instalasi-gawat-darurat.png

Latar Belakang

Instalasi Gawat Darurat (IGD) adalah unit krusial rumah sakit yang menangani kasus medis akut dan mencerminkan kesiapan layanan cepat dan tepat.

Kompleksitas kasus seperti kecelakaan, stroke, dan bencana menuntut sistem IGD yang terstruktur, didukung tenaga terlatih, fasilitas memadai, dan pedoman standar.

Tujuan

Mewujudkan penyelenggaraan pelayanan Instalasi Gawat Darurat (IGD) yang bermutu tinggi, profesional, dan terintegrasi, dengan mengutamakan keselamatan pasien serta efektivitas penanganan pada situasi medis yang kritis atau mengancam jiwa.

Ruang Lingkup Pelayanan

Penanganan Kegawatdaruratan

Pelayanan terhadap pasien dengan kondisi medis akut yang mengancam nyawa atau berpotensi menimbulkan kecacatan permanen. Termasuk di dalamnya:

  1. Kegawatdaruratan medis dan bedah
  2. Kasus trauma (kecelakaan lalu lintas, kerja, rumah tangga)
  3. Kasus kritis seperti henti jantung, stroke akut, kejang, gagal napas, syok

Penerimaan Pasien Rujukan

  1. Pasien yang dirujuk dari fasilitas kesehatan primer atau rumah sakit lain dalam kondisi darurat.
  2. Penanganan awal dan koordinasi dengan layanan penunjang serta ruang rawat.

Tindakan Stabilisasi Awal

Penatalaksanaan awal untuk menstabilkan kondisi pasien sebelum diputuskan untuk:

  1. Alih rawat ke ruang perawatan
  2. Pulang ke rumah dengan atau tanpa kontrol lanjutan
  3. Rujuk keluar ke fasilitas yang lebih mampu

Ruang Lingkup Pelayanan

Klasifikasi Pasien Berdasarkan Kegawatdaruratan

  1. Resusitasi
    • Pasien dengan kondisi sangat kritis yang mengancam nyawa dan membutuhkan tindakan resusitasi segera tanpa penundaan.
  2. Emergent
    • Pasien dengan kondisi darurat yang berisiko menyebabkan kerusakan organ permanen, dan harus mendapat intervensi dalam waktu maksimal 10 menit.
  3. Urgent
    • Pasien dengan kondisi serius namun tidak mengancam jiwa secara langsung, namun tetap memerlukan penanganan dalam waktu tidak lebih dari 30 menit.
  4. Less Urgent
    • Pasien dengan keluhan ringan hingga sedang, namun memiliki riwayat penyakit serius atau potensi perburukan kondisi, dan sebaiknya ditangani dalam waktu maksimal 60 menit.
  5. False Emergency
    • Pasien yang datang tanpa kondisi gawat atau darurat. Penanganan tidak memerlukan tindakan segera dan pasien dapat diarahkan ke layanan rawat jalan atau non-emergensi lainnya.
  6. Death On Arrival (DOA)
    • Pasien yang tiba di IGD dalam keadaan tidak bernyawa, dan telah dinyatakan meninggal secara klinis oleh dokter jaga.

Alur Pelayanan IGD

Tahapan Alur Pelayanan

  1. Kedatangan Pasien:
    • Pasien datang sendiri/diantar/evakuasi medik; disambut tanpa hambatan administratif; tidak boleh minta uang muka.
  2. Triase:
    • Dilakukan segera oleh perawat terlatih untuk menentukan prioritas berdasarkan sistem ESI/CTAS (ABCDE).
  3. Penanganan & Resusitasi:
    • Prioritas 1 ditangani ≤ 5 menit; dilakukan resusitasi dan stabilisasi sesuai kondisi.
  4. Diagnosis Awal:
    • Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang; diagnosis ditegakkan/dikonsultasikan ke spesialis.
  5. Keputusan Lanjut:
    • Pasien dipulangkan, alih rawat, atau dirujuk sesuai kondisi dan kemampuan RS.
  6. Dokumentasi
    • Semua tindakan tercatat lengkap; rujukan disertai resume, surat, dan komunikasi dengan RS penerima.

Prinsip-prinsip Pelayanan dalam Alur IGD

  • Pelayanan 24 jam non-stop.
  • Semua pasien gawat darurat ditangani tanpa diskriminasi, sesuai UU dan peraturan yang berlaku.
  • Kolaborasi multiprofesi dalam penanganan pasien (dokter umum, dokter spesialis, perawat, radiografer, analis, dan apoteker).
  • Alur masuk dan keluar pasien di IGD harus mencegah cross infection.
  • Tersedia ruang isolasi dan dekontaminasi untuk kasus infeksius atau bencana kimia/biologis.

Standar Operasional Pelayanan

  1. Waktu Tanggap
    • Pasien gawat darurat wajib ditangani maksimal 5 menit setelah kedatangan.
    • Triase dilakukan segera oleh perawat terlatih menggunakan pendekatan ABCDE.
    • Keputusan alih rawat atau rujukan ditentukan dalam waktu yang tidak menunda keselamatan pasien.
  2. Pelayanan 24 Jam
    • Pasien yang dirujuk dari fasilitas kesehatan primer atau rumah sakit lain dalam kondisi darurat
    • Penanganan awal dan koordinasi dengan layanan penunjang serta ruang rawat
  3. Pelayanan tanpa uang Muka
    • Rumah sakit tidak diperkenankan meminta uang muka kepada pasien gawat darurat sebelum tindakan penyelamatan jiwa dilakukan, sesuai amanat Undang-Undang Rumah Sakit dan peraturan menteri kesehatan.

Sumber Daya

Sumber Daya Manusia (SDM)

Jenis SDM Kualifikasi dan Ketentuan
Dokter Umum Siaga 24 jam, memiliki pelatihan kegawatdaruratan (BLS, ACLS, ATLS, PPGD, dll)
Dokter Spesialis On-site/on-call sesuai klasifikasi (minimal 4 besar: Bedah, Obsgyn, Anak, Interna)
Perawat Minimal D-III Keperawatan, pelatihan Emergency Nursing, BTLS, BCLS
Non Medis Petugas administrasi, keamanan, dan pekarya 24 jam

Untuk memastikan jumlah sumber daya manusia di IGD mencukupi dan pelayanan berjalan efektif, digunakan metode estimasi kebutuhan tenaga berdasarkan beban kerja

Prinsip Dasar Perhitungan

Estimasi jumlah dokter dan perawat dihitung berdasarkan:

  1. Rata-rata kunjungan pasien IGD per hari.
  2. Rasio ideal jumlah pasien yang dapat ditangani oleh satu dokter atau perawat per shift.
  3. Pembagian shift kerja dalam satu hari.

Rasio Ideal

Berdasarkan literatur dan praktik terbaik:

  1. 1 dokter umum : 10–12 pasien baru/shift
  2. 1 perawat : 4–6 pasien aktif

Jika pasien memiliki tingkat kegawatan tinggi (resusitasi, trauma berat, intubasi), maka rasio pasien per tenaga kesehatan harus dikurangi untuk menjamin keselamatan pasien:

  1. Pada kasus resusitasi: ideal 1 pasien : 1 perawat
  2. Pada kasus urgent gawat (high acuity): ideal 1 pasien : 2 perawat

Rumus Perhitungan

  1. Jumlah kebutuhan dokter per shift =
    (Jumlah kunjungan pasien IGD per hari ÷ jumlah shift per hari) ÷ 10 pasien
  2. Jumlah kebutuhan perawat per shift =
    (Jumlah kunjungan pasien IGD per hari ÷ jumlah shift per hari) ÷ 5 pasien

(Catatan: angka pembagi dapat disesuaikan antara 4–6 pasien per perawat sesuai kompleksitas kasus di IGD.)

