•    Liposomes dan dendrimers: kapsul bulat yang bisa diarahkan ke jaringan tertentu
•    Nanofiber: serat tipis yang larut di mulut
Contohnya, piperine (dari lada hitam) dan berberine (dari tanaman Tiongkok) kini jauh lebih efektif setelah diformulasikan secara nano.

 

Apa Kata Penelitian?

Efektivitasnya bukan sekadar teori. Penelitian menunjukkan bahwa formulasi nano dapat meningkatkan bioavailabilitas jumlah zat yang benar-benar masuk ke darah hingga ratusan kali lipat. Bahkan, efek antioksidan, antivirus, hingga antikanker dari senyawa herbal menjadi lebih kuat dan cepat. Dosis pun bisa dikurangi drastis, sehingga lebih aman bagi pasien.

 

Apa saja tantangannya?

Seperti semua inovasi, HNM juga menghadapi hambatan:
•    Tidak semua herbal cocok dengan semua jenis teknologi nano
•    Regulasi global belum seragam
•    Biaya riset dan produksi masih tinggi
•    Perlu lebih banyak uji klinis jangka panjang

 

Saatnya Indonesia Menjawab Tantangan Ini

Indonesia memiliki lebih dari 30.000 jenis tanaman obat, namun masih sedikit yang dimanfaatkan secara maksimal. Padahal, dengan kekayaan ini, kita berpotensi menjadi pionir dunia dalam inovasi herbal nano. Bayangkan, jika jamu beras kencur bisa diformulasikan secara nano untuk mengatasi radang lambung, atau sambiloto nano untuk demam tinggi. Ini bukan mimpi. Ini peluang strategis nasional.

 

Kembali ke Akar, Menuju Masa Depan

Herbal dan nanoteknologi bukanlah dua kutub yang bertentangan. Keduanya adalah pasangan ideal memadukan kearifan lokal dan kemajuan sains. Dengan sentuhan teknologi, kita bisa menyempurnakan pengobatan tradisional tanpa kehilangan jati dirinya.
Indonesia tidak boleh hanya jadi konsumen. Kini saatnya kita menjadi pemimpin dalam riset, produksi, dan inovasi herbal nano. Masa depan kesehatan mungkin ada dalam laboratorium, tapi akarnya tetap di tanah dan budaya kita sendiri.

 

Sumber : Ayosehat


Air-Susu-Ibu-dan-Perannya-dalam-Pencegahan-Obesitas.png

Manfaat ASI untuk kesehatan bayi tidak perlu diragukan lagi. Sudah banyak bukti ilmiah yang menunjukkan bayi yang mendapat ASI terhindar dari malnutrisi, baik kurang gizi maupun lebih gizi (overweight dan obesitas), mempunyai kecerdasan lebih, mempunyai daya tahan yang lebih baik terhadap penyakit dan masih banyak manfaat positif lain dari ASI terhadap tumbuh kembang anak. Salah satu manfaat ASI yang masih terus diteliti adalah dampaknya terhadap pengurangan risiko obesitas. Namun demikian, penelitian yang mencari hubungan antara peran ASI dengan risiko dan kejadian obesitas tidak sebanyak hubungan antara peran ASI dengan gizi kurang. Penelitian untuk mencari hubungan antara ASI dengan obesitas makin banyak  dilakukan walaupun dengan hasil yang beragam. Makalah ini bertujuan untuk membahas peran ASI dalam mengurangi risiko dan kejadian obesitas pada anak dan pada usia selanjutnya.

Angka kejadian obesitas

Angka kejadian obesitas pada anak menunjukkan peningkatan yang bermakna bukan saja di negara maju tetapi juga di negara berkembang. Di Inggris prevalens obesitas anak lelaki adalah 1,2% pada tahun 1984 menjadi 3,4% pada tahun 1996-1997 dan pada tahun 2002-2003 menjadi 6%. Sedangkan di Cina pada tahun 1992 prevalens obesitas anak lelaki adalah 7%, kemudian meningkat menjadi 32,5% pada tahun 2005. Di Singapura juga terjadi keadaan yang sama, prevalens obesitas anak pada tahun 1984 sampai tahun 1989 adalah 9% meningkat menjadi 14,5 pada tahun 1989.

