Gawat Darurat, Resusitasi, dan DNR: Di Antara Detik Kritis, Etika Profesi, dan Kepastian Hukum

Di ruang gawat darurat, waktu tidak pernah netral. Setiap detik adalah keputusan, dan setiap keputusan berpotensi menjadi hidup, kematian, atau perkara etik dan hukum. Di sinilah resusitasi—sebagai simbol tertinggi upaya penyelamatan—bertemu dengan batasannya sendiri, yakni Do Not Resuscitate (DNR).
1. Gawat Darurat sebagai Imperatif Moral dan Hukum
Dalam sistem hukum kesehatan Indonesia pasca UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan dan PP Nomor 28 Tahun 2024, Gawat Darurat tidak lagi dipahami sekadar kondisi klinis, tetapi sebagai keadaan hukum khusus.
Gawat darurat didefinisikan sebagai kondisi pasien yang membutuhkan tindakan medis dan/atau psikologis segera untuk:
- penyelamatan nyawa; dan
- pencegahan kedisabilitasan.
Konsekuensinya tegas:
- Rumah sakit wajib melayani, tanpa melihat status administrasi atau finansial;
- Dilarang menolak pasien, meminta uang muka, atau menunda tindakan karena urusan administratif;
- Tenaga medis dan tenaga kesehatan wajib memberikan pertolongan pertama.
Kegagalan memenuhi kewajiban ini bukan sekadar pelanggaran etik, tetapi tindak pidana (Pasal 438 UU Kesehatan), dengan ancaman penjara hingga 10 tahun jika berakibat kematian atau kecacatan.
Dengan demikian, pelayanan gawat darurat adalah perintah hukum (legal mandate) sekaligus imperatif etik.
2. Resusitasi: Antara Kewajiban Menolong dan Larangan Menyakiti
Resusitasi (CPR) selama ini dipersepsikan sebagai kewajiban mutlak dalam kondisi henti napas atau henti jantung. Namun perkembangan etik kedokteran modern—dan kini diakui secara normatif—menunjukkan bahwa resusitasi tidak selalu identik dengan kebaikan.
Dalam kondisi tertentu, seperti:
- penyakit terminal stadium akhir,
- kegagalan multi organ,
- kerusakan otak permanen,
- fase akhir penyakit degeneratif,
resusitasi dapat:
- tidak memberikan manfaat klinis bermakna,
- memperpanjang penderitaan,
- melanggar martabat pasien.
Di sinilah prinsip Beneficence dan Non-Maleficence diuji:
Apakah tindakan ini benar-benar menolong, atau justru menyakiti?
Secara etik, resusitasi bukan kewajiban absolut, melainkan kewajiban kontekstual yang harus mempertimbangkan:
- prognosis,
- proporsionalitas tindakan,
- nilai dan kehendak pasien.
3. DNR: Dari Tabu Klinis Menjadi Keputusan Etik yang Sah
Do Not Resuscitate (DNR) bukanlah tindakan pasif membiarkan pasien meninggal, dan bukan pula euthanasia. DNR adalah keputusan klinis–etik untuk tidak melakukan tindakan resusitasi tertentu (CPR, defibrilasi, intubasi darurat) apabila terjadi henti jantung atau napas.
Secara etik, DNR berdiri di atas empat pilar:
- Autonomy
Pasien berhak menentukan apakah ia menghendaki atau menolak resusitasi setelah mendapat penjelasan memadai. - Beneficence & Non-Maleficence\
Tidak memaksakan tindakan invasif yang sia-sia dan menyakitkan.
- Justice
Penggunaan sumber daya secara rasional dan proporsional. - Dignity
Menjaga martabat kematian yang manusiawi.
Secara hukum Indonesia (hingga 2025), DNR tidak dilarang, sepanjang:
- didasarkan pada indikasi klinis yang jelas,
- melalui komunikasi dan persetujuan yang sah,
- didokumentasikan dengan baik,
- tidak bertentangan dengan larangan euthanasia aktif.
Persetujuan Tindakan dan Pengecualian dalam Gawat Darurat
Prinsip umum hukum kesehatan menyatakan bahwa setiap tindakan medis memerlukan persetujuan pasien (informed consent). Namun dalam kondisi gawat darurat, hukum memberikan pengecualian penting:
Jika:
- pasien tidak cakap memberikan persetujuan,
- tidak ada wakil yang dapat dimintai persetujuan,
- tindakan harus segera dilakukan,
maka:
- persetujuan tidak diperlukan, dan
- tenaga medis wajib bertindak berdasarkan kepentingan terbaik pasien.
Ketentuan ini melindungi tenaga medis dari kriminalisasi atas tindakan penyelamatan nyawa yang dilakukan dengan itikad baik.
Sebaliknya, DNR yang sah justru menjadi dasar hukum untuk tidak melakukan resusitasi, sehingga tindakan “tidak melakukan CPR” bukan kelalaian, melainkan kepatuhan terhadap keputusan etik dan klinis.
Aspek Disiplin Profesi: Garis Tipis antara Etik dan Sanksi
Dengan berlakunya PMK Nomor 3 Tahun 2025, spektrum pelanggaran disiplin profesi ditegaskan, antara lain:
- praktik tidak kompeten,
- tidak memberikan penjelasan yang jujur dan memadai,
- mengabaikan tanggung jawab profesi,
- menolak tindakan tanpa alasan yang sah,
- tidak membuat rekam medis.
Dalam konteks gawat darurat dan DNR:
- tidak melakukan resusitasi tanpa dasar klinis atau tanpa dokumentasi → berisiko pelanggaran disiplin;
- melakukan resusitasi yang tidak indikatif dan melanggar kehendak pasien → berpotensi pelanggaran etik dan disiplin;
- tidak mendokumentasikan keputusan DNR → membuka risiko sengketa etik, disiplin, dan hukum.
Dengan demikian, rekam medis, informed consent, dan keputusan tim klinis menjadi benteng utama perlindungan tenaga medis.
Penutup: Menjaga Nyawa, Menjaga Martabat, Menjaga Profesi
Di ruang gawat darurat, tenaga medis tidak hanya berhadapan dengan pasien, tetapi juga dengan:
- nilai kehidupan,
- batas intervensi,
- tanggung jawab hukum,
- dan martabat profesi.
Resusitasi adalah simbol harapan, tetapi DNR adalah simbol kebijaksanaan klinis dan kematangan etik. Keduanya bukan lawan, melainkan bagian dari spektrum pelayanan yang berorientasi pada kepentingan terbaik pasien.
Tantangan pelayanan gawat darurat di era 2025 bukan lagi sekadar apakah bisa menyelamatkan, tetapi:
apakah tindakan itu bermakna, etis, sah secara hukum, dan menghormati kemanusiaan pasien.
Sumber : Dr Galih Endradita M





