Mengelola-Aspek-Hukum-untuk-Rumah-Sakit-Berkualitas.png

Pentingnya Pengelolaan Aspek Hukum di Rumah Sakit

  1. Peningkatan Kualitas Pelayanan
    • Aspek hukum menjadi landasan untuk memastikan pelayanan kesehatan yang aman, terpercaya, dan berkualitas sesuai standar yang berlaku.
    • Dengan pemahaman hukum yang baik, rumah sakit dapat mengembangkan SOP (Standar Operasional Prosedur) yang efektif dan efisien, mengurangi risiko kesalahan medis, dan meningkatkan kepuasan pasien.
  2. Perlindungan Hak Pasien dan Tenaga Medis
    • Hukum menjamin hak pasien untuk mendapatkan informasi yang jelas, pelayanan yang sesuai kebutuhan medis, dan perlindungan dari malpraktik.
    • Hukum juga melindungi tenaga medis dari tuntutan hukum yang tidak berdasar dan memberikan kepastian hukum bagi mereka dalam menjalankan tugasnya.
  3. Tanggung Jawab Hukum Rumah Sakit
    • Rumah sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap segala kerugian yang ditimbulkan oleh kelalaian tenaga kesehatannya, termasuk kerugian material dan non-material.
    • Aspek hukum mengatur bagaimana rumah sakit harus menanggulangi masalah tersebut, termasuk melakukan investigasi, memberikan kompensasi, dan menghindari tindakan hukum di masa depan.
  4. Pemenuhan Kewajiban Hukum
    • Rumah sakit harus mematuhi undang-undang dan peraturan terkait, seperti:
      • Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang KesehatanPP No. 28 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan UU No. 17 Tahun 2023
      • Dan peraturan lainnya
    • Pemenuhan kewajiban hukum ini memastikan rumah sakit beroperasi secara legal dan mencegah sanksi hukum.
  5. Peningkatan Kepercayaan Masyarakat
    • Rumah sakit yang mengelola aspek hukum dengan baik akan mendapatkan kepercayaan yang lebih besar dari masyarakat.
    • Kepercayaan ini penting untuk menarik pasien, meningkatkan reputasi rumah sakit, dan menciptakan lingkungan kerja yang kondusif.

Landasan Hukum Rumah Sakit

  • Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023
    • Penyelenggaraan Upaya Kesehatan: Mengatur tentang upaya kesehatan yang dapat dilakukan di rumah sakit, termasuk:
      • Kesehatan ibu, bayi, dan anak
      • Kesehatan reproduksi
      • Kesehatan jiwa
      • Penanggulangan penyakit
    • Pelayanan Kesehatan: Mengatur jenis pelayanan kesehatan yang dapat diberikan di rumah sakit, seperti:
      • Pelayanan medis
      • Pelayanan bedah
      • Pelayanan intensif
      • Pelayanan keperawatan
    • Pengelolaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan: Mengatur persyaratan, izin, dan kewenangan tenaga medis dan tenaga kesehatan di rumah sakit.
      • Fasilitas Pelayanan Kesehatan: Mengatur persyaratan, jenis, dan klasifikasi fasilitas pelayanan kesehatan.
    • Kefarmasian, Alat Kesehatan, dan Perbekalan Kesehatan: Mengatur perizinan, pengawasan, serta penggunaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan perbekalan kesehatan.
  • Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024
    • Penyelenggaraan Upaya Kesehatan: Mengatur secara rinci mengenai:
      • Jenis, standar, dan prosedur penyelenggaraan pelayanan kesehatan di rumah sakit.
    • Pengelolaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan: Mengatur persyaratan, kompetensi, dan kewenangan bagi tenaga medis dan tenaga kesehatan.
    • Fasilitas Pelayanan Kesehatan: Mengatur standar, jenis, dan klasifikasi fasilitas pelayanan kesehatan yang wajib dimiliki rumah sakit.
    • Kefarmasian, Alat Kesehatan, dan Perbekalan Kesehatan: Mengatur standar, kualitas, serta penggunaan obat-obatan, alat kesehatan, dan perbekalan kesehatan di rumah sakit.
    • Sistem Informasi Kesehatan: Mengatur sistem informasi kesehatan yang digunakan di rumah sakit, termasuk:
      • Pengumpulan data
      • Penyimpanan
      • Penggunaan data pasien

Peran Pimpinan dalam Pengelolaan Hukum di Rumah Sakit

No. Peran Pimpinan Uraian
1 Penyusunan Kebijakan Pimpinan rumah sakit berperan aktif dalam menyusun kebijakan dan prosedur yang memastikan rumah sakit mematuhi regulasi dan aturan yang berlaku.
2 Pemantauan dan Pemenuhan Regulasi Memastikan bahwa semua aspek operasional rumah sakit – mulai dari pelayanan medis hingga administrasi – mematuhi regulasi nasional maupun internasional.
3 Pengelolaan Risiko Hukum Pimpinan harus memahami potensi risiko hukum dalam operasional rumah sakit dan mengambil langkah-langkah pencegahan untuk meminimalkannya.
4 Penanganan Sengketa Hukum Bertanggung jawab dalam proses penyelesaian sengketa hukum yang mungkin timbul, mulai dari negosiasi hingga proses pengadilan.
5 Pembentukan Budaya Hukum Menciptakan budaya hukum yang positif, di mana seluruh karyawan memahami hak, kewajiban, dan pentingnya kepatuhan terhadap hukum.
6 Pelatihan dan Edukasi Memastikan seluruh staf, khususnya tenaga medis, mendapatkan pelatihan hukum yang relevan dan memadai.
7 Memastikan Keselamatan Pasien Bertanggung jawab memastikan keselamatan pasien sesuai dengan regulasi, seperti dalam UU No. 17/2023 dan PP No. 28/2024.
8 Menjaga Kepercayaan Publik Menjaga reputasi rumah sakit dengan memastikan operasional yang legal, transparan, dan sesuai hukum.
9 Kolaborasi dengan Tim Hukum Bekerja sama dengan tim hukum atau konsultan untuk memastikan aspek hukum rumah sakit tertangani dengan baik.
10 Melakukan Kajian Hukum Meminta tim hukum melakukan kajian hukum terhadap kebijakan, prosedur, atau kegiatan rumah sakit guna memastikan kepatuhan hukum.

Struktur dan Tata Kelola Hukum di Rumah Sakit

  • Komponen Utama Tata Kelola Hukum
Komponen Uraian
Peraturan Perundang-Undangan Pemahaman dan penerapan hukum terkait kesehatan, rumah sakit, dan hak pasien, termasuk UU No. 17 Tahun 2023 dan regulasi lain yang relevan.
Hospital By Laws Peraturan internal rumah sakit yang mengatur aspek operasional, hak dan kewajiban staf medis, hak pasien, serta prosedur penyelesaian sengketa.
Prinsip-Prinsip Good Governance Meliputi transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi, dan kewajaran dalam pengelolaan rumah sakit.
Perjanjian Kerjasama Kesepakatan antara rumah sakit dan pasien atau lembaga eksternal mengenai layanan kesehatan, hak, dan kewajiban masing-masing pihak.
  • Struktur Organisasi dan Tanggung Jawab dalam Aspek Hukum
Struktur/Unit Tanggung Jawab
Kepala/Direktur Rumah Sakit Memegang tanggung jawab tertinggi dalam pengelolaan rumah sakit, termasuk aspek hukum dan kebijakan operasional.
Komite Medis Menetapkan standar pelayanan medis, mengawasi pelaksanaan praktik medis, dan menyelesaikan sengketa medis.
Departemen/Divisi Mengelola unit pelayanan seperti medis, keperawatan, keuangan, dan administrasi dengan mempertimbangkan aspek hukum.
Komite Etik Memastikan bahwa praktik medis dijalankan sesuai dengan kode etik dan standar profesional yang berlaku.
Satuan Pemeriksaan Internal Melakukan audit dan pemeriksaan kepatuhan internal terhadap kebijakan, prosedur, dan peraturan yang berlaku di rumah sakit.

Legalitas dan Perizinan Rumah Sakit

Berdasarkan PP No. 28 Tahun 2024

No. Komponen Pasal & Uraian
1 Persyaratan Pendirian Rumah Sakit Pasal 812 mengatur persyaratan lokasi, sarana dan prasarana, peralatan kesehatan, serta Sumber Daya Manusia Kesehatan.
2 Persyaratan Lokasi Pasal 813 mengatur lokasi rumah sakit mencakup faktor aksesibilitas, lingkungan, dan rencana tata ruang.
3 Persyaratan Sarana dan Prasarana Pasal 814 mengatur sarana dan prasarana rumah sakit, termasuk bangunan, fasilitas penunjang, dan perlengkapan.
4 Persyaratan Peralatan Kesehatan Pasal 815 mengatur peralatan kesehatan yang digunakan di rumah sakit, seperti alat medis, laboratorium, dan radiologi.
5 Sumber Daya Manusia Kesehatan Pasal 816 mengatur jumlah dan kualifikasi SDM medis dan tenaga kesehatan di rumah sakit.
6 Penyelenggaraan Rumah Sakit Pasal 817 mengatur rumah sakit dapat diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat, Daerah, atau masyarakat.
7 Pendapatan Rumah Sakit Pasal 818 mengatur pendapatan rumah sakit dari pemerintah pusat/daerah digunakan untuk biaya operasional dan tidak dianggap sebagai pendapatan negara.
8 Jenis Pelayanan Kesehatan Pasal 819 mengatur layanan pada semua bidang dan jenis penyakit, serta kemungkinan menjadi pusat layanan unggulan tertentu.
9 Klasifikasi Rumah Sakit Pasal 820 mengatur klasifikasi rumah sakit berdasarkan jenis layanan, sarana-prasarana, peralatan, dan SDM Kesehatan.
10 Pembinaan dan Pengawasan Pasal 856 mengatur pembinaan dan pengawasan oleh pemerintah pusat/daerah, serta pemberian sanksi jika terjadi pelanggaran administratif.