Di negara maju upaya pengendalian obesitas anak mulai menunjukkan hasilnya dengan menurunnya jumlah anak yang mengalami obesitas. Di negara berkembang, karena belum adanya program yang  komprehensif prevalens obersitas belum banyak berubah dalam 10 tahun terakhir, bahkan terdapat kecenderungan meningkat di beberapa kota besar. Penelitian multisenter di 10 kota besar di Indonesia pada anak usia sekolah menunjukkan prevalens antara 2,5% sampai dengan 27%. Tata laksana obesitas pada anak meliputi 3 upaya pokok yaitu intervensi nutrisi, pengubahan perilaku makan, dan peningkatan aktifitas fisik. Pada beberapa kasus misalnya pada anak remaja atau anak dengan obesitas morbid (obesitas dengan penyulit penyakit lain) pemberian obat dan tindakan bedah dapat dipertimbangkan. Walaupun tatalaksana obesitas mendatangkan hasil yang memuaskan, tetapi dalam praktek sehari-hari tidak mudah melakukan tata laksana obesitas pada anak, khususnya anak balita. Beberapa kendala yang dialami antara lain orangtua kurang memahami mengenai dampak kesehatan dan sosial obesitas, persepsi orangtua yang salah tentang obesitas, sulitnya memberikan penjelasan kepada anak dengan obesitas terutama anak balita, obat-obat untuk penanganan obesitas anak masih sangat terbatas, tidak semua obat untuk penanganan obesitas dapat diberikan kepada anak, belum lagi nasihat diet yang seringkali diabaikan baik oleh anak maupun orangtua. Oleh karena itu pencegahan obesitas memegang peran penting dalam upaya penurunan angka kejadian obesitas anak. Pencegahan tersebut dapat dimulai sejak dini yaitu dengan memantau berat badan anak dengan cara menimbang berat badan secara berkala. Pemberian makanan sehat yang biasa dikenal dengan gizi seimbang juga harus diperkenalkan sejak dini kepada anak. Upaya lain yaitu dengan membiasakan anak berolah raga secara teratur dan mengurangi sedentary life yaitu gaya hidup yang kurang aktif bergerak.

Penyebab obesitas

Dahulu sel adiposit (sel lemak) dipahami hanya sebagai tempat penyimpanan kelebihan energi dalam bentuk asam lemak dan kolesterol. Namun penelitian selanjutnya membuktikan sel lemak ternyata juga menghasilkan beberapa zat aktif yang berfungsi atau menyerupai hormon seperti leptin, adiponektin dan masih banyak lagi. Secara biokimia pada awalnya salah satu hipotesis penyebab obesitas adalah menurunnya kadar hormon leptin (hipoleptinemia) sehingga terjadi disfungsi leptin. Hal ini mengakibatkan leptin tidak mampu menjalankan fungsinya menurunkan asupan makanan dan meningkatkan pengeluaran energi. Namun ternyata penelitian menunjukkan pada obesitas anak dan dewasa terjadi peningkatan kadar leptin (hiperleptinemia) , namun tetap saja terjadi disfungsi hormon leptin, hal disebabkan terjadinya keadaan resistensi leptin. Secara umum penyebab obesitas dapat dibagi menjadi 2 kelompok besar yaitu faktor lingkungan dan faktor genetik. Sekitar 90 % penyebab obesitas adalah faktor lingkungan yang meliputi pola makan yang berlebihan dan cara hidup yang tidak sehat (sedentary life). Penelitian pada anak obes di beberapa sekolah swasta di Jakarta menunjukkan sebagian besar anak tersebut mengonsumsi energi dan lemak di atas jumlah yang dianjurkan. Konsumsi makanan yang berlebihan yang tidak diikuti dengan aktifitas fisis yang memadai akan mengakibatkan energi yang masuk (energy intake) lebih banyak dari energi yang dikeluarkan (energy expenditure). Kelebihan energi ini baik yang berasal dari karbohidrat, protein atau lemak akan disimpan dalam bentuk kolesterol, asam lemak bebas dan trigliserida. Kelebihan lemak inilah yang akan menyebabkan perubahan kesimbangan hormon di sel lemak serta gangguan pada pengaturan kesimbangan energi dengan akibat timbulnya beberapa komplikasi seperti hipertensi, hiperlipidemia, diabetes melitus tipe 2, gangguan saluran napasserta gangguan pada tulang.