Contoh Perhitungan

  1. Jika rumah sakit memiliki kunjungan IGD rata-rata 120 pasien per hari dan menggunakan sistem 3 shift:
  2. Jumlah pasien per shift = 120 ÷ 3 = 40 pasien per shift.
  3. Maka kebutuhan:
    1. Dokter IGD: 40 ÷ 10 = 4 dokter umum per shift.
    1. Perawat IGD: 40 ÷ 5 = 8 perawat per shift.
  4. Jika volume pasien meningkat atau banyak kasus berat, jumlah dokter dan perawat perlu ditambah untuk menghindari overload pelayanan.

Sarana dan Prasarana

  • Ruang triase, tindakan, resusitasi, observasi, isolasi, dan ruang tunggu keluarga.
  • Pintu masuk dan keluar IGD harus terpisah dengan akses jelas dan ramah untuk brankar.
  • Dekat dengan apotek 24 jam dan memiliki akses ambulans yang terlindung dari cuaca.

Alat Medis dan Penunjang

  • Ventilator portable, defibrillator, suction, EKG, nebulizer, oxygen concentrator.
  • Peralatan resusitasi lengkap untuk dewasa dan anak.
  • Alat imobilisasi (spine board, KED, neck collar) dan peralatan evakuasi.
  • Obat emergensi dan bahan habis pakai tersedia tanpa menunggu resep.

Implementasi Sistem Triase Modern Berbasis Prioritas Kegawatan

  • Gunakan sistem triase 5-level (ESI) dengan pendekatan ABCDE.
  • Fast track untuk pasien non-kritis.

Optimalisasi Komunikasi Proaktif Kepada Pasien dan Keluarga

  • Edukasi alur & estimasi waktu tunggu sejak kedatangan.
  • Petugas memperkenalkan diri dan sampaikan permohonan maaf bila terlambat.
  • Area tunggu bersih dan informatif.

Penilaian dan Penatalaksanaan Nyeri Sejak Triase

  • Skala nyeri dinilai saat triase.
  • Analgesik diberikan ≤30 menit bila nyeri berat.
  • Terapkan protokol Pain Management Pathway.

Penerapan Alur Klinis untuk Kasus Emergensi Tinggi

  • ESepsis Alert (bundle 1 jam)
  • Code Stroke (<4,5 jam → CT & trombolisis)
  • Code STEMI (EKG ≤10 menit + aktivasi PCI)

Fokus Utama Dalam Implementasi Layanan

Monitoring dan Evaluasi Waktu Tunggu serta Outcome Pasien

  1. Pantau waktu triase → tindakan, dokter, terapi awal.
  2. Audit rutin & pantau outcome IGD.

Penguatan Koordinasi Internal dan Eksternal

  1. Sinergi dengan ICU, OK, lab, farmasi, ambulans.
  2. Rujukan dengan handover klinis & dokumen standar.

Pelaksanaan Prinsip Zero Delay untuk Kasus Gawat Darurat

  1. Tidak ada penundaan medis karena administrasi.
  2. Emergency First: utamakan keselamatan pasien.

Pencegahan Infeksi Nosokomial di IGD

  1. Ruang isolasi untuk kasus infeksius.
  2. Dekontaminasi alat & pemantauan hand hygiene harian.

 

Sumber: Dr. Galih Endradita M


klasifikasi-rumah-sakit.png

Selama bertahun-tahun, rumah sakit di Indonesia dibagi ke dalam kelas A, B, C, dan D. Klasifikasi ini umumnya ditentukan dari jumlah tempat tidur dan ketersediaan dokter spesialis. Contohnya, RS kelas A biasanya adalah rumah sakit besar dengan banyak tempat tidur dan layanan lengkap, sedangkan RS kelas D adalah rumah sakit kecil yang hanya punya layanan dasar. Sistem ini juga digunakan dalam sistem rujukan pasien BPJS — semakin tinggi kelas rumah sakit, semakin besar pula tarif yang dibayarkan oleh pemerintah.

Namun, dalam praktiknya, sistem ini tidak selalu mencerminkan kemampuan nyata rumah sakit dalam memberikan pelayanan. Bisa saja sebuah RS kelas B tidak memiliki alat atau tenaga medis yang memadai, sementara RS kelas C di tempat lain justru punya layanan lebih lengkap. Sistem kelas ini juga kerap digunakan hanya untuk menaikkan tarif klaim tanpa benar-benar meningkatkan mutu layanan.Melihat ketidaksesuaian tersebut, pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatanmemutuskan untuk menghapus klasifikasi A, B, C, dan D, dan menggantinya dengan klasifikasi yang lebih mencerminkan jenis dan kemampuan layanan rumah sakit

 

Klasifikasi Baru: Berdasarkan Kemampuan Pelayanan

Mulai saat ini (2025), rumah sakit akan dibagi berdasarkan tingkat kemampuannya dalam memberikan pelayanan, yaitu:

  1. Rumah Sakit Dasar: memberikan layanan kesehatan dasar, seperti pemeriksaan umum, layanan rawat inap sederhana, dan tindakan medis standar.
  2. Rumah Sakit Madya: punya layanan spesialis dasar, beberapa layanan penunjang lanjutan, serta bisa menangani kasus yang sedikit lebih kompleks.
  3. Rumah Sakit Utama: memiliki layanan spesialis dan sebagian subspesialis, serta fasilitas pendukung yang lebih lengkap seperti ICU lanjutan, radiologi canggih, dan ruang operasi kompleks.
  4. Rumah Sakit Paripurna: memiliki layanan paling lengkap, termasuk layanan subspesialis, teknologi kesehatan paling mutakhir, serta seringkali menjadi rumah sakit rujukan nasional.

Dengan klasifikasi ini, pemerintah ingin fokus pada kualitas dan kapasitas nyata rumah sakit, bukan sekadar ukuran fisik atau jumlah tempat tidur. Jadi, rumah sakit akan dinilai dari apa yang benar-benar bisa mereka lakukan dan tangani, bukan dari label kelasnya saja.

Perubahan ini dilakukan karena:

  • Sistem kelas A–D sering tidak mencerminkan kemampuan pelayanan sebenarnya.
  • Banyak rumah sakit berlomba-lomba naik kelas hanya untuk menaikkan tarif, bukan untuk meningkatkan mutu.
  • Pasien sering dirujuk ke RS “kelas lebih tinggi” yang ternyata tidak mampu menangani penyakitnya.
  • Pemerintah ingin membuat sistem rujukan yang lebih tepat sasaran dan efisien.
  • Sistem pembayaran BPJS ke depan akan berbasis tingkat keparahan penyakit, bukan berdasarkan kelas rumah sakit.

Dengan sistem baru ini, rumah sakit akan dituntut untuk jujur dan transparan tentang layanan yang mereka miliki, sehingga pasien bisa langsung dirujuk ke rumah sakit yang benar-benar mampu menangani kondisi kesehatannya.

Apa Dampaknya bagi Rumah Sakit?

  1. Izin rumah sakit akan mencantumkan klasifikasi baru: Dasar, Madya, Utama, atau Paripurna.
  2. Rumah sakit perlu menyesuaikan standar pelayanan, fasilitas, dan SDM agar sesuai dengan klasifikasi yang diinginkan.
  3. Rumah sakit harus siap menjadi bagian dari jejaring rujukan baru berdasarkan kemampuan pelayanan, bukan lagi berdasarkan kelas.
  4. Pendapatan dari klaim BPJS tidak lagi ditentukan oleh kelas, tapi oleh jenis penyakit dan kompleksitas penanganannya.
  5. Rumah sakit yang mampu memberikan layanan lebih kompleks akan menangani kasus lebih berat dan menerima klaim lebih besar.
  6. Rumah sakit yang ingin naik ke klasifikasi lebih tinggi perlu berinvestasi dalam alat, SDM, dan sistem mutu layanan.