Manajemen Risiko Hukum di Rumah Sakit

  • Tahapan Manajemen Risiko Hukum
Tahap Uraian
1. Identifikasi Risiko Mengidentifikasi potensi risiko hukum di rumah sakit, seperti: kesalahan medis, pelanggaran hak pasien, pelanggaran data pasien, dan masalah operasional.
2. Analisis Risiko Setelah risiko diidentifikasi, dilakukan analisis untuk memahami kemungkinan terjadinya dan dampaknya terhadap rumah sakit.
3. Evaluasi Risiko Evaluasi dilakukan untuk menentukan prioritas risiko yang harus segera ditangani.
4. Pengendalian Risiko Menyusun tindakan pengendalian seperti SOP, pelatihan staf, penggunaan teknologi aman, dan prosedur hukum untuk mengurangi atau menghilangkan risiko.
5. Pemantauan Risiko Melakukan pemantauan berkala terhadap risiko dan menyesuaikan langkah pengendalian jika diperlukan.
6. Pelaporan Risiko Risiko hukum yang terjadi harus dilaporkan kepada pihak terkait seperti direksi, komite medis, dan otoritas berwenang lainnya.
  • Manfaat Penerapan Manajemen Risiko Hukum
Manfaat Penjelasan
1. Meminimalisir Kerugian Hukum Mengurangi potensi tuntutan hukum dan sanksi dari pihak berwenang.
2. Meningkatkan Keselamatan Pasien Membantu penerapan standar layanan aman dan patuh hukum, sehingga keselamatan pasien terjamin.
3. Meningkatkan Reputasi Rumah Sakit Manajemen risiko hukum yang baik membangun citra positif di mata masyarakat.
4. Meningkatkan Kepercayaan Publik Pasien dan masyarakat lebih percaya kepada rumah sakit yang memiliki sistem manajemen risiko yang andal.
5. Memenuhi Kebutuhan Akreditasi Mendukung pemenuhan persyaratan akreditasi rumah sakit karena manajemen risiko hukum termasuk dalam standar penilaian akreditasi.

Penyelesaian Sengketa Hukum di Rumah Sakit

Mekanisme Internal: Penyelesaian Non-Litigasi

  1. Mediasi Internal: Dilakukan secara informal di dalam rumah sakit. Biasanya difasilitasi oleh:
    • Pejabat manajemen risikoKepala instalasi hukum
  2. Tujuan: Mencari solusi damai antara pasien/keluarga dan pihak rumah sakit sebelum berlanjut ke proses hukum formal.
  3. Hasil mediasi dapat berupa:
    • Permintaan maafTindakan korektif
    • Kompensasi tertentu (bila disepakati)
  4. Komite Etik dan Hukum Profesi
    • Menangani kasus pelanggaran etik dan disiplin profesi tenaga kesehatan.
    • Komite Etik Rumah Sakit memberikan rekomendasi tindak lanjut kepada pimpinan rumah sakit.
    • Jika ditemukan pelanggaran serius, kasus dapat dilanjutkan ke:
      • Organisasi profesi
      • Aparat penegak hukum

Penyelesaian non-Litigasi Eksternal

  • Bertujuan menjaga kepercayaan publik dan menyelesaikan sengketa tanpa pengadilan.
  • Melibatkan pihak ketiga seperti:
    • Majelis Kehormatan Disiplin Profesi
    • Komisi Etik Profesi
    • Ombudsman Republik Indonesia (jika terkait maladministrasi)
    • Dinas Kesehatan atau Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS)

Proses Litigasi: Jalur Hukum Formal

  1. Gugatan Perdata
    • Umumnya menyangkut:
      • Wanprestasi (pelanggaran perjanjian)
      • Perbuatan melawan hukum (termasuk malpraktik)
    • Penggugat: Pasien atau keluarga dapat menuntut ganti rugi secara materiil maupun immateriil.
    • Rumah sakit wajib menunjukkan pembelaan berbasis dokumentasi lengkap:
      • Rekam medisSOP (Standar Operasional Prosedur)
    • Informed consent (persetujuan tindakan)
  2. Laporan / Tuntutan Pidana
    • Menyangkut dugaan kelalaian berat, kesengajaan, atau tindakan yang menyebabkan kematian/cacat.
    • Pelaku bisa dijerat dengan KUHP.
      ➤ Contoh: Pasal 359 KUHP – Kelalaian yang menyebabkan kematian.
    • Jika terjadi, rumah sakit harus:
      • Memberikan perlindungan hukum kepada tenaga medis yang bertindak sesuai SOP.
      • Melibatkan pengacara rumah sakit untuk pendampingan hukum.
  3. Peran Pengacara Rumah Sakit
    • Memberikan:
      • Nasihat hukum
      • Pendampingan saat pemeriksaan
    • Representasi di pengadilan. Membantu:
      • Penyusunan jawaban gugatanSurat kuasa hukum
    • Mediasi di pengadilan: Menyusun dokumentasi hukum dan memastikan kesesuaian dengan regulasi, meliputi:
      • Kontrak Perjanjian Perizinan
      • Dokumen legal lainnya

Strategi Penyelesaian Sengketa Secara Cepat dan Efektif

No. Strategi Penjelasan
1 Penerapan Sistem Manajemen Risiko Klinis & Non-Klinis – Meliputi pelaporan dan investigasi insiden serta sentinel event.
– Melaksanakan Root Cause Analysis (RCA) untuk mencegah kejadian berulang.
2 Pendekatan Restoratif & Komunikasi Efektif – Mendorong keterbukaan dan dialog dengan pasien/keluarga.
– Komunikasi empatik saat terjadi kesalahan dapat menghindari gugatan hukum.
3 Pelatihan dan Edukasi Rutin – Materi tentang hukum kesehatan, etika profesi, dan teknik dokumentasi rekam medis secara berkala.
4 SOP Penyelesaian Sengketa – Membuat prosedur standar internal untuk penanganan pengaduan dan penyelesaian perkara di rumah sakit.
5 Tim Tanggap Sengketa – Dibentuk sebagai gugus tugas lintas unit (hukum, pelayanan, medik, manajemen risiko).
– Bertugas menanggapi secara cepat potensi sengketa.

Peran Pimpinan Rumah Sakit dalam Penyelesaian Sengketa

No. Peran Utama Penjelasan
1 Pengawasan dan Koordinasi – Direktur/pimpinan rumah sakit bertanggung jawab langsung dalam pengendalian dan penyelesaian sengketa.
– Mengawasi kinerja unit hukum dan memastikan kepatuhan terhadap SOP oleh seluruh staf.
2 Pengambilan Keputusan Strategis – Menentukan jalur penyelesaian: damai, melalui organisasi profesi, atau ke ranah hukum.
– Menyetujui kompensasi atau kesepakatan mediasi.
– Menentukan strategi pembelaan hukum, termasuk penunjukan kuasa hukum eksternal jika diperlukan.
3 Pemulihan Citra dan Kepercayaan – Bertindak sebagai juru bicara resmi rumah sakit saat sengketa menjadi perhatian publik.
– Mengambil langkah korektif untuk memperbaiki sistem dan membangun kembali kepercayaan masyarakat.

Kepatuhan dan Pengawasan Hukum di Rumah Sakit

Aspek Uraian
Audit Internal & Eksternal – Audit internal dilakukan berkala untuk menilai kepatuhan hukum (izin, kontrak, SOP hukum).
– Audit eksternal oleh KARS, BPKP, atau BPJS untuk memastikan akuntabilitas hukum rumah sakit.
– Tujuan: deteksi dini pelanggaran dan perbaikan tata kelola legal.
Sistem Pengawasan Berkelanjutan – Legal risk mapping untuk identifikasi area rawan sengketa.
– Checklist digital & integrasi SIMRS untuk memantau izin dan kontrak.
– Monitoring berkelanjutan oleh unit hukum dan manajemen risiko.
Pelaporan Hasil Audit – Disusun sebagai laporan berkala kepada Direktur, Dewas, dan Pemilik RS.
– Disampaikan melalui rapat mutu & evaluasi manajemen hukum.
– Tujuan: transparansi, perbaikan, dan dasar pengambilan keputusan hukum.
Evaluasi & Perbaikan Sistem – Menggunakan metode PDCA (Plan–Do–Check–Act)untuk pembaruan sistem hukum.
– Evaluasi indikator hukum seperti jumlah sengketa, kepatuhan SOP, dan kontrak bermasalah.
– Pelatihan hukum rutin untuk manajemen, komite etik, dan staf terkait.

Pemanfaatan TI dalam Pengelolaan Hukum Rumah Sakit

Komponen Uraian
Sistem Informasi Manajemen Hukum
(Legal Management System)
– Mengelola dokumen hukum, kontrak, dan perizinan secara digital terintegrasi.
– Memudahkan pemantauan jatuh tempo dan kepatuhan hukum.
– Memastikan transparansi dan akses cepat bagi unit terkait.
– Mendukung pengambilan keputusan berbasis data real-time.
Digitalisasi Dokumen Hukum dan Arsip – Mengubah dokumen fisik ke format digital terenkripsi.
– Pengelolaan arsip terpusat untuk menghindari kehilangan/duplikasi.
– Standarisasi format penyimpanan.
– Mempermudah pencarian dan distribusi bagi staf yang berwenang.
Keamanan Data dan Perlindungan Privasi Elektronik – Penerapan sistem keamanan data (enkripsi dan kontrol akses).
– Patuh pada UU Perlindungan Data Pribadi dan regulasi terkait.
– Audit trail untuk memonitor aktivitas akses.
– Backup data rutin untuk mencegah kehilangan data hukum penting.
Monitoring dan Pelaporan Kepatuhan Secara Real-Time – Dashboard pemantauan status dokumen dan kontrak.
– Notifikasi otomatis untuk dokumen mendekati masa berlaku.
– Pelaporan rutin ke pimpinan dan pemangku kepentingan.
– Evaluasi berkala & tindak lanjut hasil monitoring.