Air Susu Ibu dan Keseimbangan Energi

Penelitian menunjukkan bayi yang mendapat ASI tumbuh lebih cepat pada 2-3 bulan pertama kehidupan selanjutnya, namun secara keseluruhan sampai usia 6 bulan berat badan bayi yang mendapat ASI lebih ringan dibanding yang tidak mendapat ASI. Hal ini bukan berarti bayi yang mendapat ASI mengalami gangguan pertumbuhan, karena pertumbuhan yang optimal justru pertumbuhan yang ditunjukkan oleh bayi yang mendapat ASI. Hal ini disebabkan bayi yang mengonsumsi ASI dapat mengatur sendiri jumlah nutrisi yang diperlukan sesuai dengan rasa lapar dan kenyang bayi, sedangkan bila diberikan susu formula maka jumlah nutrisi yang dikonsumsi bayi tergantung pada pemberi baik orangtua maupun pengasuh. Beberapa penelitian menunjukkan bayi yang mendapat susu formula akan mengonsumsi jumlah kalori yang lebih besar dibandingkan bayi yang mendapat ASI. Asupan energi yang berlebihan akan menyebabkan obesitas dan obesitas akan menyebabkan sel lemak mengalami hiperplasia (bertambahnya jumlah sel) dan hipertrofi (bertambahnya ukuran sel). Keadaan hiperplasia dan hipertrofi sel adiposit akan menyebabkan sel ini menghasilkan adipositokin ( substrat-substark kimia antara lain hormon seperti leptin, adiponektin) mengalami disfungsi. Pada keadaan ini kadar hormon leptin meningkat namun tidak mampu menjalankan fungsinya yaitu mengurangi asupan makanan dan meningkatkan penggunaan energi. Penelitian pada remaja usia 13-16 tahun yang lahir prematur satu kelompok mendapat susu formula sedangkan kelompok lain medapat ASI donor memperlihatkan, remaja yang semasa bayi mendapat ASI mempunyai kadar leptin yang relatif normal.

Peran ASI dalam pencegahan obesitas

Penelitian pertama yang mencoba mencari peran ASI terhadap kejadian obesitas anak dilakukan oleh Kramer pada tahun 1981 yang menyimpulkan ASI berperan terhadap pencegahan obesitas. Setelah itu banyak penelitian sejenis yang dilakukan dengan berbagai disain penelitian. Seperti telah disinggung di awal tulisan, penelitian untuk mencari hubungan antara pemberian ASI dan risiko obesitas  dikemudian hari menggunakan kriteria/parameter yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut antara lain pada definisi ASI eksklusif, penentuan diagnosis obesitas dan jangka waktu pemantauan (follow up). Di bawah ini rangkuman tentang penelitianpenelitan yang telah dilakukan.