Perubahan klasifikasi ini membawa berbagai implikasi bagi manajemen dan pengelolaan rumah sakit:

  • Penyesuaian Perizinan dan Standar Layanan: Rumah sakit perlu menyesuaikan diri dengan kriteria kategori baru. Klasifikasi Dasar/Madya/Utama/Paripurna akan dicantumkan dalam izin operasional RS, menggantikan penyebutan kelas A/B/C/D. Oleh karena itu, manajemen RS harus memastikan pemenuhan standar fasilitas dan layanan sesuai tingkat yang diinginkan. Misalnya, untuk diakui sebagai RS Utama atau Paripurna, RS harus memiliki jumlah dan jenis spesialis serta subspesialis tertentu, layanan penunjang lengkap (ICU, radiologi canggih, laboratorium lengkap, dsb), dan kapasitas penelitian/pendidikan (bila relevan). Hal ini mendorong investasi rumah sakit pada peningkatan sarana dan kompetensi SDM. Rumah sakit berhak menentukan jumlah, jenis, dan kualifikasi SDM-nya sesuai klasifikasinya, yang berarti RS tingkat lebih tinggi dapat merekrut lebih banyak spesialis sesuai kebutuhan layanannya. Di sisi lain, pemerintah akan memperketat pengawasan agar setiap RS menjaga mutu layanan sesuai level-nya; kegagalan memenuhi standar bisa berakibat penyesuaian ulang klasifikasi (turun level).
  • Sistem Rujukan yang Lebih Terstruktur: Dengan kategori baru, pemerintah dapat merancang jejaring rujukan berjenjang berbasis kompetensi. Rumah Sakit Paripurna akan berperan sebagai pusat rujukan tertinggi (termasuk rujukan nasional), RS Utama sebagai pusat rujukan regional/provinsi, dan RS Madya/Dasar untuk lingkup layanan kabupaten/kota. Implementasi ini sudah mulai tampak dalam program Transformasi Layanan RujukanKemenkes. Contohnya, Kemenkes menargetkan setiap provinsi memiliki RS Utama untuk layanan kanker (mampu melakukan kemoterapi dan bedah onkologi lanjut) dan setiap kabupaten minimal memiliki layanan Madya untuk kanker (bedah tumor dasar dan kemoterapi). Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) ditunjuk sebagai RS Paripurna (pengampu) tingkat nasional yang membina RS di bawahnya melalui program jejaring pengampuan layanan kanker tersebut. Pola serupa dapat diterapkan pada layanan jantung, stroke, dan kasus kompleks lain, sehingga ada alur rujukan jelas: kasus sederhana cukup ditangani di RS Dasar/Madya, sedangkan kasus berat langsung ke RS Utama/Paripurna tanpa melewati tahap yang tidak perlu. Bagi rumah sakit, ini berarti harus siap berjejaring dan meningkatkan kapasitas sesuai perannya dalam sistem rujukan baru.
  • Dampak pada Pembiayaan dan Manajemen Internal: Dengan dihapuskannya kelas A-D dalam skema tarif JKN, manajemen RS perlu menyesuaikan strategi finansial. Pendapatan dari klaim BPJS akan bergantung pada volume dan kompleksitas kasus yang ditangani (iDRG), bukan pada markup kelas rumah sakit. RS Paripurna dan Utama mungkin menangani kasus lebih berat sehingga menerima pembayaran lebih tinggi per kasus, namun mereka juga menanggung biaya operasional lebih besar untuk layanan canggih. Sebaliknya, RS Dasar/Madya akan fokus pada layanan dasar dengan tarif yang sesuai standar kasusnya. Kebijakan satu tarif ini mendorong efisiensi; manajemen RS harus meningkatkan efisiensi tanpa mengorbankan mutu agar dapat tetap sustain. Selain itu, klasifikasi baru bisa memengaruhi pola rujukan pasien umum non-JKN: masyarakat dan asuransi swasta akan lebih memperhatikan label kompetensi RS (misal memilih RS Paripurna untuk tindakan kompleks). Maka, branding dan kepercayaan publik akan kualitas RS sangat penting.
  • Transisi dan Penyesuaian SDM: Bagi tenaga kesehatan, perubahan klasifikasi ini membuka peluang penataan ulang distribusi. Rumah sakit tingkat Paripurna/Utama kemungkinan membutuhkan lebih banyak dokter subspesialis, perawat terlatih khusus, dan tenaga pendukung berkemampuan tinggi. Pemerataan tenaga ahli ke daerah akan didorong agar RS di berbagai provinsi bisa naik ke level Utama. Pemerintah dalam UU 17/2023 juga menekankan peningkatan dan pendayagunaan SDM kesehatan secara optimal di seluruh fasilitas pelayanan kesehatan. Manajemen RS perlu menjalin kemitraan dengan pusat pendidikan dan Kemenkes untuk pemenuhan SDM sesuai klasifikasi. Di sisi lain, insentif karir bagi tenaga kesehatan bisa disesuaikan: misal adanya program beasiswa atau penempatan bagi dokter agar RS di daerah terpenuhi spesialisnya dan naik kelas (menjadi Madya/Utama).

 

Sumber: Dr. Galih Endradita M


Pemerintah-Perkuat-Infrastruktur-Kesehatan-untuk-Mewujudkan-Visi-Indonesia-Emas-2045.png

Guna mewujudkan Visi Indonesia Emas 2045, Kementerian Kesehatan terus mengupayakan berbagai langkah strategis untuk meningkatkan derajat kesehatan dan kualitas hidup masyarakat. Upaya ini selaras dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045, khususnya dalam pilar Transformasi Sosial yang mengusung misi “Kesehatan untuk Semua”.

Salah satu inisiatif utama yang sedang dilakukan adalah meningkatkan aksesibilitas dan kualitas pelayanan kesehatan melalui pembangunan infrastruktur yang lebih modern dan memadai. Dalam hal ini, Kementerian Kesehatan mengajukan pembangunan Gedung RSAB Harapan Kita serta penataan kawasan Rumah Sakit 3 Berlian, yang mencakup Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita, Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita, dan Rumah Sakit Kanker Dharmais.

Dalam sambutannya Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin menegaskan bahwa investasi di sektor kesehatan dan pendidikan merupakan langkah utama dalam mewujudkan Indonesia sebagai negara berpenghasilan tinggi pada tahun 2045. Dalam pernyataannya, Menkes menyoroti pentingnya memastikan masyarakat sehat dan cerdas untuk meningkatkan daya saing dan kesejahteraan ekonomi.

“Bagi saya sebagai Menteri Kesehatan, ini adalah pekerjaan yang sangat menantang agar masyarakat Indonesia dapat lebih sehat dan lebih pintar. Itulah mengapa, sebagai bagian dari pembangunan, jika kita berinvestasi di sektor kesehatan dan pendidikan, kita tidak akan pernah salah,” ujar Menkes Budi.

Menkes juga menekankan bahwa meskipun Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah dan infrastruktur yang terus berkembang, kemajuan ekonomi tetap bergantung pada kualitas sumber daya manusia.

Dalam kesempatan tersebut, Menkes mengungkapkan bahwa Indonesia menempati peringkat ketiga dunia dalam jumlah kelahiran bayi, setelah India dan China, dengan rata-rata 4,8 juta bayi lahir setiap tahunnya. Namun, angka kematian bayi yang masih tinggi serta prevalensi stunting sebesar 20% menjadi tantangan besar bagi pembangunan sumber daya manusia di Indonesia.

“Lebih dari 30.000 bayi meninggal setiap tahun, dan angka stunting mencapai 20%. Ini berdampak pada tingkat kecerdasan yang lebih rendah. Jadi, bagaimana kita bisa menghasilkan seseorang yang cukup pintar untuk mendapatkan penghasilan 14.000 dolar AS per tahun jika mereka tidak cerdas sejak kecil,” ungkap Menkes.

Presiden Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) Mr. Jin Liqun, yang hadir untuk mengunjungi tiga rumah sakit tersebut menyampaikan apresiasi kepada Pemerintah Indonesia, khususnya ke Kementerian Kesehatan, atas visi dan dedikasi dalam memperkuat sektor kesehatan nasional.

