Komunikasi Efektif antara Surveior dan Rumah Sakit dalam Akreditasi

Komunikasi-Efektif-antara-Surveior-dan-Rumah-Sakit-dalam-Akreditasi.png

Proses akreditasi rumah sakit menuntut komunikasi dua arah yang jelas antara tim survei akreditasi dengan manajemen dan staf rumah sakit. Surveior (penilai) dan pihak rumah sakit harus berkolaborasi untuk mencapai pemahaman bersama atas standar mutu dan keselamatan pasien. Namun dalam praktiknya ada berbagai kendala komunikasi yang harus diantisipasi agar akreditasi berjalan efektif dan mendorong budaya mutu.

Tantangan Komunikasi dalam Akreditasi

Berbagai hambatan komunikasi sering muncul dalam proses akreditasi. Salah satunya adalah resistensi terhadap perubahan dan batasan sumber daya, yang menurut teori Lewin dapat memunculkan isu komunikasiyang menghambat perubahan. Di samping itu, komunikasi internal yang buruk di rumah sakit – misalnya laporan mutu yang tidak disampaikan ke manajemen – dapat mengganggu pemahaman bersama. Studi kasus di RS menunjukkan bahwa kegagalan menyampaikan hasil analisis data kepada pimpinan mengindikasikan defisiensi dalam sistem komunikasi internal rumah sakit. Faktor lain adalah ketidaksamaan kekuasaan: kehadiran surveior seringkali menimbulkan rasa canggung atau takut pada staf rumah sakit, sehingga mereka enggan terbuka. Berdasarkan teori komunikasi interpersonal oleh Dale Carnegie, surveior yang “kurang nyaman” memberi umpan balik mungkin kesulitan memotivasi perubahan di rumah sakit. Perbedaan status ini dapat memperdalam rasa ketidaksetaraan dalam komunikasi, sebagaimana diilustrasikan oleh Wood – keterlibatan pihak ketiga (surveior) dapat memperparah perasaan tidak berdaya pasien dan staf jika komunikasi tidak didesain suportif. Tambahan pula, kesalahan istilah teknis atau prosedur dapat menimbulkan kesalahpahaman. Kesimpulannya, kendala komunikasi dalam akreditasi mencakup hambatan teknis, informasi, maupun aspek budaya, yang kesemuanya perlu diidentifikasi dan diatasi agar proses akreditasi efektif.

Strategi Meningkatkan Komunikasi

Untuk mengatasi kendala di atas, perlu diterapkan strategi komunikasi yang sistematis dan inklusif. Beberapa langkah kunci antara lain:

Pelatihan Komunikasi Surveior:

Surveior perlu memiliki kompetensi komunikasi interpersonal yang kuat. Keterampilan ini membantu mereka membangun hubungan kerja positif dengan pihak yang diaudit. Pelatihan khusus (misalnya prinsip Dale Carnegie) dapat mengajarkan surveior cara memberikan umpan balik konstruktif dan sensitif, sehingga meningkatkan kepercayaan diri dan memastikan pesan tersampaikan dengan baik.

Briefing Harian dan Konferensi Akhir:

Sesuai pedoman akreditasi, tim survei melaksanakan briefing harian untuk menjelaskan temuan sementara dan memberikan kesempatan klarifikasi bagi RS. Pada akhir survei diadakan exit conference untuk mendiskusikan hasil temuan dengan direksi RS. Format formal ini menjamin adanya dialog terbuka: surveior memaparkan ringkasan temuan, direksi dapat mengajukan pertanyaan, dan kedua pihak mendiskusikan rekomendasi tindak lanjut.

Keterbukaan dan Kolaborasi:

Komunikasi harus bersifat dua arah dan kolaboratif. Menurut John Maxwell, komunikasi terbuka, saling menghargai, dan kerjasama dalam mencapai tujuan bersama adalah unsur kunci dalam hubungan surveior–rumah sakit. Dengan kata lain, surveior tidak hanya sebagai pengawas, melainkan mitra simbiotik. Manajemen RS perlu menyiapkan forum diskusi (misalnya pertemuan koordinasi pra-survei, penyampaian materi akreditasi) untuk menyampaikan visi, sasaran mutu, dan kendala yang dihadapi. Begitu pula, surveior harus bersikap transparan dan profesional, menjelaskan maksud temuan tanpa memberi kesan menghakimi.

