Kewajiban Rumah Sakit dalam Pelayanan Darurat

Landasan Normatif
UU 17/2023 mengatur Gawat Darurat sebagai keadaan klinis pasien yang membutuhkan tindakan medis/psikologis segera demi penyelamatan nyawa dan pencegahan kedisabilitasan (Pasal 1 angka 24). Dengan pengertian ini, setiap penundaan pelayanan kesehatan dapat berimplikasi hukum, etik, dan pidana.
Hak Pasien dan Hak Setiap Orang
- Hak Universal atas Pelayanan Darurat (Pasal 4 ayat (2) & (3)):
Dalam keadaan gawat darurat, pasien tidak dapat menolak pertolongan tertentu, dan tenaga medis wajib bertindak meskipun tanpa persetujuan. - Tanpa Persetujuan dalam Keadaan Darurat (Pasal 293):
Menegaskan prinsip implied consent → dokter dapat langsung melakukan tindakan penyelamatan nyawa tanpa menunggu tanda tangan pasien/keluarga.
Analisis: Hak pasien dilindungi sekaligus dibatasi secara proporsional. Pada kondisi normal, pasien berhak menolak tindakan, tetapi dalam gawat darurat hak ini ditangguhkan demi protection of life (perlindungan nyawa).
Kewajiban Rumah Sakit
- Larangan Menolak Pasien Darurat (Pasal 174): Fasilitas kesehatan wajib mendahulukan penyelamatan nyawa, tidak boleh menolak pasien, meminta uang muka, atau menunda karena administrasi.
- Kewajiban Sosial RS (Pasal 189): Rumah sakit harus memberikan pelayanan gawat darurat tanpa diskriminasi, tanpa uang muka, bahkan untuk pasien tidak mampu.
Analisis: Rumah sakit tidak hanya institusi layanan tetapi juga memikul fungsi sosial. Penolakan pasien darurat bisa dikualifikasi sebagai pelanggaran administratif sekaligus pidana.
Kewajiban Tenaga Medis & Tenaga Kesehatan
- Wajib Pertolongan Pertama (Pasal 275 ayat (1)): Dokter/perawat wajib memberi pertolongan pertama pada pasien gawat darurat.
- Imunitas Hukum (Pasal 275 ayat (2)): Tindakan penyelamatan nyawa tidak dapat dituntut ganti rugi sepanjang dilakukan sesuai standar profesi.
Analisis: Pasal ini memberi perlindungan hukum bagi tenaga medis agar tidak ragu bertindak. Selama tindakan dilakukan dengan good faith dan standar profesi, tenaga medis bebas dari risiko gugatan perdata.
Sanksi Pidana
- Pasal 438 ayat (1): Tidak memberi pertolongan pertama → pidana 2 tahun atau denda Rp200 juta.
- Pasal 438 ayat (2): Jika mengakibatkan kecacatan/kematian → pidana 10 tahun atau denda Rp2 miliar.
Analisis:
- Norma ini menekankan ultimum remedium (pidana sebagai senjata terakhir) untuk mencegah RS/tenaga medis abai terhadap pasien darurat.
- Sanksi diperberat bila akibatnya fatal, sehingga mencerminkan asas causal liability (pertanggungjawaban karena akibat).
Dimensi Etik & Disiplin
Selain norma hukum positif, gawat darurat terkait erat dengan Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) dan standar profesi. Dokter yang menolak pasien gawat darurat melanggar:
- Etik → kewajiban moral menolong tanpa diskriminasi.
- Disiplin → melanggar ketentuan dalam MDP
- Hukum → terancam sanksi administratif & pidana.
Analisis: Dengan demikian, ketidakpatuhan terhadap kewajiban darurat dapat menimbulkan triple sanction: etik, disiplin, dan hukum pidana.
Implikasi Praktis bagi Rumah Sakit
- Sistem Triage & SOP: RS wajib memiliki sistem triase gawat darurat yang jelas agar tenaga medis dapat segera bertindak tanpa hambatan administratif.
- Pendanaan: RS harus menyiapkan mekanisme subsidi silang atau klaim BPJS untuk menutup biaya pelayanan darurat pasien tidak mampu.
- Audit & Pengawasan: Penolakan pasien gawat darurat berpotensi menjadi temuan hukum dan audit BPJS.
- Pendidikan Tenaga Medis: Pelatihan etika kedaruratan perlu dikuatkan agar tenaga medis paham batasan hak, kewajiban, dan perlindungan hukum.
Kesimpulan
- Gawat darurat adalah prioritas hukum tertinggi dalam pelayanan kesehatan menurut UU 17/2023.
- Pasien memiliki hak absolut untuk ditolong, meskipun hak lain (hak menolak, hak persetujuan) bisa dikesampingkan demi nyawa.
- Rumah sakit dan tenaga medis wajib memberi pertolongan segera tanpa diskriminasi, tanpa uang muka, tanpa hambatan administrasi.
- Tenaga medis mendapat perlindungan hukum bila bertindak sesuai standar profesi.
- Ada sanksi pidana tegas bagi RS/tenaga medis yang menolak memberikan pelayanan darurat.
Sumber : Dr. Galih Endradita M





