Kriteria dan Tahapan Pelayanan Kegawatdaruratan

KEGAWATDARURATAN
RPMK ini membahas secara rinci tentang penanganan kegawatdaruratan di fasilitas pelayanan kesehatan, kriteria kegawatdaruratan, dan tata cara pelaksanaan pelayanan dalam situasi darurat. Hal ini meliputi pelayanan di pra fasilitas, intra fasilitas, dan antar fasilitas pelayanan kesehatan.
Kriteria Kegawatdaruratan
- Pasal 294 menjelaskan bahwa pelayanan dalam penanganan kegawatdaruratan medis dapat dilakukan oleh tenaga medis atau tenaga kesehatan yang bertugas. Pelayanan ini diberikan di luar kewenangan yang biasanya berlaku dalam rangka menyelamatkan nyawa pasien atau mencegah kecacatan (disabilitas). Tindakan ini perlu dilakukan segera, mengutamakan keselamatan pasien yang sedang dalam kondisi darurat medis.
Kriteria kegawatdaruratan medis meliputi:
- Situasi yang mengancam nyawa: Kondisi pasien yang jika tidak segera ditangani dapat menyebabkan kematian.
- Membahayakan diri sendiri, orang lain, atau lingkungan: Contoh situasi seperti ini adalah pasien dengan gangguan mental yang membahayakan dirinya sendiri atau orang di sekitarnya.
- Gangguan pada jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi: Ini termasuk kondisi seperti tersumbatnya jalan napas, sesak napas, atau gangguan sirkulasi darah yang signifikan.
- Penurunan kesadaran: Pasien yang mengalami kehilangan kesadaran mendadak memerlukan tindakan darurat.
- Gangguan hemodinamik: Misalnya, tekanan darah yang sangat rendah yang mengakibatkan aliran darah ke organ vital terganggu.
- Memerlukan tindakan segera: Semua kondisi yang memerlukan tindakan segera untuk menghindari kondisi yang lebih buruk seperti kematian atau kecacatan permanen.
Tambahan: Menteri Kesehatan dapat menetapkan kriteria tambahan jika ada kondisi khusus atau situasi yang belum tercakup dalam poin di atas. Hal ini memungkinkan fleksibilitas dalam menangani berbagai bentuk kegawatdaruratan.
Pelayanan dalam Kegawatdaruratan
- Pasal 295 menekankan bahwa pelayanan kegawatdaruratan dapat dilakukan dalam tiga tahap, yaitu:
- Pra Fasilitas Pelayanan Kesehatan: Penanganan darurat di lokasi kejadian, sebelum pasien mencapai fasilitas kesehatan. Misalnya, memberikan pertolongan pertama atau tindakan penyelamatan di tempat kecelakaan.
- Intra Fasilitas Pelayanan Kesehatan: Penanganan di dalam fasilitas kesehatan seperti rumah sakit, puskesmas, klinik, atau tempat praktik dokter.
- Antar Fasilitas Pelayanan Kesehatan: Penanganan saat merujuk pasien dari satu fasilitas kesehatan ke fasilitas kesehatan lainnya yang memiliki kemampuan lebih baik dalam menangani kondisi pasien.
Penanganan Pra Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Pasal 296)
Penanganan di luar fasilitas pelayanan kesehatan mencakup dua bentuk utama:
- Tindakan Pertolongan: Tindakan penyelamatan langsung di tempat kejadian, seperti melakukan resusitasi jantung paru (CPR) atau menghentikan perdarahan.
- Evakuasi Medis: Pemindahan pasien dari lokasi kejadian ke fasilitas kesehatan yang sesuai menggunakan ambulans transportasi atau ambulans Gawat Darurat. Jika ambulans tidak tersedia, evakuasi dapat dilakukan menggunakan alat transportasi lain yang tersedia di sekitar, dengan tetap menjaga resusitasi dan stabilisasi pasien.
Penanganan Intra Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Pasal 297)
Penanganan intra fasilitas adalah layanan gawat darurat yang diberikan di dalam fasilitas kesehatan. Fasilitas yang dapat memberikan pelayanan kegawatdaruratan meliputi:
- Puskesmas.
- Klinik.
- Tempat praktik mandiri dokter dan dokter gigi.
- Rumah sakit.
Rumah sakit memiliki kategori pelayanan gawat darurat yang dibagi menjadi empat level, berdasarkan kemampuan dan peralatan yang tersedia untuk menangani kasus-kasus darurat:
- Level I: Menangani kondisi kegawatdaruratan dasar dengan kemampuan dasar seperti resusitasi dan stabilisasi.
- Level II: Memiliki kemampuan tambahan seperti penggunaan EKG, defibrilasi, dan kemampuan melakukan bedah emergensi.
- Level III: Dilengkapi dengan alat yang lebih lengkap seperti ventilator, serta adanya Ruang Observasi Emergensi (ROE) dan layanan bedah darurat.
