KEKOSONGAN HUKUM PADA PERLINDUNGAN NAKES DARI KEKERASAN DALAM PERSPEKTIF REGULASI PERUMAHSAKITAN DI INDONESIA

Kekosongan Hukum Pada Perlindungan Nakes dari Kekerasan dalam Perspektif Regulasi Perumahsakitan di Indonesia
Oleh : Galih Endradita1,3, Edy Suyanto2,3
1 Staf Pengajar Program Studi Kedokteran, Institut Teknologi Sepuluh November (ITS)
2 Ketua KSM Forensik dan Medikolegal, RSUD dr. Soetomo, Surabaya
3 Majelis Kehormatan Etik Rumah Sakit (MAKERSI), PERSI Wilayah Jawa Timur
Definisi
- Kekerasan adalah setiap perbuatan dengan atau tanpa menggunakan kekuatan fisik yang menimbulkan bahaya bagi badan atau nyawa, mengakibatkan penderitaan fisik, seksual, atau psikologis, dan merampas kemerdekaan, termasuk menjadikan orang pingsan atau tidak berdaya. (Pasal 156 UU No 1 tahun 2023 tentang KUHP)
- Ancaman Kekerasan adalah setiap perbuatan berupa ucapan, tulisan, gambar, simbol, atau gerakan tubuh, baik dengan maupun tanpa menggunakan sarana dalam bentuk elektronik atau nonelektronik yang dapat menimbulkan rasa takut, cemas, atau khawatir akan dilakukannya Kekerasan (Pasal 157 UU No 1 tahun 2023 tentang KUHP)
- Di Muka Umum adalah di suatu tempat atau Ruang yang dapat dilihat, didatangi, diketahui, atau disaksikan oleh orang lain baik secara langsung maupun secara tidak langsung melalui media elektronik yang membuat publik dapat mengakses Informasi Elektronik atau dokumen elektronik (Pasal 158 UU No 1 tahun 2023 tentang KUHP)
Kajian
Rumah sakit di Indonesia Pasca diundangkannya UU No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, dalam ketentuan menyangkut perumahsakitan peraturan pelaksana tersebut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2021 tentang Perumahsakitan, merubah ketentuan berkaitan dengan kewajiban rumah sakit yang sebelumnya tersebut dalam Undang undang Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.
Kewajiban rumah sakit dalam pasal 27 ayat 1 huruf (s) Peraturan pemerintah No 47 Tahun 2021, yaitu melindungi dan memberikan bantuan hukum bagi semua petugas rumah sakit dalam menjalankan tugas. Wujud kewajiban rumah sakit melindungi dan memberikan bantuan hukum bagi semua petugas rumah sakit, pasal 52 PP Nomor 47 Tahun 2021, dalam melaksanakan tugas sebagaimana tersebut dalam pasal 27 ayat (1) huruf s dilaksanakan dengan :
- Memberikan konsultasi hukum
- Memfasilitasi proses mediasi dan proses peradilan
- Memberikan advokasi hukum
- Memberikan pendampingan dalam penyelesaian sengketa medik
- Mengalokasikan anggaran untuk pendanaan proses hukum dan ganti rugi.
Pasal 52 dalam PP No 47 tahun 2021, memberikan definisi operasional pada definisi “melindungi dan memberikan bantuan hukum pada semua petugas rumah sakit dalam menjalankan tugas”, tidak disebutkan definisi perlindungan berkaitan dengan kekerasan ditempat kerja dan upaya mencegah potensi timbulnya kekerasan di rumah sakit. Sebagaimana kita ketahui, kekerasan di tempat kerja dapat dikenali pada risiko kekerasan, yang tersebut didalam standar akreditasi rumah sakit dalam keputusan Menteri kesehatan No 1128 tahun 2022 tentang standar akreditasi rumah sakit, yaitu pada Bab Kualifikasi dan Pendidikan Staf, Standar ke-9 tentang Kesehatan dan Keselamatan Kerja.