Studi Kasus Sengketa Hukum RS

  1. Kasus Malpraktik dan Penyelesaiannya`
    • Jenis malpraktik umum:
      • Kelalaian diagnosis
      • Kesalahan tindakan
      • Pelanggaran informed consent
    • Proses penyelesaian:
      • Mediasi internalPenanganan oleh Komite Etik dan Hukum
      • Proses litigasi
    • Peran dokumentasi medis:
      • Menjadi bukti utama pembelaan tenaga medis dan rumah sakit
    • Perlindungan hukum tenaga medis:
      • Asuransi profesi dan pendampingan hukum oleh RS sangat diperlukan
  2. Contoh Sengketa Kontrak Pengadaan Barang/Jasa
    • Kasus umum:
      • Keterlambatan pengirimanMutu barang tidak sesuai
      • Wanprestasi dari vendor
    • Penyebab utama:
      • Kontrak tidak detail
      • Kurangnya evaluasi kinerja penyedia
    • Langkah penyelesaian:
      • Negosiasi, somasi, arbitrase, atau proses pengadilan
  3. Pentingnya review hukum:
    • Implikasi Hukum dan Pembelajaran untuk Rumah Sakit
    • Risiko hukum:
      • Denda, pencabutan izin, penurunan kepercayaan publik
    • Kerugian reputasi:
      • Pemberitaan negatif berdampak pada citra dan jumlah kunjungan pasien
    • Pembelajaran strategis:
      • Pentingnya sistem kontrol hukum proaktif
    • Kebijakan preventif:
      • Pelatihan reguler, audit hukum, SOP berbasis risiko
  4. Best Practice Penanganan Kasus dan Mitigasi Risiko
    • Pendekatan interdisipliner:
      • Melibatkan dokter, manajemen, hukum, dan mutu
    • Sistem pelaporan insiden dini:
      • Mendorong budaya terbuka untuk mencegah eskalasi
    • Pencatatan dan arsip hukum digital:
      • Memudahkan telusur dan audit hukum
    • Evaluasi kasus dan pembaruan kebijakan:
      • Setiap kasus jadi dasar perbaikan sistem hukum RS

Kesimpulan dan Rekomendasi Strategis

Kesimpulan

No. Pokok Kesimpulan
1 Pengelolaan aspek hukum merupakan fondasi penting dalam tata kelola rumah sakit yang baik.
2 Pimpinan rumah sakit memegang peran sentral dalam memastikan kepatuhan dan mitigasi risiko hukum.
3 Implementasi sistem hukum yang terpadu mampu mencegah kerugian hukum dan kerusakan reputasi institusi.
4 Budaya hukum yang kuat mendorong layanan kesehatan yang berkualitas dan berkelanjutan.
5 Audit dan evaluasi hukum yang berkelanjutan memperkuat sistem pengelolaan hukum rumah sakit.

Rekomendasi Strategis

No. Rekomendasi
1 Memperkuat unit hukum, SPI (Satuan Pengawasan Internal), dan unit-unit terkait di rumah sakit.
2 Melaksanakan audit kepatuhan dan pelatihan hukum secara berkala.
3 Mengembangkan SOP dan kebijakan hukum yang adaptif, responsif, dan sesuai perkembangan peraturan.
4 Mengintegrasikan teknologi informasi dalam sistem pengelolaan dan pemantauan hukum.
5 Membangun sistem penyelesaian sengketa hukum yang efektif, humanis, dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan.

 

Sumber: Dr. Galih Endradita M


Kebijakan-Anti-Korupsi-di-Rumah-Sakit-Membangun-Kepercayaan-Publik.png

Latar Belakang

Rumah Sakit [Nama Rumah Sakit] sebagai institusi pelayanan kesehatan memiliki tanggung jawab besar terhadap masyarakat, terutama dalam menyediakan pelayanan medis yang berkualitas dan dapat dipercaya. Dalam menjalankan fungsinya, rumah sakit berinteraksi dengan berbagai pihak, baik internal maupun eksternal, yang mencakup pasien, keluarga pasien, penyedia layanan kesehatan, pemasok obat dan alat kesehatan, serta institusi pemerintah. Interaksi yang kompleks ini membuka peluang bagi berbagai bentuk penyalahgunaan wewenang yang dapat merugikan masyarakat, merusak reputasi rumah sakit, dan mengancam keberlanjutan layanan.

Korupsi, baik dalam bentuk suap, gratifikasi, penyalahgunaan aset, hingga konflik kepentingan, berpotensi menurunkan mutu pelayanan dan menciptakan iklim yang tidak sehat di lingkungan kerja. Dampak dari praktik korupsi tidak hanya mempengaruhi kepercayaan publik terhadap rumah sakit tetapi juga dapat menyebabkan hilangnya integritas profesionalisme staf medis dan non-medis. Praktik korupsi juga dapat berimplikasi pada meningkatnya biaya layanan kesehatan yang pada akhirnya membebani pasien dan keluarga mereka.

Pemerintah dan otoritas kesehatan juga telah menetapkan regulasi ketat terkait pemberantasan korupsi di sektor publik dan pelayanan kesehatan. Mengacu pada peraturan yang berlaku, seperti Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan regulasi terkait lainnya, setiap institusi pelayanan publik, termasuk rumah sakit, diwajibkan untuk membangun sistem pencegahan dan pengendalian korupsi secara komprehensif. Kebijakan ini juga sejalan dengan standar akreditasi rumah sakit yang mensyaratkan adanya transparansi dan akuntabilitas di setiap proses administrasi dan pelayanan.

Dalam rangka memenuhi regulasi, menjaga integritas, dan menumbuhkan budaya kerja yang bebas dari korupsi, Rumah Sakit [Nama Rumah Sakit] menetapkan Kebijakan Anti-Korupsi sebagai panduan resmi yang harus diikuti oleh seluruh pegawai, mitra, dan pihak ketiga yang bekerja sama dengan rumah sakit. Kebijakan ini dirancang untuk mencegah segala bentuk penyalahgunaan wewenang dan sumber daya rumah sakit, serta membangun kepercayaan publik melalui tata kelola yang baik dan akuntabilitas yang tinggi.Kebijakan Anti-Korupsi ini akan menjadi bagian tak terpisahkan dari sistem manajemen rumah sakit yang berorientasi pada keunggulan pelayanan, etika kerja, dan transparansi. Dengan menerapkan kebijakan ini, diharapkan Rumah Sakit [Nama Rumah Sakit] dapat berkontribusi dalam membangun lingkungan pelayanan kesehatan yang bersih, terpercaya, dan adil bagi seluruh lapisan masyarakat

Definisi

Istilah yang berhubungan dengan kebijakan anti-korupsi, khususnya di lingkungan rumah sakit atau institusi pelayanan publik:

  1. Korupsi adalah Tindakan penyalahgunaan wewenang atau posisi untuk memperoleh keuntungan pribadi atau kelompok dengan cara yang melanggar hukum dan etika. Dalam konteks rumah sakit, korupsi bisa berupa manipulasi data pasien, penerimaan suap dari pemasok, atau penggunaan sumber daya rumah sakit untuk kepentingan pribadi.
  2. Suap adalah Pemberian atau penerimaan uang, barang, atau jasa oleh seseorang untuk mempengaruhi keputusan atau tindakan pihak lain. Di rumah sakit, suap bisa terjadi antara staf dan penyedia layanan, atau antara pasien dan staf untuk mempercepat proses atau memperoleh keuntungan yang tidak seharusnya.
  3. Gratifikasi adalah Bentuk hadiah atau pemberian yang diterima oleh pegawai atau pejabat dalam rangka jabatannya. Di rumah sakit, gratifikasi dapat berupa pemberian barang, uang, atau fasilitas yang diterima dari pasien, keluarga pasien, atau vendor. Gratifikasi harus dilaporkan dan dapat dianggap korupsi jika mempengaruhi integritas tugas penerima.
  4. Pemerasan adalah Tindakan memaksa seseorang untuk memberikan uang, barang, atau jasa dengan menggunakan ancaman. Misalnya, di rumah sakit, pemerasan bisa terjadi ketika petugas meminta uang tambahan kepada pasien atau keluarga dengan ancaman memperlambat proses perawatan atau pelayanan.
  5. Penyalahgunaan Wewenang adalah Penggunaan posisi atau jabatan untuk keuntungan pribadi atau kelompok yang melanggar hukum. Contoh di rumah sakit adalah penggunaan peralatan atau fasilitas medis untuk keperluan pribadi oleh petugas.
  6. Konflik Kepentingan adalah Situasi di mana seseorang memiliki kepentingan pribadi yang dapat mempengaruhi objektivitasnya dalam melaksanakan tugas. Di rumah sakit, konflik kepentingan terjadi misalnya jika staf memiliki bisnis pemasok alat kesehatan yang bekerja sama dengan rumah sakit dan memengaruhi keputusan pengadaan.
  7. Transparansi adalah Prinsip keterbukaan dalam segala proses administrasi dan pelayanan sehingga dapat dipantau dan dipertanggungjawabkan kepada publik. Dalam kebijakan anti-korupsi, transparansi bertujuan untuk mengurangi peluang korupsi dengan menginformasikan prosedur dan keputusan kepada pihak terkait.
  8. Akuntabilitas adalah Tanggung jawab individu atau organisasi dalam melaksanakan tugas dan bertanggung jawab atas hasil yang dicapai. Akuntabilitas diperlukan untuk memastikan setiap keputusan dan tindakan di rumah sakit dapat dipertanggungjawabkan.
  9. Audit Internal adalah Proses penilaian secara sistematis terhadap kegiatan atau catatan keuangan yang dilakukan oleh unit pengawasan internal di rumah sakit. Tujuannya adalah memastikan kepatuhan terhadap kebijakan anti-korupsi dan mencegah terjadinya penyimpangan.
  10. Whistleblowing (Pelaporan Pelanggaran) adalah Mekanisme bagi karyawan atau pihak lain untuk melaporkan indikasi korupsi atau pelanggaran di rumah sakit tanpa khawatir akan pembalasan atau intimidasi. Rumah sakit harus menyediakan sistem whistleblowing yang aman untuk mendukung transparansi dan pencegahan korupsi.
  11. KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) adalah Merupakan praktik penyalahgunaan kekuasaan atau posisi untuk keuntungan pribadi atau kelompok. Di rumah sakit, kolusi dan nepotisme bisa terjadi dalam pengadaan barang/jasa atau perekrutan staf, yang mengutamakan kepentingan pribadi atau keluarga tanpa mempertimbangkan kompetensi.
  12. Penggelapan adalah Tindakan menyelewengkan uang, barang, atau aset yang dipercayakan kepada seseorang untuk kepentingan pribadi atau pihak lain. Contoh di rumah sakit adalah penggelapan dana operasional atau alat kesehatan untuk digunakan di luar kepentingan rumah sakit.
  13. Pencegahan Korupsi adalah Upaya atau tindakan yang dilakukan untuk mengidentifikasi dan menghilangkan peluang korupsi sebelum terjadi. Ini bisa berupa pendidikan anti-korupsi, penetapan prosedur yang ketat, atau penerapan sistem pengawasan.
  14. Sanksi Disiplin adalah Hukuman atau tindakan tegas yang dijatuhkan kepada pegawai yang melanggar kebijakan anti-korupsi, seperti peringatan, pemotongan gaji, penurunan jabatan, hingga pemutusan hubungan kerja. Sanksi ini bertujuan untuk menjaga integritas dan disiplin dalam organisasi.
  15. Manajemen Risiko Korupsi adalah Proses penilaian risiko di area yang rentan terhadap korupsi untuk menyiapkan langkah-langkah mitigasi. Di rumah sakit, manajemen risiko korupsi bisa diterapkan dalam pengadaan barang, perekrutan pegawai, dan pengelolaan anggaran.