- Level IV: Tingkat tertinggi dengan peralatan paling lengkap, termasuk kemampuan melakukan anestesi darurat.
Level Pelayanan Kegawatdaruratan Intrafasilitas
- Pasal 298 merinci kemampuan tiap level pelayanan kegawatdaruratan di rumah sakit. Setiap level memiliki protokol dan fasilitas yang berbeda, menyesuaikan dengan tingkat keseriusan kondisi darurat yang dihadapi pasien.
- Pelayanan Kegawatdaruratan Level I:
- Diagnosis dan penanganan masalah pada jalan napas, ventilasi pernapasan, dan sirkulasi.
- Melakukan resusitasi dasar dan stabilisasi.
- Pelayanan Kegawatdaruratan Level II:
- Diagnosa lebih lanjut menggunakan peralatan yang lebih canggih seperti EKG.
- Melakukan tindakan emergensi seperti bedah darurat.
- Pelayanan Kegawatdaruratan Level III:
- Memiliki Ruang Observasi Emergensi (ROE).
- Dilengkapi alat-alat canggih termasuk ventilator.
- Pelayanan Kegawatdaruratan Level IV:
- Dilengkapi dengan kemampuan anestesi darurat.
- Peralatan lengkap untuk diagnosis dan tindakan darurat yang lebih kompleks.
- Pelayanan Kegawatdaruratan Level I:
Persyaratan Pelayanan Kegawatdaruratan
- Pasal 299: Penanganan kegawatdaruratan di fasilitas pelayanan kesehatan dilakukan di ruang pelayanan Gawat Darurat (IGD) untuk rumah sakit, atau ruang tindakan untuk puskesmas, klinik, dan tempat praktik dokter/dokter gigi mandiri. Jika diperlukan, penanganan darurat juga dapat dilakukan di ruangan lain di dalam fasilitas.
- Pasal 300: Fasilitas kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kegawatdaruratan harus memenuhi sejumlah persyaratan, yaitu:
- Sumber daya manusia yang kompeten, meliputi dokter, perawat, dan tenaga kesehatan lainnya yang memiliki kemampuan khusus dalam menangani kasus darurat.
- Sarana dan prasarana yang memadai, termasuk peralatan medis yang dibutuhkan untuk penanganan darurat.
- Obat-obatan dan bahan medis habis pakai yang selalu tersedia.
- Alat kesehatan yang sesuai standar untuk menangani kondisi kegawatdaruratan.
- Pasal 301 menambahkan bahwa sumber daya manusia harus disesuaikan dengan jenis dan kemampuan fasilitas kesehatan. Kompetensi kegawatdaruratan menjadi syarat wajib bagi tenaga medis dan tenaga kesehatan yang terlibat.
- Pasal 302:
- Tenaga medis yang memberikan pelayanan di luar kewenangan harus merupakan dokter atau dokter gigi yang bertanggung jawab atas pelayanan kegawatdaruratan. Mereka memiliki kewenangan untuk menetapkan apakah pasien masuk dalam kategori kegawatdaruratan medis.
- Penanggung jawab pelayanan kegawatdaruratan di puskesmas, klinik, dan rumah sakit harus ditetapkan oleh pimpinan fasilitas kesehatan, kecuali untuk praktik mandiri.
Dalam manajemen kegawatdaruratan, RPMK di atas sudah mencakup banyak aspek penting, namun ada beberapa elemen yang bisa ditambahkan untuk melengkapi kerangka kerja manajemen kegawatdaruratan yang lebih komprehensif, terutama terkait kebijakan manajemen, pelatihan, dan evaluasi. Berikut ini adalah beberapa aspek yang kurang atau bisa ditambahkan beserta penjelasannya:
1. Pelatihan dan Kompetensi Berkelanjutan
Tambahan yang diperlukan: Penting untuk menyertakan bagian yang secara eksplisit mengatur mengenai pelatihan berkelanjutan bagi tenaga medis dan kesehatan yang terlibat dalam penanganan kegawatdaruratan. Kompetensi kegawatdaruratan bukanlah kompetensi yang statis, karena prosedur dan alat-alat medis terus berkembang. Oleh karena itu, pelatihan dan pembaruan sertifikasi secara rutin harus dijadikan syarat, terutama untuk tenaga yang menangani pasien dalam kondisi darurat.
Rekomendasi tambahan: Wajib pelatihan simulasi (simulasi trauma, simulasi kode biru, dsb.) untuk memastikan kesiapan staf di semua level fasilitas kesehatan.
Referensi:
- World Health Organization (WHO), Health Emergency Preparedness, Response and Resilience.
- American College of Emergency Physicians (ACEP), Guidelines for Emergency Department Planning and Resource Guidelines.
2. Manajemen Risiko dan Keselamatan Pasien
Tambahan yang diperlukan: Ada baiknya dokumen ini mencakup protokol manajemen risiko yang sistematis untuk mengidentifikasi dan menilai risiko potensial pada setiap tahap penanganan kegawatdaruratan. Proses ini mencakup penilaian risiko terkait kegagalan dalam proses evakuasi, kesalahan diagnosis dalam kondisi gawat darurat, serta gangguan dalam komunikasi antar fasilitas kesehatan.
