PENGUASAAN FKTP SEBAGAI BENTUK INTEGRASI VERTIKAL DALAM STRATEGI BISNIS RUMAH SAKIT BISA DIKAJI SEBAGAI PERSAINGAN TIDAK SEHAT DALAM PEDOMAN KPPU

bisnis-rs.png

Integrasi vertikal (vertical integration) adalah upaya untuk memperluas dan memperkuat bisnis perumahsakitan dengan masuk tahap lain dalam skema rujukan saat ini di bawah kepemilikan atau kendali sebuah Rumah Sakit. Dengan kata lain, perusahaan masuk ke skema perujuk fasilitas kesehatan. ketentuan strategi ini dilakukan dengan cara pembentukan badan hukum baru yang terafiliasi dengan pemilik Rumah Sakit, strategi ini dilakukan untuk mematuhi ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 44 tentang Rumah Sakit, dimana badan hukum Rumah Sakit hanya bisa memiliki badan Usaha perumahsakitan.

Tujuan integrasi vertikal kebelakang (backward) adalah mengamankan keputusan rujukan dan menangkap penciptaan nilai dan keuntungan di setiap rujukan. ada Kendala kajian regulasi rujukan manakala pelaksanaan skema rujukan itu menyebabkan kerugian pada Pasien, ketentuan ini ada pada Kode Etik Dokter dan regulasi rujukan yang diatur dalam Permenkes RI Nomor 01 Tahun 2012 dan regulasi sistem rujukan lainnya. Rujukan juga diatur dalam sistem rujukan berbasis online dan rujukan berbasis kompetensi. Strategi ini interasi vertikal kebelakang memungkinkan Rumah Sakit untuk memiliki kendali yang lebih tinggi terhadap rujukan, sehingga mengurangi biaya dan meningkatkan efisiensi.

strategi integrasi tersebut juga memiliki kelemahan. Selain membutuhkan investasi yang besar, kegagalan juga muncul karena Rumah Sakit menjadi kurang fokus pada bisnis atau kompetensi inti mereka.

Tiga cara integrasi vertikal ke belakang

Tiga alternatif untuk integrasi vertikal adalah:

  1. Merger
  2. Akuisisi, atau
  3. Pengembangan internal.

Keuntungan dan kelemahan integrasi vertikal

Biasanya, Rumah Sakit melalui badan hukum baru pemilik mengadopsi strategi integrasi vertikal untuk mendapatkan kontrol yang lebih kuat atas jaringan rujukan. Dan rincian keuntungan dari integrasi vertikal adalah sebagai berikut:

  • Penjualan dan profitabilitas yang lebih tinggi. Rumah Sakit dapat menangkap lebih banyak laba dan nilai di setiap rujukan. Paska integrasi berarti mengkonsolidasikan pendapatan dan keuntungan, yang mana sebelumnya dinikmati oleh institusi perujuk.
  • Biaya produksi yang lebih rendah. Di bawah satu kontrol, Rumah Sakit dapat menghemat biaya terkait dengan produksi, transportasi, inspeksi kualitas input, dan waktu pengiriman.
  • Mengurangi ketergantungan terhadap sistem rujukan. Itu penting ketika pihak eksternal mengalami kesulitan keuangan atau kegagalan bisnis. Dengan demikian, integrasi mengurangi gangguan karena pihak eksternal tidak dapat diandalkan.
  • Posisi tawar yang lebih kuat. Melalui integrasi, sistem rujukan di bawah kendali Rumah Sakit. Rumah Sakit mungkin memiliki ruang untuk menegosiasikan spesifikasi kualitas, harga; yang mana mungkin tidak mereka dapatkan sebelum integrasi.
  • Memperoleh umpan balik pelanggan. Rumah Sakit mendapatkan informasi tentang pemasaran dan persaingan, yang mana berguna untuk mengembangkan produk baru dan memberikan penawaran yang unggul.
  • Meningkatkan keandalan. Misalnya, Rumah Sakit memastikan produk sampai ke pelanggan sesuai pesanan dan tepat waktu dengan meningkatkan sinergi dan koordinasi antara pasokan, produksi dan distribusi.
  • Membangun kekuatan pasar dan hambatan masuk. Rumah Sakit dapat memonopoli pasar di seluruh rantai dan memberikan akses yang lebih sedikit kepada pesaing.