 

Sumber: Dr. Galih Endradita M


Prinsip-Komunikasi-Profesional-untuk-Tenaga-Kesehatan.png

PRINSIP KOMUNIKASI PROFESIONAL

Prinsip Penjelasan
Empati Tunjukkan kepedulian terhadap kondisi fisik dan emosional pasien.
Kejelasan Gunakan bahasa yang mudah dipahami pasien, hindari istilah medis berlebihan.
Ketepatan Waktu Komunikasikan informasi penting (hasil lab, diagnosis, risiko) secepatnya.
Transparansi Sampaikan kondisi medis dan rencana penanganan secara terbuka namun proporsional.
Non-diskriminatif Bersikap adil kepada semua pasien, tanpa memandang status sosial, ekonomi, atau kepercayaan.
Kerahasiaan Jangan menyampaikan informasi medis pasien ke pihak lain tanpa persetujuan tertulis.
Konsistensi Informasi Seluruh tim medis sebaiknya menyampaikan informasi yang sejalan dan tidak saling bertentangan.

TIPS PRAKTIS DALAM SITUASI UMUM

  1. Saat Menjelaskan Diagnosis:
    • Mulailah dengan mengklarifikasi pemahaman awal pasien:
      • “Bapak/Ibu, boleh saya tahu apa yang sudah Bapak/Ibu ketahui tentang kondisi ini?”
    • Jelaskan diagnosis dengan bahasa sederhana. Gunakan analogi bila perlu.
    • Tanyakan kembali apakah pasien memahami:
      • “Apakah penjelasan saya bisa dimengerti?”
  2. Saat Menjelaskan Risiko dan Pilihan Terapi:
    • Berikan semua pilihan medis yang tersedia, lengkap dengan risiko dan manfaat.
    • Jangan memaksa pasien memilih. Berikan waktu untuk mempertimbangkan.
    • Gunakan pendekatan “shared decision making”:
      • “Keputusan medis yang terbaik adalah yang Bapak/Ibu pahami dan yakini.”
  3. Saat Menyampaikan Kabar Buruk (Bad News):
    • Gunakan pendekatan SPIKES:
      • S: Setting – siapkan ruang tenang dan privasi.
      • P: Perception – pahami persepsi pasien/keluarga.
      • I: Invitation – tanya sejauh mana pasien ingin tahu.
      • K: Knowledge – berikan informasi secara perlahan.
      • E: Emphaty – beri waktu untuk merespon emosinya.
      • S: Strategy – jelaskan rencana dan dukungan selanjutnya.
  4. Dalam Komunikasi Tertulis (Rekam Medis & Surat Rujukan):
    • Tulislah lengkap, objektif, dan logis.
    • Hindari bahasa spekulatif atau penilaian pribadi.
    • Jangan ada coretan yang tidak ditandatangani.
    • Wajib mencantumkan waktu, tanggal, tanda tangan, dan nama jelas.
  5. Saat Menjawab Komplain atau Kritik Pasien:
    • Dengarkan dulu, jangan langsung membantah.
    • Ucapkan kalimat empati: “Kami mohon maaf atas ketidaknyamanan yang Bapak/Ibu rasakan.”
    • Jelaskan bahwa dokter/RS akan mengevaluasi lebih lanjut, hindari menyalahkan.
    • Catat dan laporkan ke unit mutu/RM/etika bila serius.

KOMUNIKASI DOKTER DALAM TIM MULTIPROFESI

  • Gunakan prinsip kolaborasi, bukan kompetisi.
  • Hindari debat medis di depan pasien.
  • Hormati peran perawat, apoteker, fisioterapis, dsb., dan libatkan mereka dalam penjelasan ke pasien jika diperlukan.
  • Bila terjadi perbedaan pandangan, selesaikan secara internal dan profesional.

Contoh Kalimat di Rekam Medis:

“Pasien telah diberikan informasi terkait diagnosis pneumonia berat, rencana terapi antibiotik dan kemungkinan rawat ICU. Pasien dan keluarga menyatakan memahami dan menyetujui.”

PERBEDAAN KOMUNIKASI PROFESIONAL VS KOMUNIKASI EFEKTIF

Aspek Komunikasi Profesional Komunikasi Efektif
Definisi Komunikasi yang dilakukan sesuai etika profesi, hukum medis, dan norma pelayanan kesehatan. Komunikasi yang dilakukan agar pesan diterima, dipahami, dan direspons secara benar oleh lawan bicara.
Fokus Utama Akurasi terminologi, netralitas, dokumentasi yang legal dan etik. Pemahaman pasien dan keluarganya terhadap kondisi, risiko, dan tindakan medis.
Tujuan Menjamin pertanggungjawaban etik, hukum, dan institusi. Mencapai pemahaman yang menyeluruh agar pasien berpartisipasi aktif dan taat pada terapi.
Contoh 1 (Kepada Pasien: Menjelaskan Diagnosis) “Pasien dengan hasil imaging menunjukkan adanya ruptur appendiks perforata dengan abses lokal.” “Usus buntu Ibu sudah pecah dan menyebabkan infeksi di dalam perut. Ini perlu dioperasi segera.”
Contoh 2 (Kepada Tim Bedah) “Rencana tindakan laparotomi eksplorasi dengan kemungkinan reseksi usus segmental dan drainase abses.” “Tolong siapkan tindakan operasi besar, kemungkinan harus potong sebagian usus dan pasang selang untuk buang nanah.”
Contoh 3 (Dokumentasi Rekam Medis) “Ditemukan ruptur appendiks, pus ±200cc, dilakukan apendektomi dan drainase. Pasien stabil post-op.” Tidak berlaku. Komunikasi efektif digunakan secara lisan, bukan dalam dokumen medis legal.
Risiko Jika Salah Tidak profesional: diagnosis ditulis atau diucapkan tanpa dasar medis, penggunaan bahasa tidak etis, atau menyampaikan data tanpa izin. Tidak efektif: pasien tidak paham dan tidak patuh puasa sebelum operasi, sehingga operasi tertunda.
Gaya Bahasa Formal, medis, terminologis, netral, tidak multitafsir. Sederhana, bisa menggunakan analogi, emosional bila perlu, menghindari istilah medis teknis.
Contoh Kalimat Non-Profesional (yang salah) “Kalau ususnya sudah jelek, kami potong saja deh, gampang itu.” (Salah secara profesional – merendahkan makna tindakan medis dan merusak kepercayaan)
Contoh Kalimat Tidak Efektif (yang salah) “Anda perlu dilakukan laparotomi segera karena ada kemungkinan sepsis akibat perforasi.” (Salah secara efektif – pasien awam mungkin tidak paham istilah teknis ini)
Kompetensi Pendukung Etika kedokteran, hukum kesehatan, kompetensi profesionalisme. Empati, keterampilan interpersonal, komunikasi terapeutik, literasi budaya pasien.

 

Sumber : Dr. Galih Endradita M


Peningkatan-RSUD-Buton-Utara-ke-Tipe-C-Perkuat-Layanan-Kesehatan-di-Wilayah-Kepulauan.png

Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin melakukan peletakan batu pertama (groundbreaking) pembangunan RSUD Buton Utara, Sulawesi Tenggara, pada Jumat (20/6). Peningkatan status rumah sakit ini dari tipe D menjadi tipe C merupakan bagian dari program prioritas Presiden Prabowo Subianto untuk memperkuat layanan kesehatan rujukan di daerah terpencil, termasuk wilayah kepulauan.

“Kalau ada masyarakat Buton Utara yang terkena stroke, jantung, kanker, ginjal, atau ibu melahirkan dengan kondisi sulit, itu seharusnya bisa ditangani di sini. Nggak usah dirujuk lima sampai enam jam ke kota lain,” ujar Menkes.