Rekomendasi tambahan: Protokol keselamatan pasien harus diintegrasikan, termasuk sistem pelaporan insiden atau kesalahan medis secara anonim untuk memperbaiki sistem.
Referensi:
- Joint Commission International (JCI) Standards for Emergency Care.
- Australian Commission on Safety and Quality in Health Care, National Safety and Quality Health Service Standards.
3. Penggunaan Teknologi dalam Penanganan Darurat
Tambahan yang diperlukan: RPMK ini tidak membahas penggunaan teknologi modern yang bisa membantu dalam kegawatdaruratan, seperti sistem triase digital, telemedicine untuk konsultasi darurat, atau penggunaan drone untuk pengiriman alat medis darurat di daerah terpencil. Teknologi ini dapat sangat membantu dalam meningkatkan respons kegawatdaruratan, terutama di daerah yang sulit diakses.
Rekomendasi tambahan: Sertakan kebijakan mengenai penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) untuk mendukung manajemen kegawatdaruratan, termasuk rekam medis elektronik, aplikasi penunjang triase, dan telemedicine untuk membantu diagnostik jarak jauh dalam kondisi darurat.
Referensi:
- WHO, eHealth in Emergency Management.
- Telemedicine and e-Health, Journal, Telemedicine in Emergency Medicine: A Practical Guide.
4. Koordinasi Antar Fasilitas dan Pemangku Kepentingan
Tambahan yang diperlukan: RPMK ini perlu lebih memperjelas sistem koordinasi antara berbagai pihak yang terlibat dalam situasi darurat, seperti koordinasi dengan layanan ambulans, dinas kesehatan daerah, dan sistem rujukan. Penting juga untuk mencakup penanganan dalam konteks bencana alam atau keadaan darurat massal, yang membutuhkan kolaborasi dengan instansi lain seperti Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB) atau TNI/Polri.
Rekomendasi tambahan: Menyertakan protokol standar untuk koordinasi multi-agency dalam situasi darurat massal, serta rencana kontingensi untuk situasi yang melibatkan banyak korban.
Referensi:
- Sphere Handbook, Humanitarian Charter and Minimum Standards in Humanitarian Response.
- Federal Emergency Management Agency (FEMA), National Incident Management System.
5. Sistem Triage yang Lebih Rinci
Tambahan yang diperlukan: Sistem triase yang lebih spesifik dan mendalam sebaiknya dijelaskan, termasuk kriteria prioritas yang jelas untuk menangani pasien berdasarkan tingkat keparahan. Ini bisa mencakup sistem seperti Emergency Severity Index (ESI) yang sering digunakan untuk memilah pasien di ruang gawat darurat.
Rekomendasi tambahan: Integrasi sistem triase warna (misal: merah untuk kasus paling kritis, kuning untuk kondisi serius tapi tidak mengancam nyawa, hijau untuk kasus yang lebih ringan) atau penggunaan protokol START (Simple Triage and Rapid Treatment).
Referensi:
- American College of Emergency Physicians (ACEP), Emergency Severity Index (ESI): A Triage Tool for Emergency Department.
- WHO, Triage in Emergency Care.
6. Evaluasi dan Audit Kinerja Pelayanan Gawat Darurat
Tambahan yang diperlukan: Setiap fasilitas kesehatan yang menyelenggarakan layanan kegawatdaruratan sebaiknya menjalani audit reguler dan evaluasi kinerja untuk memastikan kepatuhan terhadap standar pelayanan yang telah ditetapkan. Evaluasi kinerja ini harus melibatkan pemantauan terhadap waktu respons, kepuasan pasien, serta tingkat keberhasilan penanganan darurat.
Rekomendasi tambahan: Menerapkan key performance indicators (KPIs) untuk pelayanan gawat darurat, seperti waktu tanggap pertama, hasil klinis, serta hasil pasien pasca-keluar dari layanan darurat.
Referensi:
- Joint Commission International (JCI), Accreditation Standards for Hospitals.
- International Journal of Emergency Medicine, Performance Metrics in Emergency Medicine.
7. Persiapan dan Penanganan Kegawatdaruratan pada Keadaan Bencana
Tambahan yang diperlukan: RPMK sebaiknya mencakup strategi penanganan darurat pada situasi bencana, di mana layanan kegawatdaruratan harus beroperasi di luar kapasitas normal. Ini termasuk protokol untuk menangani mass casualty incidents (MCI), pembentukan pos darurat, serta prosedur evakuasi massal.
Rekomendasi tambahan: Menyusun rencana kontingensi untuk penanganan bencana besar dan situasi darurat massal, termasuk pelibatan pemangku kepentingan lain di luar fasilitas kesehatan seperti militer dan organisasi non-pemerintah.
Sumber: Dr. Galih Endradita M