“Sungguh mengharukan melihat betapa besar kepedulian Anda terhadap ibu dan anak. Karena upaya Anda, masyarakat Indonesia, khususnya ibu dan anak, dapat memiliki masa depan yang lebih baik daripada yang seharusnya mereka alami. Anak-anak adalah masa depan negara ini. Mereka merupakan harapan bagi pembangunan, perdamaian, dan kesejahteraan Indonesia, kawasan Asia, dan dunia secara lebih luas,” ujar Presiden AIIB.

 

Sumber : Kemenkes


kriteria-dan-tahapan.jpg

KEGAWATDARURATAN

RPMK ini membahas secara rinci tentang penanganan kegawatdaruratan di fasilitas pelayanan kesehatan, kriteria kegawatdaruratan, dan tata cara pelaksanaan pelayanan dalam situasi darurat. Hal ini meliputi pelayanan di pra fasilitas, intra fasilitas, dan antar fasilitas pelayanan kesehatan.

Kriteria Kegawatdaruratan

  • Pasal 294 menjelaskan bahwa pelayanan dalam penanganan kegawatdaruratan medis dapat dilakukan oleh tenaga medis atau tenaga kesehatan yang bertugas. Pelayanan ini diberikan di luar kewenangan yang biasanya berlaku dalam rangka menyelamatkan nyawa pasien atau mencegah kecacatan (disabilitas). Tindakan ini perlu dilakukan segera, mengutamakan keselamatan pasien yang sedang dalam kondisi darurat medis.

Kriteria kegawatdaruratan medis meliputi:

  1. Situasi yang mengancam nyawa: Kondisi pasien yang jika tidak segera ditangani dapat menyebabkan kematian.
  2. Membahayakan diri sendiri, orang lain, atau lingkungan: Contoh situasi seperti ini adalah pasien dengan gangguan mental yang membahayakan dirinya sendiri atau orang di sekitarnya.
  3. Gangguan pada jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi: Ini termasuk kondisi seperti tersumbatnya jalan napas, sesak napas, atau gangguan sirkulasi darah yang signifikan.
  4. Penurunan kesadaran: Pasien yang mengalami kehilangan kesadaran mendadak memerlukan tindakan darurat.
  5. Gangguan hemodinamik: Misalnya, tekanan darah yang sangat rendah yang mengakibatkan aliran darah ke organ vital terganggu.
  6. Memerlukan tindakan segera: Semua kondisi yang memerlukan tindakan segera untuk menghindari kondisi yang lebih buruk seperti kematian atau kecacatan permanen.

Tambahan: Menteri Kesehatan dapat menetapkan kriteria tambahan jika ada kondisi khusus atau situasi yang belum tercakup dalam poin di atas. Hal ini memungkinkan fleksibilitas dalam menangani berbagai bentuk kegawatdaruratan.

Pelayanan dalam Kegawatdaruratan

  • Pasal 295 menekankan bahwa pelayanan kegawatdaruratan dapat dilakukan dalam tiga tahap, yaitu:
    1. Pra Fasilitas Pelayanan Kesehatan: Penanganan darurat di lokasi kejadian, sebelum pasien mencapai fasilitas kesehatan. Misalnya, memberikan pertolongan pertama atau tindakan penyelamatan di tempat kecelakaan.
    2. Intra Fasilitas Pelayanan Kesehatan: Penanganan di dalam fasilitas kesehatan seperti rumah sakit, puskesmas, klinik, atau tempat praktik dokter.
    3. Antar Fasilitas Pelayanan Kesehatan: Penanganan saat merujuk pasien dari satu fasilitas kesehatan ke fasilitas kesehatan lainnya yang memiliki kemampuan lebih baik dalam menangani kondisi pasien.

Penanganan Pra Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Pasal 296)

Penanganan di luar fasilitas pelayanan kesehatan mencakup dua bentuk utama:

  1. Tindakan Pertolongan: Tindakan penyelamatan langsung di tempat kejadian, seperti melakukan resusitasi jantung paru (CPR) atau menghentikan perdarahan.
  2. Evakuasi Medis: Pemindahan pasien dari lokasi kejadian ke fasilitas kesehatan yang sesuai menggunakan ambulans transportasi atau ambulans Gawat Darurat. Jika ambulans tidak tersedia, evakuasi dapat dilakukan menggunakan alat transportasi lain yang tersedia di sekitar, dengan tetap menjaga resusitasi dan stabilisasi pasien.

Penanganan Intra Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Pasal 297)

Penanganan intra fasilitas adalah layanan gawat darurat yang diberikan di dalam fasilitas kesehatan. Fasilitas yang dapat memberikan pelayanan kegawatdaruratan meliputi:

  • Puskesmas.
  • Klinik.
  • Tempat praktik mandiri dokter dan dokter gigi.
  • Rumah sakit.

Rumah sakit memiliki kategori pelayanan gawat darurat yang dibagi menjadi empat level, berdasarkan kemampuan dan peralatan yang tersedia untuk menangani kasus-kasus darurat:

  1. Level I: Menangani kondisi kegawatdaruratan dasar dengan kemampuan dasar seperti resusitasi dan stabilisasi.
  2. Level II: Memiliki kemampuan tambahan seperti penggunaan EKG, defibrilasi, dan kemampuan melakukan bedah emergensi.
  3. Level III: Dilengkapi dengan alat yang lebih lengkap seperti ventilator, serta adanya Ruang Observasi Emergensi (ROE) dan layanan bedah darurat.
  4. Level IV: Tingkat tertinggi dengan peralatan paling lengkap, termasuk kemampuan melakukan anestesi darurat.

 

Level Pelayanan Kegawatdaruratan Intrafasilitas

  • Pasal 298 merinci kemampuan tiap level pelayanan kegawatdaruratan di rumah sakit. Setiap level memiliki protokol dan fasilitas yang berbeda, menyesuaikan dengan tingkat keseriusan kondisi darurat yang dihadapi pasien.
    1. Pelayanan Kegawatdaruratan Level I:
      • Diagnosis dan penanganan masalah pada jalan napas, ventilasi pernapasan, dan sirkulasi.
      • Melakukan resusitasi dasar dan stabilisasi.
    2. Pelayanan Kegawatdaruratan Level II:
      • Diagnosa lebih lanjut menggunakan peralatan yang lebih canggih seperti EKG.
      • Melakukan tindakan emergensi seperti bedah darurat.
    3. Pelayanan Kegawatdaruratan Level III:
      • Memiliki Ruang Observasi Emergensi (ROE).
      • Dilengkapi alat-alat canggih termasuk ventilator.
    4. Pelayanan Kegawatdaruratan Level IV:
      • Dilengkapi dengan kemampuan anestesi darurat.
      • Peralatan lengkap untuk diagnosis dan tindakan darurat yang lebih kompleks.

 

Persyaratan Pelayanan Kegawatdaruratan

  • Pasal 299: Penanganan kegawatdaruratan di fasilitas pelayanan kesehatan dilakukan di ruang pelayanan Gawat Darurat (IGD) untuk rumah sakit, atau ruang tindakan untuk puskesmas, klinik, dan tempat praktik dokter/dokter gigi mandiri. Jika diperlukan, penanganan darurat juga dapat dilakukan di ruangan lain di dalam fasilitas.
  • Pasal 300: Fasilitas kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kegawatdaruratan harus memenuhi sejumlah persyaratan, yaitu:
    1. Sumber daya manusia yang kompeten, meliputi dokter, perawat, dan tenaga kesehatan lainnya yang memiliki kemampuan khusus dalam menangani kasus darurat.
    2. Sarana dan prasarana yang memadai, termasuk peralatan medis yang dibutuhkan untuk penanganan darurat.
    3. Obat-obatan dan bahan medis habis pakai yang selalu tersedia.
    4. Alat kesehatan yang sesuai standar untuk menangani kondisi kegawatdaruratan.
  • Pasal 301 menambahkan bahwa sumber daya manusia harus disesuaikan dengan jenis dan kemampuan fasilitas kesehatan. Kompetensi kegawatdaruratan menjadi syarat wajib bagi tenaga medis dan tenaga kesehatan yang terlibat.
  • Pasal 302:
    1. Tenaga medis yang memberikan pelayanan di luar kewenangan harus merupakan dokter atau dokter gigi yang bertanggung jawab atas pelayanan kegawatdaruratan. Mereka memiliki kewenangan untuk menetapkan apakah pasien masuk dalam kategori kegawatdaruratan medis.
    2. Penanggung jawab pelayanan kegawatdaruratan di puskesmas, klinik, dan rumah sakit harus ditetapkan oleh pimpinan fasilitas kesehatan, kecuali untuk praktik mandiri.

