Klaim BPJS Menggunakan RME Terintegrasi Satu Sehat

Klaim-BPJS-Menggunakan-RME-Terintegrasi-Satu-Sehat.png

Dasar Hukum Rekam Medik Elektronik

Rekam Medik Elektronik (RME) adalah catatan digital atas riwayat kesehatan pasien yang dikelola oleh fasilitas pelayanan kesehatan. Pemerintah mengatur kewajiban penyelenggaraan RME dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes). Permenkes Nomor 24 Tahun 2022 mewajibkan semua fasilitas pelayanan kesehatan menerapkan RME paling lambat 31 Desember 2023. Peraturan ini menggantikan Permenkes 269/2008 dan menegaskan bahwa dokumen rekam medis tetap milik fasilitas kesehatan. Pasien memegang hak atas isi RME, sedangkan penyelenggara wajib menjaga kerahasiaan dan keamanan data. Sebagaimana diatur oleh Undang‑Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. Dengan demikian, RME yang dikelola secara elektronik—misalnya dicetak ke format digital yang terenkripsi atau bersertifikat—memiliki kekuatan hukum setara dokumen kertas, asalkan sistemnya memenuhi ketentuan perundang-undangan.

Permenkes 24/2022 juga mengatur fungsi RME dalam proses klaim. Pasal 19 menyebutkan bahwa penginputan data untuk klaim pembiayaan (misalnya kode penyakit dan tindakan) pada aplikasi klaim harus berdasarkan hasil diagnosa dan tindakan dalam rekam medis. Artinya, data dari RME menjadi basis pengajuan tagihan biaya pelayanan kesehatan. Meski demikian, akses kepada data RME pihak ketiga (seperti BPJS) mensyaratkan persetujuan pasien (Hak Pasien atas isi RME) dan kepatuhan terhadap perlindungan data pribadi. Pasal 33-35 Permenkes 24 menyatakan bahwa pembukaan isi RME oleh pihak lain hanya dapat dilakukan berdasarkan persetujuan pasien atau ketentuan hukum tertentu.

Selain Permenkes, PP Nomor 28 tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksana Undang Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan menjadi dasar kerangka RME nasional. PP 28 tahun 2024 Pasal 552 menegaskan Setiap penyelenggara Pelayanan Kesehatan yang memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi harus menggunakan rekam medis elektronik dan mempunyai standar interoperabilitas sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri. Ketentuan ini berarti fasilitas harus mengadopsi RME mandiri, namun mendukung pertukaran data antar sistem (misalnya antar tingkat pelayanan). Dengan kata lain, walaupun RME masing‑masing rumah sakit tidak terhubung langsung satu sama lain, mereka harus mampu berbagi data melalui jalur terstandar.

Pada Pasal 781 menegaskan Rekam medis elektronik merupakan bagian dari Sistem Informasi Kesehatan Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan wajib terintegrasi dengan Sistem lnformasi Kesehatan Nasional. Pasal ini menegaskan posisi strategis RME sebagai bagian dari sistem informasi kesehatan nasional, bukan lagi hanya sebagai alat pencatatan internal fasyankes. Dengan adanya kewajiban integrasi ke Sistem Informasi Kesehatan Nasional (SIKN) — yang dalam operasionalnya dijalankan melalui platform SatuSehat Kemenkes — maka seluruh data rekam medis elektronik dari fasyankes harus tersedia dalam ekosistem terintegrasi yang juga dapat diakses oleh instansi pembina dan pengampu kebijakan seperti BPJS Kesehatan. BPJS Kesehatan adalah penyelenggara program jaminan sosial yang menjadi bagian dari sistem kesehatan nasional. Jika RME telah menjadi bagian dari sistem informasi nasional (SIKN/SatuSehat), maka akses BPJS terhadap data eRM untuk keperluan verifikasi klaim adalah sah dan didukung peraturan — dengan tetap tunduk pada prinsip persetujuan pasien dan perlindungan data pribadi. Dengan kata lain, dokumen digital hasil RME yang terintegrasi ke SIKN dapat dijadikan dasar sah untuk pemrosesan klaim BPJS, selama:

  1. Ada prosedur legal akses data (regulasi turunan atau MoU Kemenkes-BPJS),
  2. Dokumen elektronik dijamin keabsahannya (mis. melalui tanda tangan digital dokter, sistem audit trail, dll),
  3. Ada sistem pengiriman e-claim yang kompatibel (misalnya integrasi antara SatuSehat dengan VClaim BPJS).