Pelanggaran atas kewajiban rumah sakit, pasal 54 PP Nomor 47 Tahun 2021, dikenai sanksi administratif berupa :
- Teguran
- Teguran tertulis
- Denda, dan atau
- Pencabutan perizinan rumah sakit
Pasal 54 PP Nomor 47 tahun 2021 tidak dapat dikenakan pada rumah sakit yang tidak memberikan perlindungan nakes pada kekerasan di tempat kerja, karena konteks dalam kewajiban tidak mendefinisikan kekerasan ditempat kerja. Apabila kita melihat pembinaan dan pengawasan rumah sakit yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dengan melibatkan organisasi profesi, asosiasi perumahsakitan dan organisasi kemasyarakatan disebutkan dalam Pasal 65 ayat 1, kemudian pada pasal 66 PP 47 tahun 2021, pembinaan dan pengawasan terdiri atas:
- Pemenuhan persyaratan rumah sakit
- Kesesuaian klasifikasi rumah sakit
- Pemenuhan kewajiban dan hak rumah sakit dan pasien
- Standar dan mutu pelayanan rumah sakit
Dalam melaksanakan tugas pengawasan, pemerintah pusat dan pemerintah daerah dapat mengangkat tenaga pengawas sesuai kompetensi dan keahliannya. Tenaga pengawas melaksanakan pengawasan yang bersifat teknis medis dan teknis perumahsakitan. Tenaga pengawas yang dibentuk oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah pun tidak dapat menjadikan aspek kekerasan ditempat kerja sebagai bahan materi pengawasan, karena tenaga pengawas dibatasi pada kontruksi definisi kewajiban di rumah sakit.
Pada kajian Undang Undang No 36 tahun 2014 tentang tenaga kesehatan, perlindungan tenaga kesehatan tersebut dalam pasal 4 huruf c
“Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggungjawab terhadap … (c) perlindungan kepada tenaga kesehatan dalam menjalankan praktik”
Bentuk penjelasan tanggungjawab ini disebutkan dalam pasal 5 Undang Undang No 36 tahun 2014. Dalam melaksanakan tanggung jawabnya, Pemerintah berwenang untuk:
- menetapkan kebijakan Tenaga Kesehatan skala nasional selaras dengan kebijakan pembangunan nasional;
- merencanakan kebutuhan Tenaga Kesehatan;
- melakukan pengadaan Tenaga Kesehatan;
- mendayagunakan Tenaga Kesehatan;
- membina, mengawasi, dan meningkatkan mutu Tenaga Kesehatan melalui pelaksanaan kegiatan sertifikasi Kompetensi dan pelaksanaan Registrasi Tenaga Kesehatan;
- melaksanakan kerja sama, baik dalam negeri maupun luar negeri di bidang Tenaga Kesehatan; dan
- menetapkan kebijakan yang berkaitan dengan Tenaga Kesehatan yang akan melakukan pekerjaan atau praktik di luar negeri dan Tenaga Kesehatan warga negara asing yang akan melakukan pekerjaan atau praktik di Indonesia.
Penjabaran bentuk perlindungan terhadap tenaga kesehatan dalam menjalankan praktik tidak dijelaskan dalam kewenangan pemerintah dan pemerintah daerah, sehingga ada tanggungjawab perlindungan namun tidak ada kewenangan dalam memberikan perlindungan secara khusus pada kekerasan terhadap tenaga kesehatan di Indonesia.
Kesimpulan
Sampai dengan tahun 2023, bulan April, terdapat kekosongan hukum pada perlindungan tenaga kesehatan di Indonesia, kekosongan itu terjadi karena pemberi kerja atau rumah sakit, tidak memiliki kewajiban melindungi tenaga kesehatan dalam menjalankan praktik, konsekuensi yang terjadi ketika ada risiko kekerasan, potensi terjadi kekerasan di tempat kerja, dan kekerasan ditempat kerja yang di terima tenaga kesehatan maka rumah sakit tidak dapat dituntut secara hukum karena lalai melakukan pencegahan dan perlindungan.