Dalam manajemen kegawatdaruratan, RPMK di atas sudah mencakup banyak aspek penting, namun ada beberapa elemen yang bisa ditambahkan untuk melengkapi kerangka kerja manajemen kegawatdaruratan yang lebih komprehensif, terutama terkait kebijakan manajemen, pelatihan, dan evaluasi. Berikut ini adalah beberapa aspek yang kurang atau bisa ditambahkan beserta penjelasannya:

1. Pelatihan dan Kompetensi Berkelanjutan

Tambahan yang diperlukan: Penting untuk menyertakan bagian yang secara eksplisit mengatur mengenai pelatihan berkelanjutan bagi tenaga medis dan kesehatan yang terlibat dalam penanganan kegawatdaruratan. Kompetensi kegawatdaruratan bukanlah kompetensi yang statis, karena prosedur dan alat-alat medis terus berkembang. Oleh karena itu, pelatihan dan pembaruan sertifikasi secara rutin harus dijadikan syarat, terutama untuk tenaga yang menangani pasien dalam kondisi darurat.

Rekomendasi tambahan: Wajib pelatihan simulasi (simulasi trauma, simulasi kode biru, dsb.) untuk memastikan kesiapan staf di semua level fasilitas kesehatan.

Referensi:

  • World Health Organization (WHO), Health Emergency Preparedness, Response and Resilience.
  • American College of Emergency Physicians (ACEP), Guidelines for Emergency Department Planning and Resource Guidelines.

2. Manajemen Risiko dan Keselamatan Pasien

Tambahan yang diperlukan: Ada baiknya dokumen ini mencakup protokol manajemen risiko yang sistematis untuk mengidentifikasi dan menilai risiko potensial pada setiap tahap penanganan kegawatdaruratan. Proses ini mencakup penilaian risiko terkait kegagalan dalam proses evakuasi, kesalahan diagnosis dalam kondisi gawat darurat, serta gangguan dalam komunikasi antar fasilitas kesehatan.

Rekomendasi tambahan: Protokol keselamatan pasien harus diintegrasikan, termasuk sistem pelaporan insiden atau kesalahan medis secara anonim untuk memperbaiki sistem.

Referensi:

  • Joint Commission International (JCI) Standards for Emergency Care.
  • Australian Commission on Safety and Quality in Health Care, National Safety and Quality Health Service Standards.

3. Penggunaan Teknologi dalam Penanganan Darurat

Tambahan yang diperlukan: RPMK ini tidak membahas penggunaan teknologi modern yang bisa membantu dalam kegawatdaruratan, seperti sistem triase digital, telemedicine untuk konsultasi darurat, atau penggunaan drone untuk pengiriman alat medis darurat di daerah terpencil. Teknologi ini dapat sangat membantu dalam meningkatkan respons kegawatdaruratan, terutama di daerah yang sulit diakses.

Rekomendasi tambahan: Sertakan kebijakan mengenai penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) untuk mendukung manajemen kegawatdaruratan, termasuk rekam medis elektronik, aplikasi penunjang triase, dan telemedicine untuk membantu diagnostik jarak jauh dalam kondisi darurat.

Referensi:

  • WHO, eHealth in Emergency Management.
  • Telemedicine and e-Health, Journal, Telemedicine in Emergency Medicine: A Practical Guide.

4. Koordinasi Antar Fasilitas dan Pemangku Kepentingan

Tambahan yang diperlukan: RPMK ini perlu lebih memperjelas sistem koordinasi antara berbagai pihak yang terlibat dalam situasi darurat, seperti koordinasi dengan layanan ambulans, dinas kesehatan daerah, dan sistem rujukan. Penting juga untuk mencakup penanganan dalam konteks bencana alam atau keadaan darurat massal, yang membutuhkan kolaborasi dengan instansi lain seperti Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB) atau TNI/Polri.

Rekomendasi tambahan: Menyertakan protokol standar untuk koordinasi multi-agency dalam situasi darurat massal, serta rencana kontingensi untuk situasi yang melibatkan banyak korban.

Referensi:

  • Sphere HandbookHumanitarian Charter and Minimum Standards in Humanitarian Response.
  • Federal Emergency Management Agency (FEMA), National Incident Management System.

5. Sistem Triage yang Lebih Rinci

Tambahan yang diperlukan: Sistem triase yang lebih spesifik dan mendalam sebaiknya dijelaskan, termasuk kriteria prioritas yang jelas untuk menangani pasien berdasarkan tingkat keparahan. Ini bisa mencakup sistem seperti Emergency Severity Index (ESI) yang sering digunakan untuk memilah pasien di ruang gawat darurat.

Rekomendasi tambahan: Integrasi sistem triase warna (misal: merah untuk kasus paling kritis, kuning untuk kondisi serius tapi tidak mengancam nyawa, hijau untuk kasus yang lebih ringan) atau penggunaan protokol START (Simple Triage and Rapid Treatment).

Referensi:

  • American College of Emergency Physicians (ACEP), Emergency Severity Index (ESI): A Triage Tool for Emergency Department.
  • WHO, Triage in Emergency Care.

6. Evaluasi dan Audit Kinerja Pelayanan Gawat Darurat

Tambahan yang diperlukan: Setiap fasilitas kesehatan yang menyelenggarakan layanan kegawatdaruratan sebaiknya menjalani audit reguler dan evaluasi kinerja untuk memastikan kepatuhan terhadap standar pelayanan yang telah ditetapkan. Evaluasi kinerja ini harus melibatkan pemantauan terhadap waktu respons, kepuasan pasien, serta tingkat keberhasilan penanganan darurat.

Rekomendasi tambahan: Menerapkan key performance indicators (KPIs) untuk pelayanan gawat darurat, seperti waktu tanggap pertama, hasil klinis, serta hasil pasien pasca-keluar dari layanan darurat.

Referensi:

  • Joint Commission International (JCI), Accreditation Standards for Hospitals.
  • International Journal of Emergency MedicinePerformance Metrics in Emergency Medicine.

7. Persiapan dan Penanganan Kegawatdaruratan pada Keadaan Bencana

Tambahan yang diperlukan: RPMK sebaiknya mencakup strategi penanganan darurat pada situasi bencana, di mana layanan kegawatdaruratan harus beroperasi di luar kapasitas normal. Ini termasuk protokol untuk menangani mass casualty incidents (MCI), pembentukan pos darurat, serta prosedur evakuasi massal.

Rekomendasi tambahan: Menyusun rencana kontingensi untuk penanganan bencana besar dan situasi darurat massal, termasuk pelibatan pemangku kepentingan lain di luar fasilitas kesehatan seperti militer dan organisasi non-pemerintah.

 

Sumber: Dr. Galih Endradita M


Penugasan-Khusus-Tenaga-Kesehatan-Pelayanan-Terbaik-untuk-Daerah-Tertinggal.jpg

Sumber : Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksana UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan

Pasal 622

Penugasan khusus Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan merupakan pendayagunaan secara khusus Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dalam kurun waktu tertentu guna meningkatkan akses dan mutu Pelayanan Kesehatan pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan di

  1. daerah tertinggal,
  2. perbatasan,
  3. kepulauan, serta
  4. daerah bermasalah Kesehatan dan Rumah Sakit pemerintah yang memerlukan pelayanan medik spesialis, serta
  5. memenuhi kebutuhan Pelayanan Kesehatan lain oleh Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan.

Penugasan khusus Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan untuk memenuhi kebutuhan Pelayanan Kesehatan lain dapat dilakukan pada

  1. daerah tidak diminati yang membutuhkan Pelayanan Kesehatan atau
  2. dalam rangka penanganan KLB, Wabah, dan bencana.