Keterlibatan Pemangku Kepentingan:

Melibatkan berbagai pihak (pimpinan RS, komite medik, perawat, dll.) dalam pembahasan akreditasi dapat memperkuat komunikasi. Teori perubahan organisasi menekankan pentingnya kolaborasi yang kuat dan partisipasi semua pemangku kepentingan (Kotter). Praktik baiknya, rumah sakit dan surveior bersama-sama merancang rencana kerja selama survei, sehingga harapan dan tanggung jawab jelas sejak awal. Pendekatan berbasis tim (tim akreditasi rumah sakit) juga membantu menyalurkan informasi ke seluruh unit layanan secara konsisten.

Penggunaan Instrumen Terstandar:

Menggunakan alat komunikasi standar dapat membantu. Misalnya, rumah sakit sering menerapkan metode SBAR (Situation-Background-Assessment-Recommendation) untuk pelaporan klinis. Meskipun ini contoh untuk komunikasi antar tenaga kesehatan, prinsipnya (pesan singkat, latar belakang, evaluasi, rekomendasi) dapat diadaptasi saat surveior menyampaikan temuan – memberikan informasi lengkap sekaligus sistematis. Di samping itu, institusi akreditasi seperti LIPA menyediakan pedoman wawancara dan checklist yang menjadi pedoman baku guna mengurangi kebingungan istilah.

Teknologi dan Media Komunikasi:

Pemanfaatan teknologi (misal aplikasi survei daring, email, platform berbagi dokumen) mempermudah pertukaran informasi. Komunikasi daring bisa digunakan untuk sosialisasi pra-survei atau pelaporan hasil sementara, sehingga mempercepat feedback. Marshall McLuhan menekankan bahwa medium mempengaruhi cara pesan diterima; dalam akreditasi modern, penggunaan sistem informasi manajemen mutu memungkinkan surveior mengunggah temuan dan rumah sakit melihatnya real time, memperbaiki hambatan logistik.

Studi Kasus Implementasi Komunikasi Efektif

Kasus:

Sebuah studi kasus di rumah sakit mengilustrasikan pentingnya komunikasi kolaboratif. Tim peningkatan mutu RS melibatkan direktur, ketua komite medik, dan staf keperawatan untuk menyusun indikator mutu dan mendiskusikan hasil survei bersama surveior. Hasilnya, surveior mampu memahami konteks riil rumah sakit dan memberikan rekomendasi yang tepat sasaran. Penulis studi tersebut menekankan bahwa memperkuat komunikasi dan kerja sama antar pemangku kepentingan (direksi, komite mutu, staf medis) sangat penting untuk menutup kesenjangan antara harapan standar dan kondisi lapangan. Dengan komunikasi terbuka tersebut, RS berhasil meningkatkan keterlibatan dalam program keselamatan pasien dan mutu layanan. Hal ini sejalan dengan temuan lain bahwa kolaborasi efektif antara surveior dan fasilitas kesehatan meningkatkan keterlibatan dalam keselamatan pasien, menciptakan pengalaman perawatan lebih positif dan hasil pasien yang lebih baik.

Kasus RSUD DS (2019):

Ketika tim LIPA mengakreditasi RSUD DS, kepemimpinan rumah sakit menempatkan peningkatan komunikasi sebagai salah satu sasaran keselamatan pasien utama. Bupati dan direktur RS menyambut tim survei dengan harapan masukan konstruktif dan dialog terbuka. Para pejabat RS menyampaikan keberhasilan penerapan Sasaran Keselamatan Pasien (termasuk “peningkatan komunikasi yang efektif”) sebagai motivasi tim survei. Setelah survei, dalam exit conference terlihat adanya diskusi dua arah yang baik: direktur RS aktif mengajukan pertanyaan dan tim survei memberi penjelasan detil. RSUD DS kemudian memperoleh predikat akreditasi sangat baik – contoh bahwa komunikasi proaktif dan transparan dapat mendukung keberhasilan akreditasi.