Lima penyakit utama penyebab kematian di Indonesia stroke, jantung, kanker, gangguan ginjal, serta komplikasi ibu dan anak akan menjadi fokus layanan RSUD ini. Berbagai fasilitas penunjang seperti CT Scan, cath lab, alat patologi anatomi, mamografi, hingga mesin hemodialisis akan dilengkapi untuk mendukung penanganan pasien secara komprehensif di daerah.

“Bayangkan kalau harus kemoterapi berkali-kali ke kota, keluarganya harus ikut, tinggal lama, pasti berat. Maka itu harus bisa dilakukan di sini,” kata Menkes.

Selain infrastruktur, Menkes juga menekankan pentingnya tata kelola rumah sakit yang baik dan kehadiran dokter spesialis, terutama yang berasal dari daerah sendiri. Kementerian Kesehatan akan memberikan beasiswa penuh bagi dokter umum lokal untuk menempuh pendidikan spesialis berbasis rumah sakit (hospital-based), agar mereka kembali dan mengabdi di daerah asal.

“Kalau nggak ada spesialis dari daerah, nanti yang datang dokter muda dari luar, lalu muter terus. Kita mau anak daerah yang sekolah spesialis dan balik mengabdi. Kami bantu dengan beasiswa penuh,” ujar Menkes.

Wakil Gubernur Sulawesi Tenggara, Ir. Hugua, menyambut baik pembangunan RSUD ini dan menyampaikan bahwa kesenjangan infrastruktur dasar masih menjadi tantangan besar di wilayahnya.

“Jalan menuju ke Buton Utara ini bisa kami katakan bukan lagi sekadar rusak, tapi bencana. Untuk mencapai lokasi ini melalui jalur darat, diperlukan upaya ekstra. Inilah mengapa kehadiran rumah sakit dengan fasilitas yang lebih memadai menjadi sangat penting,” jelasnya.

Menurutnya, pembangunan rumah sakit dengan fasilitas lebih memadai merupakan langkah penting untuk menjawab tantangan geografis dan meningkatkan kualitas layanan kesehatan di wilayah kepulauan.

Peningkatan RSUD Buton Utara menjadi tipe C merupakan bagian dari program Quick Wins Presiden Prabowo Subianto untuk memperkuat layanan rujukan tingkat pertama di daerah-daerah yang sebelumnya sulit dijangkau.

“Kami sangat menyambut baik peningkatan status RSUD Buton Utara menjadi tipe C. Ini adalah bentuk keseriusan pemerintah dalam mewujudkan keadilan layanan kesehatan bagi seluruh masyarakat,” kata Wagub.

Ia juga menekankan pentingnya akuntabilitas dan tata kelola pembangunan yang sesuai standar agar hasilnya benar-benar dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.

“Kami mengingatkan seluruh pihak pelaksana agar benar-benar menjalankan tugasnya sesuai peraturan dan standar teknis. Hindari penyimpangan dan pastikan seluruh tahapan berjalan tepat waktu dan sasaran,” tegasnya.

Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara berharap pembangunan RSUD tipe C ini dapat menjadi model yang direplikasi di wilayah kepulauan lainnya, serta simbol nyata dari kolaborasi pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten dalam memperkuat sistem kesehatan nasional.

“Kami menyampaikan terima kasih kepada Bapak Menteri Kesehatan dan seluruh jajaran atas komitmennya. Kiranya kerja sama dan perhatian terhadap wilayah kami ini dapat terus berlanjut demi terwujudnya masyarakat yang sehat, berdaya, dan sejahtera,” pungkas Wagub Hugua.

 

Sumber : Kemenkes


Kementerian-Kesehatan-Indonesia-dan-Philips-Tandatangani-Memorandum-Saling-Pengertian-MoU.png

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dan Royal Philips (NYSE: PHG, AEX: PHIA), perusahaan global terkemuka di bidang teknologi kesehatan, menandatangani Memorandum Saling Pengertian (Memorandum of Understanding/ MoU) untuk memperkuat transformasi sistem kesehatan Indonesia melalui pengembangan kapasitas klinis, inovasi kesehatan digital, dan pendirian pusat pelatihan serta pusat layanan teknis.

MoU ini menjadi landasan bagi program nasional dalam pengembangan keterampilan klinis—khususnya di bidang radiologi, kardiovaskular, dan perawatan intervensi—serta layanan teknis dan integrasi sistem kesehatan digital. Inisiatif ini bertujuan memperkuat ketahanan sistem kesehatan jangka panjang dan mendorong akses layanan berkualitas secara lebih merata di seluruh wilayah nusantara.

“Penandatanganan MoU dengan Philips ini menegaskan komitmen Kementerian Kesehatan untuk terus berinovasi dalam pelayanan kesehatan. Melalui kolaborasi ini, Kementerian Kesehatan berupaya mendorong adopsi teknologi kesehatan dan infrastruktur kesehatan digital yang canggih. Ini adalah investasi vital untuk membangun masa depan kesehatan Indonesia yang lebih tangguh dan berdaya saing,” ujar Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan RI, Kunta Wibawa Dasa Nugraha.

Fokus utama dari kolaborasi yang direncanakan meliputi:
1. Penguatan Kapasitas Klinis dan Pengembangan Keterampilan Tenaga Kesehatan, terutama di bidang radiologi, perawatan kardiovaskular, dan prosedur intervensional. Philips dan Kementerian Kesehatan akan mengembangkan program pelatihan yang komprehensif untuk memperkuat kapabilitas tenaga kesehatan di Indonesia.
2. Pembangunan Pusat Pelatihan dan Pusat Layanan untuk mendukung pengelolaan siklus hidup perangkat medis, memastikan kinerja optimal, serta memperluas akses teknologi di berbagai fasilitas layanan kesehatan.
3. Pengembangan sistem kesehatan digital untuk meningkatkan mutu layanan, memperkuat integrasi sistem, dan meningkatkan efisiensi operasional di seluruh Indonesia.

MoU ini menjadi dasar kerja sama jangka panjang antara kedua belah pihak. Setiap program spesifik ke depan akan dituangkan dalam bentuk perjanjian kerja sama teknis dengan direktorat terkait, antara lain Direktorat Jenderal Kesehatan Primer dan Komunitas, Direktorat Jenderal Kesehatan Lanjutan, serta Direktorat Jenderal Sumber Daya Manusia Kesehatan.

“Kami sangat antusias untuk bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan dalam mendukung transformasi sistem kesehatan dan meningkatkan kapasitas sistem layanan kesehatan Indonesia,” ujar Astri R. Dharmawan, Presiden Direktur Philips Indonesia. “Bersama-sama, kita akan melatih tenaga kesehatan, memperluas adopsi teknologi digital, serta meningkatkan akses layanan kesehatan guna memberikan perawatan yang lebih baik bagi lebih banyak masyarakat.”

Philips telah mendukung sistem kesehatan Indonesia selama lebih dari 120 tahun. Philips juga telah membangun kemitraan strategis dengan berbagai penyedia layanan kesehatan terkemuka — termasuk RSJPD Harapan Kita, Siloam Hospitals, dan Mandaya Royal Hospital Puri — untuk meningkatkan kapabilitas klinis melalui teknologi inovatif dan solusi terintegrasi.

 

Sumber : Kemenkes


revolusi-industri-kesehatan.png

Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Budi Gunadi Sadikin, menyatakan bahwa penemuan struktur DNA merupakan titik balik revolusioner dalam dunia medis, layaknya peran penemuan partikel terkecil dalam fisika yang memicu lahirnya industri teknologi modern. Masa depan kesehatan global, menurutnya, akan ditentukan oleh kemampuan umat manusia dalam memahami dan memanfaatkan komponen biologis paling dasar—DNA.

“Penemuan-penemuan ilmiah besar selama ini selalu dimulai dari pemahaman terhadap komponen terkecil,” ujar Menkes Budi saat menyampaikan pidato kunci dalam _International Conference_ di Awan Auditorium UID Bali Campus, Senin (16/6).

Ia menjelaskan, sebagaimana pemahaman terhadap atom dan partikel subatomik di bidang fisika yang melahirkan laser, transistor, mikroprosesor, hingga internet, kini hal serupa tengah terjadi dalam dunia medis dengan DNA sebagai pusat revolusinya.

Struktur heliks ganda DNA yang ditemukan oleh James Watson dan Francis Crick pada 1952, lanjutnya, bukan sekadar pencapaian ilmiah, melainkan fondasi bagi lompatan besar dalam dunia pengobatan modern—mulai dari simulasi biologis, rekayasa molekuler, hingga pengembangan terapi baru.

“Dulu, mengembangkan terapi berbasis otot bisa memakan waktu 10 hingga 30 tahun. Sekarang, berkat simulasi DNA, solusi bisa ditemukan hanya dalam waktu 22 bulan,” ungkapnya.

Menkes Budi juga memaparkan bahwa bioteknologi kini tengah membentuk industri medis baru, ditandai dengan penggunaan _monoclonal antibody, protein inducers_, serta teknologi GLP-1 untuk pengendalian berat badan dan PCSK9 untuk kolesterol tinggi, semua berbasis pemahaman mendalam terhadap DNA.

“Industri kesehatan kini mengalami pergeseran besar, seperti yang dulu terjadi di bidang teknologi. Ini bukan sekadar perbaikan layanan, tapi perubahan paradigma. Kita sedang membangun sistem pengobatan baru yang lebih presisi, personal, dan berbasis data biologis,” jelasnya.

Menurutnya, revolusi ini tidak hanya berdampak pada manusia, tetapi juga merambah ke hewan, tumbuhan, dan keseluruhan ekosistem kehidupan.

“Ilmu kehidupan sekarang berkembang dengan sangat cepat. Pemahaman tentang komponen terkecil ini membuka peluang besar untuk memahami dan mengintervensi kehidupan secara menyeluruh,” ujarnya.

Sebagai lulusan fisika, Menkes Budi melihat paralel yang kuat antara sejarah revolusi teknologi dan yang kini terjadi di bidang kesehatan. Sama seperti penemuan transistor melahirkan industri komputer, penemuan DNA telah membuka jalan menuju industri medis yang tak kalah dahsyat.