Penelitian di Indonesia yang mengkaji hubungan pemberian ASI dengan timbulnya atau risiko obesitas sepengetahuan penulis masih sangat terbatas. Hal ini dapat dimaklumi, walaupun Indonesia termasuk negara berkembang namun frekuensi pemberian ASI terutama ASI eksklusif masih rendah khususnya di kota-kota besar. Penelitian untuk mencari hubungan antara pemberian ASI eksklusif dengan risiko terjadinya obesitas dilakukan di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah yang melibatkan sekitar 700 anak usia 3-5 tahun. Disain yang digunakan adalah kohort retrospektif, yang kemudian dilakukan analisis menggunakan uji kai kuadrat dan regresi logistik. Kesimpulan dari penelitian ini adalah ASI dapat menurunkan risiko obesitas pada anak bila diberikan sampai usia 12-24 bulan. Faktor lain yang juga harus dipertimbangkan adalah usia saat bayi diberikan makanan pendamping ASI. Penelitian ini tidak menjelaskan mekanisme bagiamana ASI dapat mengurangi risiko obesitas.

Penelitian dilakukan oleh beberapa peneliti dari Jerman pada tahun 2004 yang melakukan meta analisis terhadap 9 penelitian yang memenuhi kriteria dari sekitar 900 penelitian yang direkrut. Sembilan penelitian ini terdiri dari penelitian seksi silang (cross sectional) dan kohort dengan basis penelitian populasi/komunitas. Sebanyak 69000 anak terlibat dalam meta analisis ini dengan usia pemantauan tertua mencapai 18 tahun. Peneliti berkesimpulan secara metodologi sulit melakukan penelitian meta analisis hubungan ASI dengan risiko obesitas karena untuk disain ini diperlukan penelitian kontrol acak (randomized control trial) yang secara etika sulit dilakukan untuk ASI. Peneliti-peneliti Jerman ini berkesimpulan walaupun kecil ASI tampaknya mempunyai efek protektif terhadap risiko obesitas anak di kemudian hari. Namun demikian peneliti tidak dapat menjelaskan secara pasti bagaimana mekanisme ASI dapat mengurangi risiko obesitas anak. Dugaan mekanismenya adalah faktor perilaku dan mekanisme hormonal yang mempengaruhi asupan makronutrien. Kadar hormon insulin yang lebih tinggi pada bayi yang minum susu formula dibandingkan bayi yang mendapat ASI akan merangsang deposit lemak, sehingga risiko obesitas sudah mulai terjadi pada usia dini. Sedangkan bayi yang mendapat ASI terhindar dari risiko obesitas karena peran faktor bioaktif yang ada di dalam ASI akan merangsang faktor pertumbuhan yang selanjutnya menghambat diferensiasi sel adiposit menjadi sel adiposit abnormal. Disamping itu asupan protein dan kalori anak yang mendapat ASI lebih rendah dibandingkan yang mendapat susu formula.

Peneliti Jerman lainnya pada tahun 2005 melakukan penelitian meta analisis tentang hubungan ASI dan risiko obesitas pada anak. Meta analisis ini meliputi 17 penelitian yang melibatkan lebih dari 100 ribu anak yang diamati risiko obesitas sampai usia tertua 14 tahun (1 penelitian mengamati sampai anak berusia 26 tahun). Peneliti mendapatkan ASI secara terbalik dan linear berhubungan dengan risiko obesitas, yang berarti makin lama anak diberi ASI maka risiko obesitas menjadi semakin berkurang. Risiko obesitas juga berkurang 4 % tiap bulan pada saat diberi ASI, tetapi efek ini hanya terjadi sampai pemberian ASI 9 bulan saja, dan tidak dipengaruhi oleh definisi obesitas serta usia pada saat pemantauan. Menurut peneliti ini mekanisme bagaimana ASI dapat menurunkan risiko terhadap obesitas belum jelas, namun dikemukakan anak yang mendapat ASI mempunyai kenaikan berat badan tidak sebanyak bayi dengan susu formula pada masa kritis neonatus. Hal ini menyebabkan anak yang mendapat ASI mempunyai asupan kalori yang lebih rendah dibandingkan bayi yang mendapat susu formula. Kenaikan berat badan yang rendah selama masa kritis neonatus telah dibuktikan berhubungan dengan menurunnya risiko obesitas pada masa remaja dan dewasa.