Penugasan khusus dilaksanakan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai perencanaan nasional dengan memperhatikan kebutuhan Pelayanan Kesehatan, ketersediaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan, serta memperhatikan daerah tertinggal, perbatasan, dan kepulauan.

Menteri menetapkan jenis Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang menjadi prioritas, kriteria, dan penetapan Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang menjadi lokasi penugasan khusus. Penetapan menjadi acuan bagi gubernur atau bupati/wali kota dalam melakukan penugasan khusus.

Penyediaan Sarana dan Prasaran serta Tunjangan (Pasal 623)

Dalam rangka penugasan khusus Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan, Pemerintah Daerah wajib menyediakan Alat Kesehatan, Sediaan Farmasi, serta sarana dan prasarana sesuai dengan Pelayanan Kesehatan yang diperlukan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan fasilitas lainnya sesuai dengan kemampuan daerah masing-masing.

Selain kewajiban Pemerintah Daerah dapat memberikan tunjangan daerah bagi peserta penugasan khusus yang ditugaskan oleh Pemerintah Pusat sesuai dengan kemampuan keuangan daerah masing-masing

Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang didayagunakan melalui penugasan khusus berhak:

  1. memperoleh penghasilan;
  2. memperoleh jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, dan jaminan kematian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan ;
  3. memperoleh cuti;
  4. menjalankan praktik perseorangan sepanjang dilaksanakan di luar jam kera dan tidak mengganggu pelayanan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan tempat penugasan khusus serta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan ;
  5. memperoleh surat keterangan selesai melaksanakan penugasan khusus;
  6. memperoleh jaminan keamanan; dan
  7. memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

 

Sumber: Dr. Galih Endradita M


Prosedur-dan-Persetujuan-Rujukan-Kesehatan.jpg

Rujukan pelayanan kesehatan di Indonesia diatur dalam Permeneks Nomor 16 Tahun 2024, Pasal 12, yang mewajibkan adanya kriteria khusus untuk pelaksanaan rujukan dalam sistem rujukan terintegrasi secara online.

Kriteria Rujukan

Rujukan pelayanan kesehatan perseorangan dilakukan apabila memenuhi minimal satu kriteria sesuai sistem rujukan terintegrasi. Proses ini harus mendapatkan persetujuan pasien atau pihak yang mewakili.

Persetujuan Rujukan

  • Jika Pasien Sadar Baik: Persetujuan langsung diberikan oleh pasien.
  • Jika Pasien Mengalami Gangguan Kesadaran: Persetujuan harus diperoleh dari keluarga inti, seperti ayah, ibu, pasangan, saudara kandung, atau anak kandung, sesuai ketentuan dalam UU Nomor 17 Tahun 2023 dan PP Nomor 28 Tahun 2024.

Isi Penjelasan Sebelum Persetujuan

Fasilitas pelayanan kesehatan wajib memberikan penjelasan menyeluruh kepada pasien atau wakilnya. Informasi ini meliputi:

  1. Diagnosis penyakit.
  2. Indikasi rujukan.
  3. Tindakan pelayanan kesehatan yang dilakukan serta tujuannya.
  4. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi.
  5. Alternatif tindakan lain beserta risikonya.
  6. Risiko jika tindakan tidak dilakukan.
  7. Prognosis pasca tindakan.
  8. Transportasi rujukan yang akan digunakan.

Kondisi yang Membatalkan Rujukan

Rujukan tidak dapat dilakukan apabila:

  1. Pasien tidak dapat ditransportasikan karena alasan medis, keterbatasan sumber daya, atau kondisi geografis.
  2. Pasien atau keluarga pasien menolak rujukan.

Tindakan Lanjutan Jika Rujukan Tidak Dilakukan

Jika rujukan tidak memungkinkan, fasilitas pelayanan kesehatan perujuk wajib memberikan perawatan sesuai kompetensinya untuk memastikan pasien tetap mendapatkan pelayanan medis yang optimal.

 

Sumber: Dr. Galih Endradita M


artikel-35.jpg

Penurunan kelas rumah sakit, atau klasifikasi rumah sakit pasca kegiatan review kelas rumah sakit dapat memiliki dampak finansial dan non-finansial yang signifikan.

Dampak Finansial

  1. Pendapatan Berkurang:
  • Reimbursemen BPJS Kesehatan: Rumah sakit dengan kelas yang lebih rendah menerima tarif yang lebih rendah dari BPJS Kesehatan. Hal ini secara langsung mengurangi pendapatan rumah sakit.
  • Pasien Asuransi: Asuransi swasta biasanya membayar lebih tinggi untuk perawatan di rumah sakit dengan kelas lebih tinggi. Penurunan kelas dapat menyebabkan turunnya tarif yang dibayarkan oleh asuransi swasta.
  1. Jumlah Pasien Menurun:
  • Kepercayaan Pasien: Pasien cenderung memilih rumah sakit dengan kelas yang lebih tinggi karena dianggap memiliki fasilitas dan layanan yang lebih baik.
  • Rujukan: Dokter dan institusi lain mungkin lebih jarang merujuk pasien ke rumah sakit dengan kelas lebih rendah.
  1. Biaya Operasional:
  • Efisiensi: Penurunan kelas dapat menyebabkan rumah sakit perlu mengurangi staf atau layanan, yang pada akhirnya bisa mempengaruhi efisiensi operasional.
  • Pengurangan Subsidi: Bantuan atau subsidi dari pemerintah atau pihak ketiga bisa berkurang karena penurunan status rumah sakit.
  1. Investasi dan Pengembangan:
  • Investasi Terbatas: Dengan pendapatan yang berkurang, rumah sakit mungkin kesulitan untuk melakukan investasi dalam peralatan medis baru atau memperluas fasilitas.
  • Proyek Pengembangan Ditunda: Rencana pengembangan rumah sakit bisa ditunda atau dibatalkan karena keterbatasan anggaran.

Dampak Non-Finansial

  1. Reputasi dan Kepercayaan Publik:
  • Kepercayaan Pasien: Penurunan kelas dapat menurunkan kepercayaan pasien terhadap kualitas layanan rumah sakit.
  • Citra Rumah Sakit: Reputasi rumah sakit di mata masyarakat dan profesional kesehatan dapat menurun.
  1. Kualitas Layanan:
  • Standar Perawatan: Rumah sakit dengan kelas yang lebih rendah mungkin memiliki standar perawatan yang lebih rendah, karena keterbatasan sumber daya dan fasilitas.
  • Kepuasan Pasien: Kepuasan pasien dapat menurun jika mereka merasa bahwa mereka tidak mendapatkan perawatan yang memadai.
  1. Moral dan Motivasi Staf:
  • Kepuasan Kerja: Penurunan kelas bisa menyebabkan penurunan moral dan motivasi di antara staf, yang merasa bahwa upaya mereka tidak dihargai atau diakui.
  • Turnover Staf: Staf medis yang berkualitas mungkin memilih untuk pindah ke rumah sakit dengan kelas yang lebih tinggi untuk mendapatkan penghargaan yang lebih baik dan kesempatan karir yang lebih baik.
  1. Hubungan dengan Pihak Ketiga:
  • Kemitraan: Penurunan kelas dapat mempengaruhi hubungan rumah sakit dengan pihak ketiga seperti pemasok, donor, dan mitra kerja lainnya.
  • Kolaborasi Penelitian: Rumah sakit dengan kelas lebih rendah mungkin mengalami kesulitan untuk menarik kolaborasi dalam penelitian medis dan klinis.
  1. Regulasi dan Kepatuhan:
  • Kepatuhan Terhadap Standar: Penurunan kelas dapat menunjukkan bahwa rumah sakit tidak lagi mematuhi standar tertentu, yang bisa menyebabkan masalah dengan regulator dan badan akreditasi.
  • Audit dan Inspeksi: Rumah sakit mungkin menghadapi lebih banyak audit dan inspeksi untuk memastikan bahwa mereka memenuhi standar minimum yang diperlukan.