Faktor Individu Surveior:

Studi wawancara surveior akreditasi mengidentifikasi bahwa kemampuan komunikasi, integritas, dan keterampilan interpersonal merupakan faktor kunci keberhasilan seorang surveior. Surveior yang mampu berempati dan mendengarkan dengan baik lebih mudah membangun hubungan kerja positif. Sebaliknya, surveior yang kurang komunikatif cenderung menimbulkan ketidakpercayaan. Oleh karena itu, memilih surveior dengan kompetensi komunikasi yang baik dan senantiasa meningkatkan soft skills mereka adalah salah satu strategi penting.

Dampak Komunikasi Baik pada Akreditasi, Budaya Mutu, dan Keselamatan Pasien

Komunikasi yang efektif antara surveior dan rumah sakit berimplikasi langsung pada hasil akreditasi, budaya mutu, dan keselamatan pasien. Pertama, ketika surveior dapat menyampaikan temuan dan rekomendasi secara jelas serta manajemen RS merespons terbuka, tindak lanjut perbaikan dapat segera diimplementasikan. Komunikasi transparan membantu membangun kepercayaan dan akuntabilitas organisasi – “transparansi dalam komunikasi organisasi adalah kunci kepercayaan dan legitimasi”. Dengan demikian, hasil survei akreditasi tidak sekadar formalitas, melainkan menjadi instrumen peningkatan mutu berkelanjutan.

Kedua, budaya mutu di rumah sakit semakin kuat jika komunikasi antar stakeholder terjalin baik. Surveior yang bertindak sebagai mitra berdiskusi (bukan hanya pengawas) mendorong atmosfer kolaborasi. Teori-person centered care bahkan menyebut surveior sebagai agen perubahan: melalui komunikasi optimal mereka membantu mengatasi hambatan dan meningkatkan partisipasi staf dan pasien dalam keselamatan. Komunikasi semacam ini memupuk rasa kepemilikan bersama atas mutu, sehingga standar akreditasi lebih mudah dijalankan dalam praktek sehari-hari.

Ketiga, keselamatan pasien meningkat melalui komunikasi yang baik. Mis-komunikasi rawan menimbulkan kesalahan perawatan (misalnya salah identifikasi, salah dosis obat). Oleh karena itu, STARKES menetapkan “peningkatan komunikasi yang efektif” sebagai salah satu Sasaran Keselamatan Pasien. Surveior akreditasi dapat membantu menginternalisasi sasaran ini: misalnya dengan menanyakan kepada rumah sakit tentang prosedur read-back  atau penggunaan alat bantu komunikasi antar tim (SBAR). Sehingga komunikasi efektif tersebut tak hanya jadi persyaratan akreditasi, tetapi nyata meningkatkan keamanan pasien di lapangan.

Secara empiris, rumah sakit yang berhasil memfokuskan perbaikan komunikasi sering mencatat penurunan insiden keselamatan dan kenaikan kepuasan pasien. Pelopor studi menunjukkan bahwa surveior akreditasi dapat memfasilitasi hubungan komunikasi antara pasien, keluarga, dan staf medis, memastikan partisipasi aktif pasien dalam keputusan perawatan. Hal ini sejalan dengan teori bahwa komunikasi terbuka dan inklusif antara semua pihak berkontribusi positif pada hasil pasien dan mutu layanan.

Berdasarkan kajian literatur dan studi kasus di Indonesia, membangun komunikasi efektif antara surveior akreditasi dan rumah sakit sangat krusial. Tantangan seperti hambatan budaya, teknis, dan ketimpangan kekuasaan harus diatasi dengan strategi yang tepat – mulai dari pelatihan surveior, pertemuan rutin, hingga pendekatan kolaboratif. Kasus-kasus di lapangan menunjukkan bahwa ketika kedua belah pihak berkomunikasi terbuka dan saling menghargai, efektivitas akreditasi meningkat; rekomendasi survei diterima dengan konstruktif; serta budaya mutu dan keselamatan pasien di rumah sakit semakin menebal. Oleh karenanya, upaya peningkatan komunikasi harus menjadi bagian integral dari proses akreditasi di Indonesia, agar tujuan akreditasi – mutu pelayanan yang tinggi dan keselamatan pasien terjamin – dapat tercapai dengan optimal.

 

Sumber: Dr. Galih Endradita M

Admin PERSI JATIM faradilla

Copyright by Markbro 2025. All rights reserved.