“Saya percaya, dalam 10, 15, atau 20 tahun ke depan, industri kesehatan akan mengalami lompatan besar yang belum pernah terjadi sebelumnya,” tambahnya.

Di akhir pidato, Menkes Budi menekankan pentingnya menjadikan sains sebagai dasar pengambilan kebijakan di bidang kesehatan. Ia mengajak semua pihak untuk terus belajar dan terbuka pada perubahan.

“Penemuan terhadap komponen terkecil—baik di fisika maupun di biologi—selalu membangkitkan potensi baru bagi umat manusia. Jadi tetap sehat, tetap belajar, dan tetap berharap,” tutupnya.

 

Sumber: Kemenkes


urgensi-organisasi.png

Latar Belakang

Kesejahteraan tenaga medis dan tenaga kesehatan merupakan elemen kunci dalam menjaga kualitas pelayanan kesehatan. Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan dan berbagai regulasi terkait telah menegaskan pentingnya penghormatan terhadap hak-hak tenaga kesehatan, termasuk upah layak, kondisi kerja yang aman, serta perlindungan hukum. Namun, masih terdapat rumah sakit yang mengabaikan hak-hak tersebut, sehingga memengaruhi motivasi kerja, kualitas layanan, dan keamanan pasien.

Di Indonesia, sektor kesehatan merupakan salah satu pilar penting dalam menjaga kesejahteraan masyarakat. Dalam hal ini, tenaga medis dan tenaga kesehatan memainkan peran yang sangat sentral. Dokter, perawat, bidan, apoteker, tenaga laboratorium, dan berbagai profesi kesehatan lainnya adalah ujung tombak dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Tanpa adanya tenaga medis dan tenaga kesehatan yang kompeten dan terlatih dengan baik, sistem kesehatan sebuah negara akan hancur. Namun, meskipun kontribusi mereka sangat besar, banyak tenaga medis dan tenaga kesehatan yang mengalami kesulitan dalam mendapatkan kesejahteraan yang layak. Hal ini menjadi masalah yang mendalam yang perlu diatasi, karena kesejahteraan profesi mereka adalah faktor penentu kualitas pelayanan yang mereka berikan kepada pasien.

Kesejahteraan Profesi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang Tidak Memadai

Kesejahteraan tenaga medis dan tenaga kesehatan bukan hanya mencakup aspek gaji dan tunjangan yang diterima, tetapi juga mencakup berbagai aspek lain seperti jaminan kesehatan, perlindungan kerja, waktu istirahat, dan beban kerja yang wajar. Banyak tenaga medis yang merasa tidak dihargai atau tidak diperlakukan dengan adil oleh rumah sakit atau fasilitas kesehatan tempat mereka bekerja. Mereka sering kali menghadapi jam kerja yang panjang, tekanan psikologis yang tinggi, serta beban kerja yang sangat besar tanpa mendapatkan kompensasi yang memadai. Dalam beberapa kasus, tenaga medis dan tenaga kesehatan juga tidak mendapatkan fasilitas yang memadai untuk mendukung pekerjaan mereka, seperti alat medis yang canggih, lingkungan kerja yang aman, serta kesempatan untuk mengembangkan diri melalui pelatihan atau pendidikan berkelanjutan.

Masalah ini semakin memburuk di era pandemi COVID-19, di mana para tenaga medis dan tenaga kesehatan menjadi garis depan dalam menghadapi krisis kesehatan yang sangat besar. Meskipun mereka berjuang keras untuk merawat pasien dan menjaga masyarakat tetap aman, banyak dari mereka yang tidak mendapatkan penghargaan yang sebanding dengan pengorbanan yang mereka lakukan. Bahkan, dalam beberapa kasus, mereka harus bekerja dengan kondisi yang kurang ideal, seperti keterbatasan alat pelindung diri (APD) atau fasilitas kesehatan yang terbatas. Meskipun banyak rumah sakit yang berusaha semaksimal mungkin untuk memberikan pelayanan terbaik, banyak juga rumah sakit yang tidak memberikan perhatian yang cukup terhadap kesejahteraan tenaga medis mereka, baik dari sisi finansial maupun non-finansial.

Ketidakpedulian Terhadap Kesejahteraan Profesi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan

Ketidakpedulian terhadap kesejahteraan tenaga medis sering kali berakar dari masalah manajerial di rumah sakit itu sendiri. Beberapa rumah sakit masih menganggap tenaga medis sebagai sumber daya yang bisa diperas seoptimal mungkin tanpa memberikan imbalan yang layak. Dalam beberapa kasus, rumah sakit berfokus pada keuntungan finansial semata, tanpa mempertimbangkan kualitas dan kesejahteraan tenaga medis yang bekerja di sana. Beberapa rumah sakit juga sering kali gagal dalam memberikan penghargaan yang pantas atas dedikasi tenaga medis dan tenaga kesehatan. Misalnya, meskipun beban kerja semakin berat, gaji yang diterima tenaga medis tidak sebanding dengan usaha yang mereka keluarkan.

Selain itu, sering kali rumah sakit gagal menyediakan lingkungan kerja yang sehat dan mendukung. Banyak tenaga medis yang bekerja dalam kondisi yang kurang baik, seperti kekurangan fasilitas yang memadai, jam kerja yang sangat panjang, dan beban kerja yang semakin meningkat. Kondisi ini tentu saja tidak hanya berpengaruh pada kesejahteraan fisik dan mental tenaga medis, tetapi juga dapat memengaruhi kualitas pelayanan kesehatan yang mereka berikan kepada pasien.

Pengaruh Ketidakpastian Kesejahteraan terhadap Kualitas Pelayanan Kesehatan

Kesejahteraan tenaga medis yang rendah tidak hanya berdampak pada tenaga medis itu sendiri, tetapi juga pada pasien dan masyarakat secara umum. Ketika tenaga medis merasa tidak dihargai atau tidak dihormati, mereka akan cenderung mengalami penurunan motivasi dan kepuasan kerja. Hal ini akan memengaruhi kualitas pelayanan yang mereka berikan kepada pasien. Selain itu, kurangnya kesejahteraan dapat menyebabkan tenaga medis mengalami kelelahan fisik dan mental, yang pada akhirnya meningkatkan kemungkinan terjadinya kesalahan medis. Hal ini tentu saja sangat berisiko bagi keselamatan pasien.

Dalam jangka panjang, ketidakpedulian terhadap kesejahteraan tenaga medis juga akan memperburuk stabilitas sistem kesehatan itu sendiri. Rumah sakit yang tidak memberikan perhatian terhadap kesejahteraan tenaga medis akan menghadapi tingginya angka turnover, di mana tenaga medis yang berkualitas memilih untuk keluar dan mencari pekerjaan di tempat lain yang lebih menghargai mereka. Tingginya turnover akan memperburuk kekurangan tenaga medis di rumah sakit dan meningkatkan biaya operasional rumah sakit, yang seharusnya bisa digunakan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan.

Peran Organisasi Profesi dalam Menjaga Kesejahteraan Tenaga Medis

Sebagai lembaga yang memiliki kewenangan dan tanggung jawab untuk menjaga kualitas profesi tenaga medis, organisasi profesi harus lebih proaktif dalam menangani masalah ini. Organisasi profesi, seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), dan organisasi profesi lainnya, memiliki peran yang sangat penting dalam mengawasi dan memperjuangkan hak-hak tenaga medis dan tenaga kesehatan. Salah satu langkah penting yang bisa diambil adalah dengan menerbitkan Red Notice bagi rumah sakit yang tidak memenuhi standar kesejahteraan tenaga medis dan tenaga kesehatan mereka.

Red Notice ini dapat berfungsi sebagai peringatan keras kepada rumah sakit agar segera memperbaiki kondisi kesejahteraan tenaga medis mereka. Penerbitan Red Notice juga menjadi sinyal kepada publik dan pihak terkait bahwa organisasi profesi serius dalam memperjuangkan hak-hak tenaga medis. Dalam banyak kasus, Red Notice ini akan memberikan tekanan kepada rumah sakit untuk memperbaiki kebijakan mereka dan memastikan bahwa tenaga medis dan tenaga kesehatan mendapatkan penghargaan yang layak.

Konsep Red Notice dalam Konteks Organisasi Profesi

Red Notice dalam konteks organisasi profesi dapat diartikan sebagai peringatan publik terhadap institusi yang gagal memenuhi standar kesejahteraan tenaga medis dan kesehatan. Penerbitan Red Notice bertujuan memberikan tekanan moral dan institusional kepada rumah sakit untuk segera melakukan perbaikan.

Urgensi Penerbitan Red Notice

  1. Meningkatkan Akuntabilitas Rumah Sakit
    • Dengan menerbitkan Red Notice, rumah sakit yang melanggar standar kesejahteraan dapat diawasi lebih ketat oleh masyarakat, pemerintah, dan pemangku kepentingan lain. Hal ini mendorong transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan sumber daya manusia.
  2. Melindungi Hak Tenaga Medis dan Kesehatan
    • Red Notice dapat menjadi instrumen untuk mengadvokasi hak tenaga medis dan tenaga kesehatan. Organisasi profesi berperan dalam memastikan anggotanya tidak menjadi korban ketidakadilan atau eksploitasi.
  3. Mencegah Penurunan Kualitas Pelayanan
    • Kesejahteraan tenaga kesehatan berkorelasi langsung dengan kualitas pelayanan. Rumah sakit yang tidak memberikan kesejahteraan layak berpotensi menghasilkan tenaga medis yang kurang termotivasi, sehingga berdampak negatif pada pelayanan kepada pasien.
  4. Memberikan Efek Jera
    • Publikasi Red Notice menjadi peringatan kepada rumah sakit lain untuk tidak melakukan pelanggaran serupa. Hal ini dapat menciptakan budaya kepatuhan terhadap standar kesejahteraan tenaga kesehatan.
  5. Memperkuat Peran Organisasi Profesi
    • Langkah tegas seperti penerbitan Red Notice menunjukkan komitmen organisasi profesi dalam membela anggotanya. Hal ini meningkatkan kredibilitas organisasi di mata tenaga medis dan masyarakat.