Secara keseluruhan, penurunan kelas rumah sakit dapat menyebabkan penurunan pendapatan, berkurangnya jumlah pasien, dan tantangan operasional yang lebih besar. Selain itu, dampak non-finansial seperti reputasi, kualitas layanan, moral staf, dan hubungan dengan pihak ketiga juga dapat terpengaruh secara negatif. Oleh karena itu, sangat penting bagi manajemen rumah sakit untuk berupaya mempertahankan atau meningkatkan kelas rumah sakit mereka guna menghindari dampak negatif ini.

 

Sumber: Dr. Galih Endradita M


artikel-33.jpg

Uraian Detil tentang Peraturan Internal Rumah Sakit (Hospital By Law)

1. Pendahuluan
Peraturan internal rumah sakit atau dikenal dengan istilah Hospital By Law merupakan serangkaian aturan dan ketentuan yang dibuat oleh manajemen rumah sakit untuk memastikan operasional rumah sakit berjalan dengan baik dan sesuai dengan standar pelayanan kesehatan yang berlaku. Hospital By Law merupakan landasan hukum internal yang mengatur segala aspek kegiatan di rumah sakit, mulai dari administrasi, operasional, hingga hubungan antar staf dan pasien. Peraturan ini juga memastikan bahwa semua pihak yang terlibat dalam operasional rumah sakit menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dengan baik dan sesuai dengan etika profesi.

2. Tujuan Peraturan Internal Rumah Sakit

  • Memastikan Kepatuhan: Hospital By Law bertujuan untuk memastikan bahwa semua aktivitas di rumah sakit berjalan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik dari sisi hukum kesehatan, peraturan pemerintah, maupun standar akreditasi rumah sakit.
  • Meningkatkan Kualitas Pelayanan: Peraturan ini berfungsi untuk menjaga dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan kepada pasien, dengan memastikan setiap staf menjalankan tugasnya dengan profesionalisme tinggi.
  • Mengatur Hubungan Antar Pihak di Rumah Sakit: Hospital By Law mengatur hubungan kerja antar tenaga kesehatan, antara tenaga kesehatan dan pasien, serta antara rumah sakit dengan pihak luar (misalnya pemasok dan mitra kerja).
  • Menjaga Keamanan dan Keselamatan: Peraturan ini bertujuan untuk melindungi hak dan keselamatan pasien, staf, dan pengunjung dengan mengatur prosedur keselamatan, termasuk pengelolaan risiko dan penanganan situasi darurat.

3. Implementasi dan Penegakan Peraturan

  • Sosialisasi: Peraturan ini harus disosialisasikan secara berkala kepada seluruh staf rumah sakit, pasien, dan pihak terkait lainnya melalui pelatihan, rapat, dan materi informasi.
  • Pemantauan dan Evaluasi: Rumah sakit harus memiliki mekanisme pemantauan dan evaluasi untuk memastikan kepatuhan terhadap Hospital By Law. Ini termasuk audit internal, survei kepuasan pasien, dan evaluasi kinerja staf.
  • Sanksi dan Penegakan Hukum: Hospital By Law harus mencantumkan jenis sanksi yang berlaku jika terjadi pelanggaran peraturan, mulai dari teguran hingga pemecatan. Penegakan hukum harus dilakukan dengan tegas namun adil, sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.

4. Pendekatan Penyusunan Hospital by Law

Pembuatan hospital by law sebelum Undang Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang kesehatan terbagi atau terklasifikasi sesuai dengan pembentukannya

  1. Corporate by Law, acuan hukum nya UU Perseroan terbatas dan UU Yayasan. sehingga corporate by law bentuk struktur yang tersebut didalamnya mengikuti kaidah organisasi pemilik atau holding atau corporate nya.
  2. Hospital by Law, acuan hukum nya UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang rumah sakit, didalam hospital by law mengatur ketentuan manajemen dan pelayanan secara keseluruhan
  3. Medical staf by law, acuan hukumnya UU Nomor 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran, didalamnya dilakukan pengaturan tentang KKI, Majelis disiplin, regulasi tentang praktik kedokteran lainnya.
  4. Nursing staf by law dan midwife staf by law, kedua nya mengikuti Undang Undang Keperawatan dan Undang Undang Kebidanan

seiring dengan diundangkannya Undang Undang Nomor 17 tahun 2023 tentang kesehatan, yang bersifat omnibus maka semua peraturan dijadikan menjadi 1 (satu)aturan tunggal, sehingga implikasinya semua dokumen peraturan internal kemudian dijadikan 1 (satu) mulai corporate by law, hospital by law, medical staf by law, nursing by law dan ketentuan by law lainnya.

 

Sumber: Dr. Galih Endradita M


artikel-32.jpg

Persetujuan tindakan, diberikan secara tertulis untuk metode suntik, alat kontrasepsi dalam rahim, implan, tubektomi, dan vasektomi

Tujuan

Pelayanan pengaturan kehamilan bertujuan membantu pasangan usia subur dalam mengambil keputusan tentang usia ideal untuk hamil, jumlah ideal anak, dan jarak ideal kelahiran anak, serta kondisi kesehatannya. Pelayanan pengaturan kehamilan dilaksanakan melalui penyelenggaraan program keluarga berencana, termasuk melalui pelayanan kontrasepsi.

Pelayanan kontrasepsi dilakukan terhadap kelompok usia subur yang terdiri atas:

  1. pasangan usia subur
  2. kelompok usia subur yang berisiko (Definisi: merupakan pasangan usia subur yang berisiko karena usia terlalu muda atau terlalu tua, jarak kehamilan yang terlalu dekat, memiliki anak terlalu banyak, dan berpotensi mengalami infeksi menular seksual)

Setiap usia subur berhak:

  1. memperoleh informasi tentang pelayanan kontrasepsi
  2. memperoleh akses ke pelayanan kontrasepsi dan
  3. memilih metode kontrasepsi untuk dirinya tanpa paksaan.

Metode kontrasepsi dilakukan sesuai pilihan pasangan usia subur dengan mempertimbangkan 

  1. usia,
  2. jumlah persalinan,
  3. jumlah anak,
  4. kondisi kesehatan, dan
  5. norma agama.

Pelayanan kontrasepsi bertujuan untuk:

  1. menunda kehamilan pada pasangan muda, yang istrinya belum berusia 20 (dua puluh) tahun, atau pasangan yang memiliki masalah kesehatan
  2. mengatur jarak kehamilan pada klien yang berusia antara 20 (dua puluh) sampai dengan 35 (tiga puluh lima) tahun; atau
  3. mencegah kehamilan yang tidak diinginkan pada semua pasangan dan pada pasangan dengan istri yang berusia lebih dari 35 (tiga puluh lima) tahun.

Pelayanan kontrasepsi dilakukan dengan cara yang aman, bermutu, dan bertanggung jawab. Pemberian pelayanan kontrasepsi harus dilakukan sesuai standar oleh Tenaga Medis dan/atau Tenaga Kesehatan sesuai dengan kompetensi dan kewenangannya.

Pelayanan kontrasepsi meliputi:

  1. kegiatan prapelayanan kontrasepsi
  2. tindakan pemberian pelayanan kontrasepsi, termasuk pelayanan kontrasepsi darurat; dan
  3. kegiatan pascapelayanan kontrasepsi.

Kegiatan prapelayanan kontrasepsi, dilakukan untuk menyiapkan klien dalam memilih metode kontrasepsi. Bentuk kegiatan prapelayanan kontrasepsi meliputi:

  1. pemberian komunikasi, informasi, dan
  2. edukasi tentang perencanaan kehamilan untuk menunda, menjarangkan/membatasi kelahiran dan pemilihan metode kontrasepsi yang tepat.