Kebijakan dan Regulasi Interoperabilitas (Sistem SatuSehat)

Pemerintah mendorong integrasi data kesehatan di tingkat nasional melalui Platform SatuSehat (ekosistem pertukaran data kesehatan RI). Platform ini dibangun berlandaskan Perpres Satu Data Indonesia (Perpres 39/2019) dan Peraturan Menteri Kesehatan terkait Satu Data Kesehatan. Kementerian Kesehatan telah menerbitkan PMK No. 18/2022 yang mengatur penyelenggaraan Satu Data Bidang Kesehatan melalui sistem informasi kesehatan. PMK 18/2022 ini menjadi landasan awal pengembangan SatuSehat. SatuSehat dirancang untuk mengintegrasikan data kesehatan individu (rekam medis) secara digital dan menyediakan interoperabilitas antar sistem informasi kesehatan pemerintah maupun swasta. Situs resmi SatuSehat menyatakan platform ini berjalan sesuai ketentuan peraturan perundang‐undangan, artinya operasional SatuSehat didasari oleh aturan yang kuat.

Dalam Permenkes 24/2022 sendiri, kewajiban interoperabilitas eksplisit diatur. Pasal 21 menyatakan bahwa RME yang disimpan oleh fasilitas kesehatan harus terhubung (atau terinteroperabilitas) dengan platform layanan integrasi data kesehatan Kemenkes. Selanjutnya, Pasal 24 menghendaki agar transfer isi RME (misalnya saat rujukan) dilakukan melalui platform Kemenkes tersebut. Meskipun tidak disebut “SatuSehat” secara eksplisit, konteksnya jelas mengacu pada SatuSehat sebagai ekosistem nasional. Dengan demikian, Regulasi RME terbaru mewajibkan agar data medis elektronik tiap pasien dapat tersalur ke SatuSehat.

Interoperabilitas ini melibatkan standar teknis (seperti HL7 FHIR di SatuSehat) dan kepatuhan terhadap keamanan data. Misalnya, Peraturan Kominfo No. 20/2016 tentang Perlindungan Data Pribadi mengatur bagaimana data kesehatan—yang termasuk kategori sensitif harus dilindungi dalam sistem elektronik. Fitur keamanan (enkripsi, otentikasi dua faktor) dan persetujuan pasien di SatuSehat pun dirancang sesuai UU ITE dan Permen Kominfo. Dengan landasan hukum tersebut, integrasi RME ke SatuSehat dimaksudkan memenuhi kebijakan “Satu Data Kesehatan” dan mendukung sistem jaminan kesehatan nasional terintegrasi.

Regulasi dan Prosedur Klaim Pelayanan BPJS

Regulasi Klaim

Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) diatur oleh Perpres 82/2018 (dan revisinya) serta UU No. 24/2011 tentang BPJS. Pelayanan yang telah dilakukan dapat diklaim pembiayaannya melalui BPJS Kesehatan oleh fasilitas kesehatan yang bekerjasama. Peraturan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Nomor 7 Tahun 2018 secara rinci mengatur tata laksana klaim administrasi oleh fasyankes. Peraturan ini mewajibkan proses klaim yang cepat, tepat, dan kepastian administrasi, selaras dengan ketentuan terkini Perpres JKN.

Dokumen Pendukung Klaim

Menurut Pasal 19–20 Peraturan BPJS No. 7/2018, pengajuan klaim rawat inap/rawat jalan lanjutan harus disertai dokumen pendukung berikut:

  • Lembar SEP (Surat Eligibilitas Peserta): surat/format digital yang ditandatangani pasien atau keluarga sebagai bukti layanan JKN.
  • Resume Medis Pasien: ringkasan perjalanan medis (diagnosis, tindakan) yang ditandatangani oleh Dokter Penanggung Jawab Pasien (DPJP).
  • Laporan Tindakan/Operasi dan Hasil Pemeriksaan Penunjang (laboratorium, radiologi) jika ada.
  • Surat Perintah Rawat Inap dari dokter.
  • Surat Pernyataan Pemeriksaan Klaim oleh tim pencegahan kecurangan RS.
  • Checklist Klaim RS (format rumah sakit).
  • Luaran sistem informasi pengajuan klaim yang diunggah ke sistem BPJS (misalnya file digital klaim).