Di sisi lain, integrasi vertikal juga mengandung sejumlah kelemahan berikut:

  • Mengalihkan perhatian bisnis. Rumah Sakit memiliki berbagai bisnis di luar kompetensi inti, membuat proses koordinasi lebih kompleks. Mereka kehilangan fokus pada bisnis inti. Bisnis yang berbeda membutuhkan keahlian yang berbeda untuk menciptakan nilai dan keuntungan.
  • Menambah risiko. Masuk ke bisnis baru berarti menambah risiko bisnis, tidak hanya menambah keuntungan potensial.
  • Pengelolaan menjadi lebih kompleks. Operasi menjadi lebih gemuk dan birokrasi menjadi lebih rumit, sehingga lebih sulit untuk mengatur dan mengkoordinasikan proses bisnis. Itu juga mengurangi fleksibilitas Rumah Sakit dalam menanggapi dinamika persaingan dan permintaan.
  • Membutuhkan modal besar. Rumah Sakit harus menginvestasikan banyak modal untuk mengambil alih badan Usaha lain atau mendirikan badan hukum baru. Seringkali, perusahaan mendanainya melalui utang, yang mana meningkatkan leverage keuangan. Ketika integrasi gagal menciptakan nilai yang lebih besar daripada biaya modal, itu menurunkan nilai Rumah Sakit.
  • Inefisiensi operasi. memastikan perujuk mungkin lebih murah dan efisien. Karena lebih fokus, perujuk dapat mencapai skala peningkatan pendapatan dan keunggulan kompetitif yang lebih baik, misalnya karena dapat menjangkau penjualan dan pelanggan yang lebih luas. Inefisiensi juga muncul karena pemilik tidak memiliki fokus bisnis inti.
  • Rentan terhadap kegagalan internal. Kegagalan di satu rantai rujukan mengganggu operasional secara keseluruhan. Jika terpaksa mengalihdayakan ke pihak eksternal, itu akan menambah biaya.

integrasi vertikal dapat juga menghambat persaingan karena dapat meningkatkan biaya yang harus ditanggung pesaing untuk mengakses sistem rujukan atau jalur distribusi yang dibutuhkan untuk memberikan Pelayanan. Selain itu integrasi vertikal juga dapat mengurangi ketersediaan rujukan dan meningkatkan modal yang dibutuhkan untuk masuk ke pasar. Atau dengan kata lain integrasi vertikal dapat menimbulkan hambatan untuk masuk ke sebuah pasar Pelayanan.

Undang-Undang No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (“UU No.5 Tahun 1999”) mengatur perjanjian integrasi vertikal dalam pasal 14 yang berbunyi:

”Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk menguasai sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat.”

Bila kita perhatikan isi ketentuan pasal 14 UU No.5 Tahun 1999, tampak dengan jelas bahwa kaidah yang digunakan untuk menganalisis pasal ini adalah diperlukannya bukti-bukti yang menunjukkan telah terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat. Integrasi vertikal memiliki efek pro- competitive dan anti-competitive sehingga hanya integrasi vertikal yang mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat dan merugikan masyarakat yang akan dilarang.

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dibentuk untuk mengawsi pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1999. Adapun tugas-tugasnya adalah sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 5 Tahun 1999. sebagai salah satu tugas KPPU adalah membuat pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan UU No. 5 Tahun 1999 (pasal 35 huruf f). pedoman ini diperlukan untuk memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai pasal-pasal dan hal-hal lainnya yang belum diperinci dalam UU No. 5 Tahun 1999. dengan adanay pedoman tersebut, diharapkan para pelaku usaha dan stakeholders lainnya dapat menyesuaikan dirinya dengan pedoman sehingga tidak melanggar persaingan usaha sebagaimana diatur oleh UU No. 5 Tahun 1999. Dengan demikian penyusunan Pedoman Pelaksanaan tentang Integrasi Vertikal (untuk selanjutnya disebut Pedoman) adalah merupakan salah satu bentuk atau upaya untuk memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai ketentuan pasal 14 UU No. 5 Tahun 1999.

oleh Dr. Galih Endradita M

Admin PERSI JATIM faradilla

Copyright by Markbro 2025. All rights reserved.