Penelitian dengan disain kohort dilakukan oleh peneliti dari Departemen Ilmu Kesehatan Anak Universitas Pennsylvania, di Amerika yang bertujuan menguji hipotesis apakah terdapat hubungan antara pemberian ASI dengan timbulnya obesitas pada populasi anak usia pra sekolah dengan ras/etnik yang berbeda. Penelitian dilakukan selama 2 tahun (1998-2000) yang melibatkan lebih dari 2400 anak dari 20 kota besar di 15 negara bagian di Amerika. Subjek dibagi menjadi 3 kelompok yaitu kelompok yang tidak mendapat ASI, mendapat kurang dari 4 bulan dan mendapat ASI 4 bulan atau lebih. Penelitian ini menunjukkan hubungan antara pemberian ASI dengan timbulnya obesitas berbeda untuk tiap ras. Untuk ras Hispanik (keturunan latin) kejadian obesitas lebih rendah pada anak yang mendapat ASI lebih atau sama dengan 4 bulan dibandingkan dengan yang tidak mendapat ASI atau diberikan ASI kurang dari 4 bulan. Namun demikian pemberian ASI tidak berhubungan dengan kejadian obesitas pada anak-anak ras kulit putih dan hitam.

Pada tahun 2008 di Norwegia dilakukan penelitian tentang hubungan ASI dengan risiko obesitas pada masa anak dan remaja menggunakan disain seksi potong lintang (cross sectional). Peneliti ini menggunakan tebal lipatan kulit sebagai parameter penimbunan lemak tubuh, karena beranggapan parameter ini jauh lebih baik untuk merefleksikan massa lemak tubuh dibandingkan dengan menggunakan parameter indeks massa tubuh (IMT). Sebanyak 1137 bayi diikutsertakan dalam penelitian ini dengan usia tertua pada saat dipantau adalah 15 tahun. Penemuan pada penelitian ini adalah anak usia 15 tahun yang diberikan ASI kurang dari 2 bulan mempunyai IMT, lingkaran pinggang dan tebal lipatan kulit yang lebih besar dibandingkan anak seusia yang diberikan ASI 6 bulan atau lebih. Efek ini tidak berlaku lagi setelah dilakukan pengendalian (adjustment) untuk usia ibu dan kebiasaan ibu merokok. Namun demikian penelitian di Swedia ini tidak berhasil mendukung temuan pada penelitian-penelitian sebelumnya yang menyatakan makin lama ASI diberikan masih kecil risiko anak mengalami obesitas.

Penelitian juga dilakukan di Brazil, Amerika Latin pada tahun 2000 yang bertujuan mencari hubungan antara lamanya pemberian ASI dengan obesitas menggunakan disain kohort. Parameter obesitas yang diukur antara lain indeks massa tubuh (IMT) dan persentase massa lemak tubuh. Lebih dari 3000 anak terlibat dalam penelitian ini yang diikuti sampai usia 18 tahun. Kesimpulan dari penelitian ini adalah pada anak yang diberikan ASI eksklusif atau sebagian besar diberikan ASI dapat mencegah obesitas pada masa remaja. Penelitian lain untuk mencari hubungan lama pemberian ASI dengan risiko obesitas di Brazil dilakukan oleh de Sequiera dan Monteiro terhadap anak sekolah usia 6-14 tahun yang mempunyai orangtua dengan status sosial ekonomi tinggi. Parameter obesitas yang diukur adalah IMT dan tebal lipatan kulit yang selanjutnya dihubungkan dengan lama pemberian ASI.