Selain itu, bukti administrasi umum seperti fotokopi identitas pasien (KTP), Kartu JKN, dan kuitansi biaya personal biasanya juga diminta sesuai petunjuk teknis BPJS. Untuk klaim non rawat inap (misal obat kronis atau ambulans), Peraturan BPJS No. 7/2018 Pasal 22–24 mensyaratkan dokumen spesifik seperti resep, bukti penerimaan obat/alat, surat rujukan, dan tanda terima biaya. Dengan kata lain, format klaim BPJS sangat formal dan terperinci: setiap jenis layanan punya daftar kelengkapan tersendiri, yang pada dasarnya berupa kombinasi SEP, resep, resume medis, laporan pendukung, formulir BPJS, dan bukti pembayaran.

Validitas Dokumen Klaim

Undang‑undang dan Peraturan BPJS tidak secara eksplisit melarang penggunaan dokumen elektronik sebagai pengganti kertas. Syarat formal umumnya menyebut “lembar SEP yang ditandatangani”, “resume medis yang ditandatangani DPJP”, dan lainnya. Namun, Pasal 20(e) BPJS 7/2018 mengizinkan “luaran sistem informasi pengajuan klaim” (misalnya cetakan atau file digital dari aplikasi e-Klaim) sebagai bagian lampiran. Lebih jauh, UU ITE Pasal 5 ayat (1) memastikan informasi atau dokumen elektronik (atau cetakannya) adalah alat bukti hukum yang sah. Dengan demikian, salinan digital rekam medis atau kelengkapan dokumen yang dihasilkan oleh sistem elektronik (mis. SatuSehat) pada prinsipnya sah sebagai bukti. Apabila RME dalam SatuSehat ditandatangani secara elektronik (misal tanda tangan elektronik dokter atau system audit trail terenkripsi), dokumen tersebut dapat memenuhi persyaratan legalitas sebagaimana jika ditandatangani tangan.

Namun, perlunya jaminan keabsahan (mis. sertifikat elektronik) dan kepatuhan pada prosedur verifikasi tetap harus dipenuhi. Selama mekanisme pengiriman dokumen digital mengikuti protokol BPJS (misalnya e-Klaim BPJS dan VClaim), serta memenuhi syarat UU ITE (keutuhan dan keaslian data), maka penggunaan RME terintegrasi bisa dipandang valid. Meskipun begitu, regulasi BPJS mungkin perlu disempurnakan atau diberikan pedoman baru agar dokumen elektronik yang diambil dari platform SatuSehat secara eksplisit diakui.

Kesesuaian SatuSehat dengan Dokumentasi Klaim BPJS

SatuSehat dirancang sebagai backbone data kesehatan nasional, memuat data rawat jalan, inap, registrasi, laboratorium, dan rekam medis yang terstandarisasi (HL7 FHIR). Integrasi RME ke SatuSehat berarti banyak informasi klinis pasien (diagnosis, hasil pemeriksaan, resep obat, dsb.) sudah tersedia dalam bentuk terstruktur dan dapat diakses antar sistem. Potensi pemanfaatan untuk klaim BPJS sebagai berikut:

  • Resume Medis dan Hasil Pemeriksaan: Data diagnosis, prosedur, dan hasil lab dari SatuSehat dapat ditarik untuk membuat resume medis elektronik. Jika sistem klaim BPJS menerima format digital tersebut, maka kebutuhan resume medis pasien dapat dipenuhi secara langsung dari RME digital.
  • Surat Rujukan/Surat Perintah: SatuSehat juga mencatat data kunjungan dan rujukan. Dokumen rujukan dari FKTP misalnya bisa dihasilkan secara digital melalui SatuSehat (atau diunduh) jika dibutuhkan oleh BPJS sebagai bukti rujukan.
  • Dokumen Lain: Beberapa dokumen tetap perlu dilembarkan secara manual (misalnya kuitansi pembayaran pribadi oleh peserta, surat pernyataan, formulir khusus rumah sakit), karena SatuSehat tidak mengelola data finansial internal fasilitas. Namun, SatuSehat luaran sistem informasi pengajuan klaim dapat otomatis berupa file yang diunggah ke sistem BPJS (sesuai regulasi e‑Klaim). Dengan kata lain, transfer data ke BPJS sudah dalam ranah elektronik.