Bentuk kegiatan prapelayanan kontrasepsi meliputi:

  1. pemberian komunikasi, informasi dan edukasi tentang perencanaan kehamilan untuk menunda, menjarangkan/membatasi kelahiran dan pemilihan metode kontrasepsi yang tepat, dilakukan oleh Tenaga Medis, Tenaga Kesehatan, tenaga penyuluh keluarga berencana, dan kader sesuai dengan kompetensi dan kewenangan
  2. pemberian konseling tentang pilihan metode, efek samping, dan penanganan efek samping dengan menggunakan alat bantu pengambilan keputusan, dilakukan oleh Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan.
  3. penapisan kelayakan medis untuk memastikan pilihan metode kontrasepsi yang akan digunakan sesuai dengan kondisi kesehatan klien, dilakukan oleh Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan.
  4. persetujuan tindakan, diberikan secara tertulis untuk metode suntik, alat kontrasepsi dalam rahim, implan, tubektomi, dan vasektomi

Tindakan pemberian pelayanan kontrasepsi diberikan sesuai dengan pilihan klien dengan salah satu metode kontrasepsi yang masa pelaksanaan pelayanannya dapat dilakukan pada:

  1. masa interval
  2. pascapersalinan
  3. pascakeguguran dan
  4. pelayanan kontrasepsi darurat.

Pelayanan kontrasepsi darurat merupakan pelayanan kontrasepsi yang diberikan dalam kurun waktu kurang dari 5 (lima) hari pascasanggama pada ibu yang tidak terlindungi kontrasepsi, atau korban perkosaan untuk mencegah kehamilan. Pelayanan kontrasepsi darurat juga dapat diberikan kepada pengguna kontrasepsi yang tidak tepat dan korban kekerasan seksual lainnya yang dapat menyebabkan kehamilan.

Kegiatan pascapelayanan kontrasepsi meliputi:

  1. pemantauan dan penanganan efek samping, komplikasi, dan kegagalan penggunaan kontrasepsi; dan
  2. pemberian konseling, pelayanan medis, dan/atau rujukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Efek samping penggunaan kontrasepsi merupakan perubahan sistem, alat, dan fungsi tubuh yang timbul akibat penggunaan alat/obat kontrasepsi dan tidak berpengaruh serius terhadap klien. Komplikasi penggunaan kontrasepsi merupakan gangguan kesehatan yang dialami oleh klien sebagai akibat dari pemakaian kontrasepsi. Kegagalan penggunaan kontrasepsi merupakan terjadinya kehamilan pada klien ketika masih menggunakan kontrasepsi.

Metode kontrasepsi yang diberikan dalam pelayanan kontrasepsi terdiri atas:

  1. metode kontrasepsi jangka pendek meliputi kontrasepsi dengan
    • metode suntik,
    • pil,
    • kondom, dan
    • metode amenorhea laktasi
  2. metode kontrasepsi jangka panjang.

Metode kontrasepsi jangka panjang meliputi kontrasepsi dengan metode

  1. alat kontrasepsi dalam rahim,
  2. implan,
  3. vasektomi, dan
  4. tubektomi.

 

Sumber: Dr. Galih Endradita M


artikel-27.jpg

Definisi

Pelayanan Kesehatan reproduksi dengan bantuan merupakan Pelayanan Kesehatan yang dilakukan untuk memperoleh kehamilan di luar cara alamiah tanpa melalui proses hubungan suami istri atau sanggama apabila cara alami tidak memperoleh hasil.Reproduksi dengan bantuan dilakukan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta tidak bertentangan dengan norma agama. Pelayanan kesehatan reproduksi dengan bantuan dilaksanakan dengan pendekatan, meliputi:

  1. Pelayanan dengan pendekatan promotif dilaksanakan melalui pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi tentang pencegahan infertilitas, faktor penyebabnya, dan edukasi tentang reproduksi dengan bantuan.
  2. Pelayanan dengan pendekatan preventif dilaksanakan melalui deteksi dini infertilitas.
  3. Pelayanan dengan pendekatan kuratif dan rehabilitatif dilaksanakan melalui tata laksana masalah kesehatan dan terapi hormonal, serta pelayanan teknologi reproduksi dengan bantuan.

Batasan Pelayanan

Pelayanan teknologi reproduksi dengan bantuan merupakan pelayanan kesehatan yang dilaksanakan dengan menggunakan hasil pembuahan sperma dan ovum yang berasal dari suami istri yang bersangkutan dan ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal. Suami istri dibuktikan dengan surat nikah atau akta perkawinan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Reproduksi dengan bantuan dilarang untuk tujuan memilih jenis kelamin anak yang akan dilahirkan, kecuali untuk menghindari penyakit genetik yang berhubungan dengan jenis kelamin.

Dalam menyelenggarakan pelayanan teknologi reproduksi dengan bantuan dilarang melakukan

  1. Pelayanan donor sel telur,
  2. Donor spermatozoa,
  3. Donor embrio,
  4. Donor ovarium atau jaringannya,
  5. Donor testis atau jaringannya, serta
  6. Pelayanan pinjam rahim.

Lokasi Pelayanan

Pelayanan teknologi reproduksi dengan bantuan hanya dapat dilaksanakan di Rumah Sakit dan klinik utama tertentu yang ditetapkan oleh Menteri. Persyaratan dan standar Rumah Sakit dan klinik utama tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.Penetapan oleh Menteri dilaksanakan dengan pemberian izin usaha oleh Menteri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Alur Pelayanan

Pelayanan teknologi reproduksi dengan bantuan harus didahului dengan konseling dan persetujuan tindakan medis dari klien.Pelayanan teknologi reproduksi dengan bantuan dapat dilakukan dengan mengikuti perkembangan teknologi baru.

  1. Penyimpanan kelebihan embrio dilakukan hingga lahirnya bayi hasil reproduksi dengan bantuan.
  2. Penyimpanan kelebihan embrio dapat diperpanjang atas permintaan pasangan suami istri untuk kehamilan berikutnya. Penyimpanan kelebihan embrio dilakukan dengan teknik simpan beku yang juga berlaku untuk sel telur, spermatozoa, jaringan ovarium, atau jaringan testis, dengan ketentuan:
    • dokter harus menginformasikan kepada pasangan tentang adanya kelebihan embrio, sel telur, spermatozoa, atau jaringan;
    • pasangan suami istri menyetujui secara tertulis; dan
    • penyimpanan berlangsung sesuai kesepakatan, dapat diperpanjang jika pasangan menghendaki.
  3. Simpan beku tidak dapat dilakukan apabila:
    • pasangan suami istri tidak setuju melanjutkan penyimpanan salah satu pasangan meninggal dunia atau
    • pasangan suami istri tidak ingin melanjutkan proses reproduksi.
  4. Jika simpan beku tidak dilanjutkan, embrio, sel telur, spermatozoa atau jaringan harus dimusnahkan. Kelebihan embrio dilarang ditanamkan pada rahim apabila:
    • ayah embrio meninggal atau pasangan bercerai; atau
    • kondisi lain yang bertentangan dengan peraturan.
  5. Pemusnahan harus dilakukan oleh penanggung jawab pelayanan.

Monitoring

Keberhasilan penyelenggaraan pelayanan teknologi reproduksi dengan bantuan dinilai dalam 5 (lima) tahun dengan angka kehamilan klinis yang ditetapkan oleh Menteri. Angka kehamilan klinis harus diberitahukan kepada masyarakat. Dalam hal keberhasilan kehamilan klinis kurang dari angka yang ditetapkan, izin penyelenggaraan dapat dicabut atau tidak diperpanjang. Setiap Rumah Sakit dan klinik utama penyelenggara pelayanan teknologi reproduksi dengan bantuan wajib melakukan pengendalian mutu internal dan pengendalian mutu eksternal. Pengendalian mutu internal dilakukan oleh seluruh Tenaga Medis, Tenaga Kesehatan, dan tenaga terkait lainnya. Pengendalian mutu eksternal dilakukan melalui akreditasi, supervisi, evaluasi, dan pembinaan teknis. Pengendalian mutu dilaksanakan sesuai standar yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku

Sumber: Dr. Galih Endradita M


Copyright by Markbro 2025. All rights reserved.