Sementara itu penelitian di Belarusia pada tahun 2009 melibatkan lebih dari 17 ribu anak yang dipantau sampai usia 61/2 tahun dengan disain penelitian kontrol acak menunjukkan hasil berbeda dengan penelitian lain. Peneliti berkesimpulan pemberian ASI eksklusif atau ASI dalam jangka waktu lama tidak berhubungan dengan kejadian obesitas pada usia selanjutnya. Kelompok peneliti ini juga mengemukakan  terdapatnya hubungan antara pemberian ASI dengan menurunnya kejadian obesitas yang ditemukan pada penelitian-penelitian sebelumnya sangat mungkin karena adanya faktor perancu. Peneliti menyarankan untuk dilakukan penelitian dengan disain longitudinal dan pengendalian terhadap faktor perancu, hal ini disebabkan karena angka kejadian obesitas anak di Belarusia tidak tinggi.

Badan Kesehatan Dunia (WHO) sendiri mengeluarkan pernyataan tentang bukti ilmiah pengaruh jangka panjang ASI terhadap obesitas yang menyatakan terdapat bukti ilmiah bahwa ASI mempunyai efek proteksi terhadap terjadinya obesitas walaupun disebutkan efek yang terlihat tidak terlalu kuat. Selanjutnya WHO juga menyatakan efek ini tidak disebabkan karena adanya faktor perancu antara lain lama pemberian ASI, definisi ASI eksklusif, dan definisi obesitas.

Divisi Nutrisi, Aktifitas Fisik dan Obesitas, National Center for Chronic Disease Prevention and Health Promotion (CDC) di Amerika melakukan penelitian untuk menguji hipotesis apakah bayi yang diberikan ASI eksklusif tidak akan mempunyai kelebihan berat badan setelah usia 6 bulan dan juga menguji bayi yang menghabiskan susu formula serta ibu yang selalu berusaha menghabiskan susu formula yang diberikan kepada bayinya yang berusia 6 bulan ke bawah akan mengalami kelebihan berat badan setelah usia 6 bulan. Data diperoleh dengan wawancara menggunakan kuesioener terhadap lebih kurang 2000 ibu yang mempunyai bayi dengan berat lahir minimal 1750 gram dan usia kehamilan 35 minggu ke atas. Hasil penelitian ini menunjukkan bayi yang mendapat ASI sebelum usia 6 bulan mempunyai risiko rendah untuk mengalami kelebihan berat badan, sedangkan sebaliknya bayi yang mengonsumsi susu botol berisiko tinggi kelebihan berat badan. Peneliti juga berkesimpulan konsumsi susu botol terlebih bila sering dihabiskan merupakan faktor risiko independen terhadap  berkembangnya obesitas anak.

Penelitian lain yang dilakukan di Amerika Serikat untuk mengetahui hubungan antara lama pemberian ASI dengan risiko obesitas pada anak dengan menggunakan data survei nasional tahun 1988-1994 terhadap 3461 anak usia 2-71 bulan, namun demikian analisis hanya dilakukan pada kelompok usia 3-5 tahun. Disain yang digunakan adalah seksi silang survei kesehatan nasional. Setelah faktor perancu dikendalikan, maka peneliti mengambil kesimpulan terdapat hubungan yang tidak konsisten antara pemberian ASI dan lamanya. Walapun pemberian ASI harus tetap dilakukan, namun efektivitas pemberian ASI dalam pencegahan obesitas tidak sama dengan faktor diet dan aktifitas fisik.

Penelitian systematic review dilakukan oleh Owen dkk. dari Amerika yang mengulas sebanyak 61 kepustakaan dengan melibatkan hampir 300 ribu subjek. Tujuan penelitian ini untuk melihat hubungan antara pemberian makan bayi dengan risiko obesitas pada masa selanjutnya. Hasil penelitian ini menunjukkan pemberian ASI merupakan faktor protektif untuk terjadinya obesitas pada usia selanjutnya, namun demikian peneliti memperingatkan kemungkinan adanya faktor perancu yang dapat mempengaruhi hasil penelitian.