Mekanisme Implementasi Red Notice

  1. Pengumpulan Bukti dan Verifikasi
    • Organisasi profesi perlu mengumpulkan data terkait pelanggaran, seperti laporan anggota, audit independen, atau investigasi langsung.
  2. Dialog dan Peringatan Awal
    • Sebelum Red Notice diterbitkan, rumah sakit harus diberi kesempatan untuk memperbaiki pelanggaran melalui dialog konstruktif.
  3. Publikasi Red Notice
    • Jika tidak ada perubahan signifikan, Red Notice diterbitkan dan disebarluaskan melalui media resmi organisasi profesi.
  4. Pengawasan dan Evaluasi
    • Setelah penerbitan, organisasi profesi harus memantau perkembangan dan memberikan rekomendasi kepada instansi pemerintah terkait untuk intervensi lebih lanjut.

 

Sumber: Dr. Galih Endradita M


pedoman-pelayanan-rawat-inap.png

Latar Belakang

Pelayanan rawat inap mencerminkan kualitas manajemen klinis dan operasional rumah sakit, serta memegang peran penting dalam perawatan berkelanjutan lintas spesialisasi.

Untuk menjamin mutu, layanan ini harus diselenggarakan secara terstruktur, terintegrasi, dan berorientasi pada pasien dengan dukungan SDM, sarana, dan prosedur yang efisien.

Tujuan

Mewujudkan pelayanan rawat inap yang bermutu tinggi, aman, efektif, efisien, dan responsif terhadap kebutuhan pasien, serta selaras dengan perkembangan ilmu kedokteran, teknologi kesehatan, regulasi nasional, dan standar akreditasi rumah sakit.

Ruang Lingkup Pelayanan

Pelayanan rawat inap mencakup seluruh aktivitas pelayanan kesehatan yang diberikan kepada pasien selama menjalani perawatan di ruang rawat, mulai dari proses admisi hingga pemulangan atau rujukan.

Pelayanan ini melibatkan kolaborasi antarprofesi secara terpadu, termasuk dokter, perawat, bidan, tenaga kefarmasian, rehabilitasi medis, serta unit-unit penunjang lainnya.

Pelayanan diberikan secara menyeluruh dan berkesinambungan di berbagai jenis ruang perawatan, antara lain:

  1. Ruang perawatan umum
  2. Ruang perawatan intensif (ICU, NICU, PICU)
  3. Ruang perawatan khusus, seperti kebidanan, perinatologi, anak, bedah, interne, neurologi, dan VIP
  4. Ruang isolasi untuk kasus infeksi menular tertentu
  5. Ruang transisi seperti dari IGD, rawat jalan, maupun pasca-operasi

Alur Pelayanan

  1. Admisi:
    • Pasien diterima dari IGD/rawat jalan/rujukan, reservasi kamar sesuai kebutuhan klinis, identifikasi dan orientasi awal dilakukan oleh perawat.
  2. Orientasi Pasien:
    • Penjelasan fasilitas, jadwal layanan, alat medis, prosedur, dan edukasi dasar tentang keselamatan pasien.
  3. Asesmen:
    • Dilakukan oleh tim medis dalam 24 jam, termasuk asesmen lanjutan jika diperlukan; hasil digunakan untuk rencana asuhan terintegrasi.
  4. Pemberian Asuhan:
    • Pelayanan kolaboratif berbasis SPO dan clinical pathway, dokumentasi dalam rekam medis, evaluasi berkala dengan pendekatan SOAP.
  5. Perawatan Harian:
    • Monitoring rutin kondisi pasien, identifikasi sebelum tindakan, pencegahan risiko, dan komunikasi efektif dengan pasien/keluarga.
  6. Discharge Planning:
    • Dimulai sejak masuk, meliputi asesmen kesiapan pulang, penyusunan rencana pemulangan, edukasi, dan dokumentasi lengkap termasuk resume medis dan rujukan bila perlu.

Standar Operasional Pelayanan

  1. Standar Waktu Respons dan Penanganan
    • DPJP wajib visit awal ≤ 24 jam, kunjungan harian, konsultasi antarspesialis direspons ≤ 1×24 jam, tindakan dengan informed consent.
  2. Standar Asuhan Keperawatan
    • Pengkajian awal ≤ 4 jam, rencana asuhan dikaji tiap 3 hari, SBAR digunakan untuk handover.
  3. Standar Pemberian Obat dan Terapi
    • Pemberian obat sesuai instruksi dokter dan prinsip 5 benar, high alert & LASA diberi label khusus.
  4. Standar Dokumentasi Medis
    • Semua tindakan & komunikasi dicatat tepat waktu; CPPT dibuat harian & terintegrasi.
  5. Standar Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI)
    • Hand hygiene sesuai standar, APD sesuai risiko, isolasi & limbah medis dikelola sesuai K3.
  6. Standar Edukasi Pasien dan Keluarga
    • Dimulai sejak hari pertama, meliputi terapi, komplikasi, obat, pemulihan, dan kesiapan pulang.
  7. Standar Komunikasi Tim
    • Komunikasi antarprofesi dilakukan melalui:
      • Visit tim terpadu (interdisipliner)
      • Serah terima pasien dan shift
      • Rapat evaluasi kasus khusus atau pasien risiko tinggi
    • Komunikasi harus bersifat terbuka, profesional, dan terdokumentasi.
  8. Standar Pemulangan dan Tindak Lanjut
    • Disusun sejak awal, mencakup edukasi, resep, kontrol, dan rujukan bila perlu.

Sumber Daya

Pelayanan rawat inap diselenggarakan oleh tim multidisiplin yang terdiri dari:

  1. Tenaga Medis
    • Dokter spesialis sebagai penanggung jawab utama penatalaksanaan medis pasien
    • Dokter umum yang mendukung pelaksanaan visite dan tindakan sehari-hari
  2. Tenaga Keperawatan
    • Perawat umum dan perawat spesialis (mis. perawat luka, ICU, maternitas)
    • Bertanggung jawab atas pelaksanaan asuhan keperawatan profesional
  3. Tenaga Penunjang Klinis
    • Apoteker untuk pelayanan farmasi klinis
    • Ahli gizi untuk pemantauan status nutrisi dan penyusunan diet pasien
    • Fisioterapis, terapis okupasi, dan terapi wicara untuk kebutuhan rehabilitasi
  4. Tenaga Manajerial dan Administratif
    • Case manager atau koordinator layanan
    • Petugas administrasi rawat inap dan rekam medis
    • Staf penjaminan mutu dan keselamatan pasien
  5. Sarana dan Prasarana
    • Ruang perawatan sesuai standar kenyamanan & keamanan, nurse station, ruang tindakan, toilet terpisah, ruang isolasi, ruang tunggu keluarga, dan penyimpanan logistik.
  6. Alat Medis dan Penunjang
    • Tempat tidur pasien, alat monitoring (tensi, termometer, pulse oximeter), alat resusitasi, mobilisasi pasien, dan alat keperawatan rutin, dengan perawatan & kalibrasi berkala.
  7. Sistem Informasi & Komunikasi
    • SIMRS untuk rekam medis & koordinasi layanan; komunikasi antarprofesi melalui SBAR, CPPT, telepon, dan aplikasi digital.

Fokus Utama Dalam Implementasi Layanan

  1. Serah Terima Shift Perawat di Samping Tempat Tidur (Bedside Handover)
    • Operan shift di sisi pasien dengan checklist dan melibatkan keluarga bila memungkinkan.
  2. Visit Harian Terpadu (Interdisciplinary Bedside Rounds)
    • Tim multidisiplin berdiskusi langsung di depan pasien, hasilnya dicatat dalam CPPT.
  3. Penggunaan Whiteboard Informasi di Setiap Kamar Pasien
    • Papan informasi harian berisi nama penanggung jawab, diagnosis, rencana, dan estimasi pulang.
  4. Pelaksanaan Edukasi Pasien Berbasis Teach-Back
    • Edukasi bertahap sejak awal perawatan, dicatat dalam rekam medis.
  5. Penerapan Discharge Planning Sejak Hari Pertama
    • Dimulai sejak hari pertama, melibatkan tim dan keluarga, pastikan dokumen lengkap sebelum pulang.
  6. Audit Kepatuhan Prosedur Keselamatan Pasien dan Pencegahan Infeksi
    • Audit kepatuhan (hand hygiene, APD, gelang, pencegahan jatuh/dekubitus) untuk perbaikan mutu.
  7. Peningkatan Komunikasi Efektif Antarprofesi
    • Semua komunikasi dicatat di CPPT, gunakan SBAR, dan lakukan briefing harian tim.

 

Sumber: Dr. Galih Endradita M


teknologi-medis-jadi-kunci-efisiensi.png

Menteri Kesehatan RI, Budi Gunadi Sadikin, menegaskan bahwa inovasi dan teknologi medis merupakan elemen krusial dalam membangun sistem kesehatan nasional yang efisien, inklusif, dan berkelanjutan. Hal ini disampaikannya dalam forum 2025 APAC Health and Life Sciences Summit – Spotlight Indonesia, yang berlangsung pada Selasa (3/6) di Jakarta.

Dalam pemaparannya, Menkes Budi mengungkapkan bahwa belanja sektor kesehatan di Indonesia terus meningkat secara tidak sebanding dengan pertumbuhan ekonomi nasional. Ia mencatat bahwa pertumbuhan pengeluaran kesehatan selalu melampaui pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB).

“Kalau kita terus menambah belanja tanpa efisiensi, sistem ini tidak akan bertahan. Kita ibarat rumah tangga yang pengeluarannya naik 50 persen, tapi penghasilan hanya naik 8 persen. Ini jelas tidak seimbang,” ujarnya.