Secara format, SatuSehat menggunakan standar terbuka (FHIR) dan koneksi API, sehingga integrasi dengan aplikasi BPJS (e-Klaim/VClaim) dimungkinkan secara teknis. Dokumen elektronik dari SatuSehat harus dilengkapi tanda tangan digital atau semacam checksum untuk memastikan keutuhan saat diterima BPJS. Jika BPJS mempersyaratkan berkas pdf hasil scan, fasilitas kesehatan dapat mengunduh data SatuSehat menjadi PDF/resume terlampir ke klaim. Dengan UU ITE, PDF elektronik itu setara hukum.

Namun perlu dicatat SatuSehat belum mencakup semua kelengkapan administratif. Misalnya, CAPD atau ambulan memerlukan surat permintaan khusus dan tanda terima (yang mungkin belum di-generate oleh SatuSehat). Checklist dan formulir internal rumah sakit juga tidak ada di SatuSehat. Oleh sebab itu, meski SatuSehat mampu menyuplai sebagian besar data medis, beberapa dokumen masih harus dibuat konvensional. Hasil evaluasi ini menunjukkan SatuSehat sesuaiuntuk menyediakan data medis utama, tetapi tidak sepenuhnya menggantikan seluruh berkas klaim BPJS yang bersifat administratif. Implementasi lebih lanjut (misalnya modul lengkap e-Klaim terintegrasi ke SatuSehat) akan menentukan tingkat keselarasan dokumentasi.

Potensi dan Tantangan Hukum/Regulasi

Potensi: Implementasi RME terintegrasi SatuSehat untuk klaim BPJS dapat meningkatkan efisiensi dan akurasi. Data pasien yang terpusat mengurangi redudansi pengisian ulang, mempercepat proses klaim, serta meminimalkan kesalahan pengkodean (INA‑CBGs) karena data diagnosis diambil langsung dari rekam medis elektronik. Dukungan UU ITE memperkuat penggunaan dokumen elektronik sebagai dasar hukum klaim. Selaras dengan visi Satu Data Indonesia, skema ini mendorong transparansi dan analisis data kesehatan skala besar untuk kebijakan kesehatan. Dengan kolaborasi Kemenkes dan BPJS, kebijakan ini dapat memperkuat jaminan sosial melalui integrasi pelayanan.

Tantangan:

  • Pertama, kepatuhan perlindungan data pribadi harus dijaga pertukaran RME ke BPJS butuh persetujuan pasien atau landasan hukum kuat (misalnya pasien sudah terdaftar di BPJS jadi diasumsikan setuju berbagi data untuk klaim). Peraturan Kominfo No. 20/2016 harus dipenuhi (misalnya persetujuan eksplisit, keterbukaan Tujuan Pemrosesan data).
  • Kedua, kesiapan teknis dan prosedural BPJS perlu diatur. Regulasi klaim saat ini menyebut penandatanganan manual; perlu kebijakan turunan agar surat atau tanda tangan dokter dapat dilakukan elektronik. BPJS mungkin perlu mengeluarkan pedoman baru (misal Surat Edaran atau Juklak/Petunjuk Teknis) yang mengakui dokumen digital dari SatuSehat sebagai bukti sah. Sebaliknya, fasilitas kesehatan wajib memastikan sistem RME-nya berlisensi dan terdaftar sebagai Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) sesuai aturan PSE Kominfo.
  • Ketiga, aspek akuntabilitas menjadi penting: jika terjadi sengketa klaim, pihak berwenang harus menetapkan apakah data RME elektronik dapat dipertanggungjawabkan. UU ITE mensyaratkan sistem elektronik yang handal agar bukti elektronik diakui; maka sertifikasi dan audit sistem RME/SatuSehat menjadi krusial.

Secara keseluruhan, penggunaan RME terintegrasi SatuSehat sebagai dasar klaim BPJS menawarkan prospek besar untuk modernisasi sistem kesehatan. Namun, regulasi perlu terus diperbarui: Kemenkes dan BPJS harus berkoordinasi merumuskan aturan implementasi bersama (mungkin melalui Nota Kesepahaman, Permenkes bersama, atau pedoman teknis) agar integrasi ini legal, valid, dan efektif. Kepastian hukum bagi dokumen elektronik (UU ITE) telah ada, tetapi detail prosedur dan standar teknisnya harus disepakati oleh pemangku kepentingan. Dengan landasan regulasi yang tepat, sistem SatuSehat dapat mendukung proses klaim JKN secara digital dengan meminimalkan hambatan administratif, sekaligus menegakkan ketentuan hukum yang berlaku

 

Sumber : Dr Galih Endradita M

Admin PERSI JATIM faradilla

Copyright by Markbro 2025. All rights reserved.