Penelitian seksi silang dilakukan di Inggris untuk melihat hubungan antara pemberian ASI dengan timbulnya obesitas pada anak. Sebanyak 2600 lebih anak yang berasal dari 1768 keluarga dilibatkan dalam penelitian ini dengan usia anak antara 4-18 tahun. Peneliti mengambil kesimpulan efek menguntungkan ASI tidak terlihat untuk mengurangi kejadian obesitas, namun demikian karena banyak manfaat menguntungkan lain dari ASI yang sudah diketahui, maka promosi pemberian ASI harus tetap dilakukan.

Mekanisme ASI mengurangi risiko/kejadian obesitas

Melihat penelitian-penelitian di atas maka tampak mekanisme bagaimana ASI dapat mencegah risiko atau terjadinya obesitas masih belum jelas benar, tetapi beberapa hal di bawah ini diduga sebagai mekanisme dasar yaitu:

  1. Bayi yang mengonsumsi ASI dapat mengatur asupan kalori sesuai kebutuhan dan ibu bayi juga percaya bila bayinya berhenti minum artinya kebutuhan nutrisi sudah terpenuhi. Sedangkan ibu yang bayinya mendapat susu botol umumnya kurang yakin apakah bila botol susu bayi kosong, bayi telah mendapat cukup asupan nutrisinya.
  2. Bayi yang mendapat ASI lebih mudah menerima makanan padat pada saat penyapihan dibandingkan bayi yang mendapatsusu formula. Daya terima terhadap makanan baru bayi yangmendapat ASI juga lebih baik, hal ini disebabkan bayi yang
    mendapat ASI telah mengenal rasa berbagai macam makananmelalui makanan yang dikonsumsi ibunya sejak bayi dalamkandungan.
  3. Dibandingkan susu formula, ASI mempunyai efek yang lebih baik terhadap metabolisme tubuh bayi dan metabolisme hormon seperti misalnya insulin dan leptin dalam kaitan pengaturan dan deposit lemak tubuh. Hal ini yang menyebabkan bayi yang mendapat ASI cenderung tidak obes dibandingkan yang mendapat susu formula.

Kesimpulan

Angka kejadian obesitas pada anak yang menunjukkan kecenderungan meningkat memerlukan upaya pencegahan. Pemberian ASI eksklusif telah banyak diteliti sebagai salah satu cara untuk mencegah risiko dan kejadian obesitas pada anak. Penelitian yang mencari hubungan antara pemberian ASI dan pencegahan obesitas menunjukkan hasil tidak konsisten. Beberapa faktor perancu diduga menjadi penyebab antara lain desain penelitian yang tidak ideal, definisi dan parameter obesitas yang digunakan serta definisi ASI eksklusif yang berbeda-beda. Walaupun demikian karena manfaat ASI bukan saja untuk pencegahan obesitas maka semua pihak harus terus menerus mendukung pemberian ASI.

 

Sumber : IDAI


ngorok.png

Halo semuanya, saya dr. Erta, Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah. Kali ini kita akan membahas topik yang sering dianggap sepele padahal dampaknya bisa sangat serius ‘ngorok’. Banyak dari kita mungkin menganggap ngorok itu hal yang biasa. “Ah, cuma suara tidur aja, dok.” Tapi tunggu dulu. Tidak semua ngorok itu wajar. Ada jenis ngorok yang bisa menjadi pertanda gangguan tidur serius yang disebut Obstructive Sleep Apnea (OSA), yang jika dibiarkan bisa meningkatkan risiko tekanan darah tinggi, stroke, hingga serangan jantung.

OSA adalah kondisi di mana saluran napas bagian atas menyempit atau menutup berulang kali saat tidur, sehingga pernapasan berhenti selama beberapa detik –bahkan bisa lebih dari satu menit– sebelum akhirnya otak “membangunkan” tubuh untuk bernapas lagi. Masalahnya, kejadian ini bisa terjadi puluhan hingga ratusan kali setiap malam tanpa disadari oleh penderitanya. Yang sering sadar justru pasangannya, karena harus mendengarkan suara ngorok keras yang tiba-tiba berhenti, lalu terdengar seperti tersedak, baru lanjut ngorok lagi.