Menkes menjelaskan, untuk menyamai standar layanan kesehatan seperti di Malaysia, Indonesia membutuhkan tambahan anggaran hingga USD 84 miliar dalam lima tahun ke depan—tiga kali lipat dari anggaran saat ini. Karena itu, pendekatan berbasis teknologi dinilai sebagai strategi kunci agar sistem kesehatan tetap tangguh dan adaptif di tengah keterbatasan fiskal.

Salah satu contoh teknologi yang disorot adalah PCSK9 inhibitor, obat kolesterol generasi baru yang cukup disuntikkan satu kali dan terbukti mampu menurunkan kadar kolesterol secara signifikan. Obat ini direncanakan akan mulai digunakan di 500 rumah sakit di seluruh Indonesia sebagai solusi yang lebih efisien dibandingkan terapi konvensional yang mahal dan harus dikonsumsi setiap hari.

“Obat PCSK9 ini adalah game-changer. Dan ini baru satu contoh dari banyak inovasi medis yang bisa kita adopsi,” jelasnya.

Ia juga menyoroti potensi teknologi lain seperti bedah robotik dan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) dalam meningkatkan efisiensi layanan. Menurutnya, teknologi ini dapat mempercepat diagnosis, mempersingkat waktu operasi, dan mengurangi masa rawat inap—yang pada akhirnya menekan biaya sekaligus meningkatkan kualitas pelayanan.

“Teknologi tidak hanya membantu dokter, tetapi juga menyelamatkan anggaran negara. Kita harus mulai berpikir membangun sistem yang cerdas, bukan sekadar besar,” tegasnya.

Pemerintah memperkirakan total belanja sektor kesehatan Indonesia akan mencapai USD 240 miliar dalam lima tahun ke depan. Sekitar sepertiga dari anggaran tersebut akan dialokasikan untuk pengadaan alat kesehatan dan pengembangan teknologi medis.

Mengakhiri paparannya, Menkes Budi membagikan refleksi dari latar belakangnya sebagai bankir. Ia menyebut bahwa krisis selalu hadir dalam dua wajah: bahaya dan peluang. Saat ini, menurutnya, Indonesia berada di titik transisi penting, dan teknologi kesehatan adalah jawaban atas tekanan fiskal yang kian berat.

“Kita bisa melihat krisis sebagai ancaman, atau sebagai peluang. Bagi saya, ini adalah saat yang tepat untuk bertindak. Mari kita bangun sistem kesehatan Indonesia yang tangguh dan modern—bersama,” pungkasnya.

 

Sumber : Kemenkes


pedoman-pelayanan-rawat-jalan.png

Latar Belakang

Pelayanan rawat jalan merupakan pintu utama akses pasien ke rumah sakit dan berperan strategis dalam promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
Penguatan layanan ini penting untuk menjamin mutu, efisiensi, serta kesinambungan sistem rujukan dan respons terhadap kebutuhan masyarakat.

Tujuan

Terwujudnya pelayanan rawat jalan dan poliklinik yang bermutu, terintegrasi, efisien, dan berorientasi pada keselamatan pasien, sebagai bagian dari sistem pelayanan kesehatan di rumah sakit.

Ruang Lingkup Pelayanan

Pelayanan rawat jalan menyelenggarakan kegiatan evaluasi, diagnosis, terapi, dan tindak lanjut atas kondisi kesehatan pasien yang bersifat non-gawat darurat atau tidak memerlukan pemantauan intensif secara terus-menerus.

Pelayanan ini melibatkan berbagai unit kerja dan disiplin ilmu kedokteran untuk menjamin aksesibilitas, kontinuitas, dan kualitas layanan bagi pasien. Ruang lingkup unit kerja yang terkait pelayanan rawat jalan disesuaikan dengan masing-masing rumah sakit.

Layanan ini mencakup:

  1. Pelayanan dokter umum dan spesialis
  2. Layanan eksekutif dan non-eksekutif
  3. Layanan vaksinasi, tindakan minor, dan konsultasi lanjutan

Alur Pelayanan

  1. Pendaftaran:
    • Online, loket, WhatsApp, hotline, atau website (tergantung jenis poliklinik).
  2. Asesmen Awal:
    • Perawat menginput data di EHR: tanda vital, keluhan, dan skrining awal.
  3. Pemeriksaan Dokter:
    • Dilakukan sesuai jadwal, didampingi perawat yang mencatat tindakan.
  4. Tindakan Medis:
    • Dilakukan dengan informed consent; meliputi injeksi, EKG, infus, dan lainnya.
  5. Konsultasi & Edukasi:
    • Dokter menjelaskan hasil dan rencana terapi, serta memberikan edukasi kepada pasien.
  6. Pengambilan Obat:
    • Pasien BPJS langsung ke apotek; pasien umum membayar terlebih dahulu sebelum ke apotek.
  7. Tindak Lanjut:
    • Pasien bisa pulang, dirujuk, atau dijadwalkan rawat inap sesuai indikasi medis.

Standar Operasional Pelayanan

  1. Pendaftaran:
    • Verifikasi identitas dan rujukan
    • Input data ke SIMRS
  2. Asesmen Awal:
    • Dilakukan ≤10 menit
    • Meliputi anamnesis, tanda vital, dan antropometri (bila perlu)
  3. Pemeriksaan Dokter:
    • CPPT dicatat secara real-time
    • Diagnosis dan terapi ditetapkan saat kunjungan awal
  4. Tindakan Medis:
    • Informed consent wajib untuk tindakan berisiko
    • Perawat menyiapkan alat dan menjaga kenyamanan pasien
  5. Resep & Obat:
    • Resep dikirim melalui SIMRS
    • Apotek memberi estimasi waktu tunggu
  6. Dokumentasi & Follow-up:
    • Semua tindakan terdokumentasi
    • Kontrol, konsultasi, atau rujukan dijadwalkan
  7. Koordinasi Lintas Unit:
    • Permintaan laboratorium/radiologi sesuai kebutuhan
    • Hasil dapat diakses dokter secara elektronik

Sumber Daya

Sarana dan Prasarana

Instalasi Rawat Jalan harus memiliki:

  1. Ruang tunggu pasien dan pengantar dengan ventilasi dan pencahayaan memadai.
  2. Loket administrasi, informasi, dan kasir.
  3. Ruang pemeriksaan dokter umum dan spesialis.
  4. Ruang tindakan dengan peralatan steril dan meja tindakan minor.
  5. Instalasi Farmasi terintegrasi dengan sistem rekam medis.
  6. Ruang konsultasi gizi, fisioterapi, dan psikologi bila tersedia.
  7. Ruang menyusui (laktasi) dan toilet pasien/keluarga.
  8. Ruang rekam medis dan penyimpanan alat kesehatan.

Kompetensi Pelaksana

Pelayanan rawat jalan dilaksanakan oleh tim multidisiplin dengan kualifikasi:

  1. Dokter Umum dan Spesialis:
    • Memiliki STR aktif dan terdaftar di rumah sakit.
  2. Perawat dan Bidan:
    • Minimal lulusan D3 Keperawatan, memiliki pelatihan triase dan komunikasi efektif.
  3. Apoteker dan Tenaga Vokasi Farmasi:
    • Terlatih dalam dispensing, edukasi obat, dan manajemen logistik farmasi.
  4. Nutrisionis dan Fisioterapis:
    • Bila tersedia, memberikan intervensi pendukung sesuai kondisi pasien.
  5. Tenaga Administrasi:
    • Terampil dalam penggunaan sistem SIMRS dan berorientasi pada pelayanan pasien.
  6. Case Manager (jika ada):
    • Memastikan kesinambungan perawatan dan rujukan tepat waktu.

Logistik

  • Pengadaan BMHP dan Alkes
    • Dilakukan rutin berdasarkan kebutuhan per poli.
    • Menggunakan sistem permintaan barang terintegrasi dengan SIMRS.
  • Penerimaan dan Penyimpanan
    • Barang yang diterima diperiksa secara fisik dan dicek tanggal kedaluwarsa.
    • Disimpan di lemari/kabinet menggunakan sistem FIFO (First In First Out).
  • Penggunaan
    • Dicatat setiap shift dalam logbook atau sistem digital.
    • Penggunaan alat medis mengikuti prosedur untuk menjamin efisiensi dan keamanan.
  • Permintaan dan Penggunaan Barang Non-Medis
    • Contoh: tisu, cairan pembersih, alat tulis, dikendalikan oleh petugas ruangan.
    • Evaluasi penggunaan dilakukan secara rutin.

Fokus Utama Dalam Implementasi Layanan

  1. Waktu Tunggu Pendek dan Terukur:
    • Target ≤60 menit sejak kedatangan hingga pemeriksaan.
  2. Asesmen Awal Terstandar:
    • Dilakukan oleh perawat dengan format baku untuk data awal lengkap.
  3. Dokumentasi CPPT Berkualitas:
    • Dicatat sesuai kondisi aktual dan diawasi oleh Tim Mutu.
  4. Koordinasi Lintas Unit Responsif:
    • Farmasi, laboratorium, dan radiologi wajib memiliki waktu tanggap yang jelas.
  5. Edukasi Pasien yang Konsisten:
    • Disampaikan oleh dokter dan diperkuat oleh perawat atau apoteker saat pasien pulang.
  6. Discharge Instruction Tertulis:
    • Berisi gejala peringatan, obat, kontrol, dan kontak darurat yang harus diwaspadai oleh pasien.
  7. Pelayanan Poliklinik Eksekutif Unggul:
    • Fokus pada kenyamanan, efisiensi, dan layanan yang lebih personal.
  8. Monitoring Kepuasan Pasien:
    • Survei dilakukan secara digital/manual untuk mendeteksi hambatan dan sebagai dasar perbaikan layanan.

 

Sumber: Dr. Galih Endradita M


Copyright by Markbro 2025. All rights reserved.