Lalu bagaimana cara membedakan mana ngorok yang masih tergolong “biasa” dan mana yang perlu segera diperiksa lebih lanjut? Untungnya, ada sistem sederhana yang bisa digunakan sebagai alat skrining awal, yaitu skor STOP-BANG. Ini adalah akronim dari delapan pertanyaan sederhana yang bisa Anda jawab sendiri di rumah:

  1. S (Snoring): Apakah Anda sering ngorok dengan suara keras?
  2. T (Tired): Apakah Anda sering merasa mengantuk di siang hari, atau kelelahan meskipun merasa tidur cukup lama?
  3. O (Observed): Apakah ada orang yang pernah melihat Anda berhenti bernapas saat tidur?
  4. P (Pressure): Apakah Anda memiliki tekanan darah tinggi atau sedang dalam pengobatan hipertensi?
  5. B (BMI): Apakah indeks massa tubuh Anda lebih dari 35?
  6. A (Age): Apakah usia Anda lebih dari 50 tahun?
  7. N (Neck): Apakah lingkar leher Anda lebih dari 40 cm? (ukur di bagian tengah leher, bukan di bawah dagu)
  8. G (Gender): Apakah Anda laki-laki?

Jika Anda menjawab “ya” pada tiga atau lebih dari delapan poin di atas, maka Anda berisiko tinggi mengalami OSA dan sebaiknya segera konsultasi ke dokter atau melakukan pemeriksaan lanjutan seperti sleep study.

Bagaimana kita bisa mengenali pasangan kita berhenti napas saat tidur?

Biasanya, tanda paling mudah dikenali adalah saat ngoroknya tiba-tiba berhenti –hening selama beberapa detik– lalu disusul dengan suara seperti tercekik, mendengus keras, atau menarik napas panjang secara mendadak. Ini bisa terjadi berulang kali sepanjang malam. Pasangan yang tidur di sebelah sering kali menjadi saksi pertama dari pola ini. Jika Anda mendengar jeda napas yang berlangsung lebih dari 10 detik secara berulang, apalagi diikuti gelisah, keringat dingin, atau mengorok keras kembali setelah hening, itu tanda kuat bahwa orang tersebut mungkin mengalami sleep apnea dan sebaiknya diperiksa lebih lanjut.

Kenapa ini penting?

Karena OSA tidak hanya membuat tidur tidak nyenyak, tapi juga menyebabkan penurunan oksigen dalam darah secara berulang. Ini memberi beban besar pada jantung, bisa memicu gangguan irama jantung, memperburuk hipertensi, hingga meningkatkan risiko serangan jantung mendadak saat tidur. Saya beberapa kali menangani pasien jantung yang awalnya datang hanya dengan keluhan gampang lelah dan tekanan darah tinggi yang sulit dikontrol. Setelah ditelusuri, ternyata penyebab utamanya adalah OSA yang tidak pernah terdeteksi.

Jadi, kalau Anda sering ngorok keras, merasa capek meski sudah tidur 8 jam, atau pasangan Anda bilang Anda “berhenti napas” saat tidur, jangan abaikan. Gunakan skor STOP-BANG sebagai panduan awal. Karena semakin cepat OSA dikenali, semakin cepat pula penanganan yang bisa dilakukan –baik dengan perubahan gaya hidup, penggunaan alat bantu napas seperti CPAP, atau tindakan medis lainnya.

Dan satu hal lagi: jangan anggap ngorok itu cuma soal suara. Kadang suara itu adalah peringatan dari tubuh bahwa ada bahaya yang sedang mengintai diam-diam. Yuk, mulai lebih peduli dengan kualitas tidur kita. Karena tidur yang sehat, adalah pondasi jantung yang kuat. Bagikan tulisan ini pada orang terdekat Anda –terutama yang hobi ngorok– siapa tahu Anda sedang menyelamatkan nyawa mereka

 

Sumber : PERKI


Copyright by Markbro 2025. All rights reserved.